Liputan in pertama kali terbit di jatimplus.id pada tanggal 4 Oktober 2019.
Baca juga:
Tengger dan Perubahan Iklim: Masyarakat Tengger Dalam Perjalanan Iklim yang Tak Lagi Sama
Tengger dan Perubahan Iklim: Di Tungku Panjang itu, Sesaji Dihidangkan
Dalam pekatnya selimut kabut yang menutupi Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, nampak samar-samar pohon cemara yang bertebaran di ladang-ladang petani. Cemara dengan batang yang lurus menjulang sampai 15m, tumbuh di antara hamparan tanaman kentang yang baru saja dipanen pada akhir Oktober 2019. Bumi dibudidayakan dengan telaten di sini, pada ketinggian 1800-an m diatas permukaan laut. Cemara-cemara ini memiliki kisah terkait bagaimana masyarat Tengger bertahan dari panas dan hujan iklim yang beranjak berubah.
Tanah kini sedang beristirahat, menunggu datangnya musim hujan yang akan mengawali musim tanam selanjutnya. Istirahat untuk waktu yang tak bisa ditentukan, bergantung kepada datangnya musim hujan yang kini semakin tak menentu. Sementara di ladang tak ada air, masyarakat pun sibuk menyiapkan upacara adat Karo yang puncaknya pada akhir September 2019.
“Kalau persiapan upacara, tak ada aktivitas ladang. Semua sibuk persiapan sampai sebulan,” kata Sungkono, petani di Wonokitri. Desa Wonokitri dan puluhan desa yang didiami masyarakat Tengger masih kuat menjaga tradisi upacara ini. Upacara yang lekat persentuhannya dengan tanah, air, api, dan udara sembari menunggu hujan datang.
“Pola curah hujan sekarang secara umum sudah berubah. Sekarang terjadinya cepat dengan jumlah yang besar. Akibatnya menimbulkan bencana longsor dan banjir karena kecepatan curah hujan dan meresapnya air ke tanah tidak sama,” tulis Aminudin Al-Roniri, Kepala Stasiun Klimatologi Malang melalui tangkapan pesan. Meresapnya air hujan ke dalam tanah tak seimbang dengan kecepatan aliran di permukaan (run off) menyebabkan ketersediaan air dalam tanah pun berkurang. Tanah tak optimal menyerap air pada saat musim hujan.
Upaya menahan dampak buruk perubahan cuaca
Sungkono mengajak saya untuk melihat lahannya lebih jauh. Sistem tanam mereka sudah menggunakan terasering, membuat alur melintang yang tak searah dengan lereng yang fungsinya memperlambat aliran air. Selain itu, saya melihat garis-garis tanaman yang masih hijau, strip rumput yang masih tetap hijau di antara bekas tanaman kentang.
“Kami membuat strip rumput untuk menahan air hujan,” kata Sungkono. Ia beserta 16 orang petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Subur Satu melakukannya. Menurut Sungkono, air yang mengalir saat musim hujan yang membawa tanah, akan tertahan di strip rumput. Aliran air yang tertahan juga memungkinkan tanaman memperoleh pengairan yang cukup.
“Tidak mengurangi luas lahan,” kata Sungkono tegas ketika memberikan sebagian lahannya untuk ditanami rumput. Justru kalau dibikin polos bibit yang ditanam lebih banyak, tapi risiko longsornya lebih besar. Jika sudah longsor, kerugiannya akan lebih besar. Makanya, petani lebih memilih untuk menggunakan sistim terasering dan strip rumput.
Selain membuat strip rumput, upaya mengembalikan fungsi pohon dalam menahan air dan erosi, juga dilakukan oleh berbagai komunitas termasuk Kelompok Tani Subur Satu. Sungkono menunjukkan cemara-cemara yang dibiarkan tumbuh tak ditebang dan juga pohon cemara yang tampak baru ditanam.
Yang menarik, rupanya di sini setiap pohon tercatat riwayatnya. Sungkono menunjukkan pada saya barcode yang diikat dengan tutup botol plastik. Bila di-scan, barcode tersebut akan menampilkan data tentang pohon tersebut.

“Kami juga bagian dari gerakan Rejosokita,” terang Sungkono menjelaskan. Rejosokita merupakan gerakan yang dimotori para pemangku kepentingan yang terdiri dari pemerintah, perusahaan, petani, dan juga LSM yang tergerak untuk menyelamatkan DAS Rejoso. Dusun Wonokitri tempat Sungkono bertani merupakan wilayah hulu dari DAS seluas 62 ribu hektar ini.
Secara singkat, skema yang diterapkan untuk tetap menumbuhkan pohon-pohon di wilayah hulu ini dengan skema urun daya (crowdsource). Warga Tengger dilarang menebang pohon yang ada di wilayah tanahnya, sebagai gantinya para pengguna jasa lingkungan dalam hal ini PT. Danone memberikan sejumlah uang. Kelompok Tani Subur Satu merupakan satu dari 12 kelompok tani atau 174 petani dalam gerakan Rejosokita.
Dalam kesempatan terpisah, saya bertemu dengan Pitono Nugroho, sekretaris Forum DAS Rejoso, bagian dari gerakan Rejosokita. Pitono merinci, penerima pembayaran jasa lingkungan ini untuk wilayah upstream yang terdiri dari dua kecamatan yaitu Tosari (Pasuruan) dan Puspo (Malang). Totalnya 70 petani di lahan seluas 28,3 hektar.
“Di Rejosokita, pohon yang kita tanam betul-betul kita teliti efektivitasnya,” kata Pitono kepada Jatimplus.id. Ia menyampaikan bahwa pertanian tanaman kentang meningkatkan aliran permukaan (run off) sebesar 34%-46%. Sedangkan penanaman pohon di lokasi hulu seluas 500 ha ini bisa mengurangi run off sebesar 1,5%-2%. Sedangkan menanam 500 batang pohon, meningkatkan penyerapan air (infiltrasi) sebanyak 0,5%-1%.
“Kalau kita menerapkan penanaman kentang yang memerhatikan prinsip-prinsip konservasi, petani bisa meningkatkan revenue sebesar 23%-40%,” kata Pitono yang berpengalaman menangani berbagai CSR berdasarkan konservasi lingkungan hidup. Paparan ini disampaikan dalam Workshop Pengendalian Kerusakan Perairan Darat (PKPD) yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung Brantas Sampean di Malang, 5-6 September 2019.
Sistem pertanian yang memerhatikan konservasi lingkungan atau pertanian berkelanjutan inilah yang dikampanyekan oleh Kariadi di Dusun Wonorejo, Desa Wonokitri bersama Kelompok Bala Daun. Meski ia bukan penerima konpensasi jasa lingkungan, Kariadi menyadari bahwa kehadiran pohon diperlukan untuk meningkatkan hasil dari tanaman kentang.
“Kentang merupakan tanaman sayuran berbiaya tinggi,” katanya. Bila dihitung dari analisa usaha tani, input off farm dan on farm mencapai Rp 45 juta/hektar. Pestisida termasuk biaya yang lumayan tinggi di sini apalagi ketika hama dan penyakit meningkat.
“Jamur Phytophtora dalam 3 jam sudah menyebar,” terang Kariadi. Hal ini menyebabkan petani semakin banyak menyemprotkan pestisida, menambah dosis dan intensitasnya. Akibatnya, biaya pun meningkat.
Ia pun menggerakkan petani untuk kembali menanam pohon sebab pohon memberikan mikroklimat yang tak memungkinkan cendawan dan hama lain berbiak. Menurut Kariadi, pada malam hari, tutupan pohon menghasilkan karbondiosida yang memberi kehangatan di sekitarnya sehingga suhu malam tak terlalu menurun ekstrem. Ia membuktikan, bahwa lahan terbuka tanpa pohon jauh lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit.
“Tempat-tempat yang kayunya masih rimbun lebih aman daripada yang terbuka,” terang Kariadi. Seperti di Dusun Wonokitri, petani di Wonomerto juga memilih pohon cemara untuk menghijaukan lahan. Pohon ini dipilih karena tajuknya yang tak terlalu rimbun sehingga masih memungkinkan sinar matahari untuk mencapai tanaman kentang. Selain itu juga akarnya cukup mampu menahan erosi dan meningkatkan resapan air.
Upaya-upaya di atas merupakan upaya mitigasi masyarakat Tengger berkaitan dengan lahannya. Selain itu, mereka juga melakukan upaya lain untuk bertahan jika musim tak bersahabat.
Asa pada carica dan wisata
Kariadi menunjukkan kepada saya tanaman pepaya gunung atau carica (Vasconcellea cundinamarcensis atau Carica quercifolia). Tanaman yang sekerabat dengan pepaya buah (Carica papaya) ini tumbuh besar dan sedang berbuah lebat di kemiringan, di lahan kentang miliknya.
“Saya mulai budidayakan ini. Lumayan untuk menambah hasil,” kata Kariadi sambil memanjat untuk memetik buah yang sudah menguning. Awalnya hanya coba-coba. Tanaman asal Amerika Selatan ini kini diolah menjadi manisan dan sudah lama menjadi sumber mata pencaharian masyarakat Dieng.
Kariadi terinspirasi untuk menanamnya sebagai pohon sebagaimana fungsi cemara. Sebab tanaman buah jarang bisa berbuah di ketinggian Wonomerto. Sementara carica memang berbuah bagus di ketinggian 1000mpdl-3000mdpl. Ternyata, hasil buahnya memang menggembirakan. Apalagi bukan buah semusim sehingga bisa bertahan pada saat kemarau panjang.
Tahun 2015, Kariadi mulai coba-coba mengolah dan membuat manisan, meski masih dijual dalam partai kecil di warung-warung terdekat. Ke depannya ia berencana akan lebih serius dalam berproduksi, apalagi beberapa petani lainpun mulai ikut menanam.

Tak hanya menanam carica, masyarakat Tengger juga menanam edelweis. Meski baru merupakan tanaman demplot, keberhasilan menaman tanalayu, sebutan bunga edelweis di kalangan masyarakat Tengger ini memberi arti khusus. Selain digunakan untuk kelengkapan sesaji, bunga ini juga menjadi daya tarik wisata. Kebun edelweis seluas 400-an meter persegi menjadi daya tarik bagi wisatawan dalam dan luar negeri untuk singgah ke Tosari, khususnya di Wonokitri. Meski belum ditarik tiket masuk, artinya belum ada pemasukan, kebun edelweis (Anaphalis longifolia) ini sudah merupakan sarana promosi wisata yang menarik.
“Kalau di sini, buah tak ada yang bisa berbuah sama sekali,” kata Sungkono. Wonokitri lebih tinggi sedikit dibandingkan Wonomerto. Ia belum mencoba menanam carica sebagaimana yang dilakukan Kariadi. Sungkono dan petani lain lebih memilih mencari penghasilan alternatif di bidang wisata di kawasan Bromo Tengger Semeru. Ada yang menjadi tukang ojek, menjadi pemandu wisata, dan juga menjual minuman ketika ladang tak ada air.
“Kalau kemarau, semua petani melakukannya. Jadi rezekinya ya dibagi-bagi. Malah kadang tak mendapatkan apa-apa sama sekali,” katanya sambil tersenyum. Namun tetap, harapan utama penghasilan mereka adalah dari tanah mereka, khususnya ketika panen kentang. Hasilnya bisa diprediksi dan lebih dari cukup untuk biaya hidup. Pada dasarnya, suku Tengger adalah petani, bukan penyedia jasa. Mereka tetap akan merasa nyaman baik secara ekonomi maupun spiritual jika bertani, pekerjaan yang bersandar pada tanah, air, dan udara. Meski semua tak lagi sama.
“Kini petani di Tengger bertanam bukan lagi untuk hidup. Tapi untuk mengumpulkan harta benda. Semua itu berubah sejak tahun 1996 ketika swasembada pangan digalakkan di sini,” kata Kariadi memulai kegelisahannya. Perubahan motivasi itulah yang mengawali perubahan lingkungan di kawasan Tengger, bahkan Kariadi mulai “mempertanyakan” makna upacara adat dan ritual.
Liputan bertema Tengger dan Perubahan Iklim ini merupakan bagian dari program pelatihan ‘Reporting on Climate Change Handbook’ yang dislenggarakan oleh SIEJ (Society of Indonesian Environment Journalists) dan UN (United Nation) Indonesia.