KTT Madrid tidak mencapai kesepakatan tentang pasar karbon, membayar kerugian dan kerusakan akibat iklim atau keuangan jangka panjang untuk negara-negara berkembang.

Artikel ini telah diterbitkan sebelumnya di India Climate Dialogue.

Oleh Joydeep Gupta

Di tahun 2019, perubahan iklim telah menerpa dunia dengan serangan-serangannya yang ganas – dengan gelombang panas, badai, banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan serta longsoran salju. Di akhir tahun yang sama, semua kemajuan yang telah dicapai dibawah bendera sistem PBB terkait penanganan perubahan iklim dihentikan oleh beberapa pemerintah yang bersikukuh untuk bersikap seperti biasa, tanpa rasa kegentingan.

Sebelumnya, ditahun yang sama, seorang pegiat iklim muda, Greta Thunberg memperingatkan semua pemerintahan bahwa “kami mengawasi kalian.” Di penghujung sidang paripurna KTT tahunan PBB mengenai Iklim, seorang pegiat hak-hak penduduk asli dari Selandia Baru meminta para pemerintah untuk “henyah” dari aksi iklim.

Sebuah akhir yang tidak menbanggakan bagi sebuah KTT yang dibuka dengan tagar “Saatnya Bertindak” (TimeForAction) tetapi gagal menghasilkan tindakan apapun, meski telah melalui negosiasi alot tertutup yang mengakibatkan sidang paripurna penutupan tertunda 40 jam – sebuah rekor tesendiri yang patut dipertanyakan.

KTT ke-25  UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC COP25) memiliki lima tujuan utama: memulai kembali pasar karbon internasional; mencari dana untuk menghadapi kerugian dan kerusakan yang diakibatkan perubahan iklim; menyiapkan roadmap untuk pembiayaan jangka panjang dari negera maju ke negara berkembang; meminta pertanggungan jawab negara negara maju atas tindakan-tindakan tentang iklim yang seharusnya sudah mereka jalankan sebelum Persetujuan Paris mulai berlaku; dan untuk mengintegrasikan komponen gender, hak-hak asasi manusia dan hak-hak penduduk asli kedalam semua tindakan tentang iklim.

Keempat tujuan utama yang pertama sama sekali gagal tercapai. Memang KTT berhasil menyetujui rencana aksi gender tetapi gagal menyetujui perihal hak hak azasi manusia secara umum dan hak hak penduduk asli secara khususnya.

COP25 sebenarnya telah dipindahkan dari Santiago seperti direncanakan semula, menjadi ke Madrid dikarenakan kerusuhan yang menimpa Chili, namun Carolina Schmidt, Menteri Lingkungan Chile tetap menjadi president KTT tersebut. Namun, di penghujung sidang paripurna, ia bahkan menyampaikan “kekecewaan mendalamnya.”  Belum pernah sejak tahun 2009 di Kopenhagen, sebuah KTT Iklim PBB berakhir dengan kegagalan sedemikian parah.

 

Apa arti semua ini?

Persetujuan Paris tahun 2015 mengenai pengendalian emisi karbon dan penyesuaian terhadap dampak iklim, akan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020. Namun nampaknya ia akan terkendala oleh dana yang tak mencukupi. Janji-janji kebanyakan negara berkembang bergantung kepada dana dari negara-negara industri dan ini belum diatur.

Pasar karbon belum dapat dimulai karena 195 pemerintahan dan Uni Eropa yang berkumpul di Madrid tidak dapat bersepakat mengenai modalitasnya. Para anggota delegasi dari negara maju maupun berkembang saling bertukar sindiran tajam ketika berbicara off the record. Beberapa menuduh kekuatan ekonomi baru seperti Cina dan India mencoba menguasai pasar dengan proyek-proyek yang “meragukan” dan melalui “penghitungan ganda” atas kredit. Beberapa lainnya menuduh Uni Eropa berusaha merintangi kemajuan karena ingin melindungi pasar karbon internalnya.

Setelah pemerintahan Trump secara resmi memberitahukan keputusannya untuk keluar dari Persetujuan Paris, delegasi AS kemudian menghalangi semua diskusi mengenai pendanaan jangka panjang untuk membantu negara negara berkembang. Ketika menjadi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton di tahun 2009 menjanjikan bahwa dunia negara-negara maju akan memberikan $100 milyar per tahunnya kepada negara-negara berkembang mulai tahun 2020.

 

Presiden COP25, Carolina Schmidt dalam sesi pleno di hari ke-13. Sumber: UNclimatechange via Flickr.

 

“COP memperlihatkan bahwa keinginan politik untuk beraksi tidak ada pada semua pemerintahan”

Lebih lanjut lagi, di Madrid, delegasi AS juga memveto persetujuan bahwa mekanisme PBB untuk menangani kerugian dan kerusakan diawasi oleh UNFCCC dan negara-negara yang telah meratifikasi Persetujuan Paris. Amerika Serikat menginginkan bahwa mekanisme ini hanya berada dibawah Persetujuan Paris. Dengan demikian, Amerika Serikat tidak perlu mengeluarkan uang untuk hal ini setelah ia keluar dari persetujuan itu. Seorang anggota delegasi dari Nicaragua, saat di sidang paripurna, menggambarkan agai “kejahatan terhadap kemanusiaan.”

India memimpin negara-negara berkembang dalam kekukuhan pendapat  mereka bahwa negara-negara maju harus terlebih dahulu memenuhi janji-janji mereka sebelum meminta dunia untuk beraksi. Apa yang dinamakan sebagai  tindakan-tindakan pra-2020 hanya disebut sepintas dalam beberapa resolusi KTT tapi juga tanpa kemampuan untuk dilaksanakan. Ketika menjawab permintaan yang terus berulang dari negara-negara maju, terutama Uni Eropa – agar semua negara “meningkatkan ambisi mereka” dalam hal tindakan iklim mereka, anggota delegasi dari Cina mengatakan pada sidang paripurna bahwa “Kita perlu tindakan tindakan nyata dan bukan slogan-slogan kosong.” Cina ketika itu berbicara atas BASIC, yang mengelompokkan Afrika Selatan, Brazil, Cina, dan India dalam suatu blok pada negosias-inegosiasi iklim global.

 

Apa yang terjadi kini

Gagalnya KTT 2019 telah menimbulkan tekanan berat bagi keseluruhan sistem PBB, terutama bagi Inggris yang akan menjadi tuan rumah KTT berikutnya di Glasgow tahun depan. Dengan tidak tercapainya janji-janji nasional yang telah dibuat untuk Persetujan Paris untuk menjaga kenaikan temperature global rata-rata dibawah dua derajat Celcius, bagaimana KTT di tahun 2020 akan dapat meningkatkan janji-janji tersebut seperti yang diharapkan sebelumnya.

KTT di tahun depan in harus pertama-tama menangani agenda 2019 yang belum terselesaikan, terutama mengenai pasar karbon, pengaturan mekanisme bagi kerugian dan kerusakan, tindakan pra-2020 dan pendanaan jangka panjang. Bila mengingat pengalaman masa lalu dimana negara-negara seperti Amerika Serikat menghalangi kemajuan, pekerjaan ini akan sangat sulit nampaknya. Para diplomat dan pengamat mengusulkan agar Inggris segera mulai membicarakan penugasan penugasan ini, berkeliling mengunjungi semua ibukota seperti yang dilakukan Perancis sebelum KTT Paris di tahun 2015.

Kunjungan-kunjungan tersebut dilakukan agar tercapai paling tidak persetujuan awal sebelum ribuan anggota delegasi bertemu kemudian dalam sebuah lingkungan yang bersifat sangat konfrontasional dan yang pada keadaan terbaiknya mungkin hanya akan berakhir dengan zero-sum game. Kegagalan pemerintah Chili dalam melakukan hal ini paling tidak ikut mengakibatkan hasil negatif yang ada sekarang ini, jauh dibawah nilai nol.

Pemerintah Spanyol mencoba memperbaiki keadaan begitu ada keputusan COP25 dipindahkan ke Madrid, dengan mendorong protes besar-besaran masyarakat madani baik di kota maupun di lokasi KTT, namun semua usaha ini sudah terlambat.

Walaupun demikian, pihak yang berwenang di Madrin mendapatkan pujian dari semua orang untuk layanan logistiknya di lokasi KTT yang nyaris sempurna meski hanya dipersiapkan dalam empat minggu saja.

 

Reaksi-reaksi yang timbul

Dari sekretaris jendral PBB sampai kepada petani kecil, semua orang mengutarakan kecemasan mereka terhadap hasil dari KTT Iklim PBB tahun ini.

Harjeet Singh, pemimpin global untuk perubahan iklim dari ActionAid yang juga anggota komite eksekutif mengenai kerugian dan kerusakan, mengatakan: “Amerika Serikat sekali lagi mendapatkan apa yang ia inginkan melalui perundungan dan kecurangan. Mereka datang kesini dengan niat tidak baik, mengambil tindakan hanya untuk melindungi kepentingan mereka dan industri-industri penghasil polusi yang menyebabkan darurat iklim ini.”

Aarti Khosla, Direktur Climate Trends, mengatakan: “COP memperlihatkan bahwa keinginan politis untuk bertindak sama sekali tidak ada pada semua pemerintahan. Uni Eropa mengumumkan ambisinya untuk tahun 2050 tetapi tidak menjelaskan apa yang dapat dilakukannya di tahun 2030. Cina, sebagai penghasil emisi global terbesar, tidak merasa perlu untuk mengambil kepemimpinan dalam menghadapi perubahan iklim. India, yang memiliki program energi terbarukan terbesar diantara negara negara yang ada, memiliki kesempatan untuk menjauhi batu bara, tetapi kesempatan ini disia-siakannya. Keluarnya Amerika Serikat dari Persetujuan Paris hanya memperparah sakitnya satu-satunya persetujuan global yang dimiliki dunia untuk menghadapi sebuah permasalahan yang sangat menentukan saat ini.”

Jennifer Morgan dari Greenpeace International mengatakan: “Semua pemerintah perlu memikirkan kembali bagaimana mereka harus melakukan ini, karena hasil dari COP25 sama sekali tidak dapat diterima. COP ini memperlihatkan peran dari para pembuat polusi dalam politik, serta ketidak percayaan mendalam kalangan muda terhadap pemerintahan, sementara penghalang iklim seperti Brazil dan Arab Saudi, dengan dimungkinkan oleh kepemimpinan Chili yang lemah, sibuk menjual transaksi karbon dan membuldoser ilmuwan dan masyarakat madani.

Jonathan Pershing dari  Hewlett Foundation yang juga mantan utusan khusus Amerika Serikat untuk perubahan iklim, mengatakan: “Usaha global yang kolektif tetap tidak mencapai apa yang diperlukannya. Dan semenara Madrid fokus dalam mempersempit isu-isu teknis, sudah lama kita seharusnya sudah bergerak melampaui tahapan itu. Semua pemerintahan perlu ikut bertanggung jawab.”

Alden Meyer, Direktur Kebijakan dan Stategi Union of Concerned Scientists mengatakan: “Saya telah menghadiri perundingan iklim ini semenjak pertama kalinya dimulai di tahun 1991. Tetapi, belum pernah saya melihat ketidak sinambungan yang hampir menyeluruh seperti yang saya saksikan disini, di COP25, antara apa yang diperlukan ilmu pengetahuan dan apa yang dihasilkan perudingan iklim ini dalam hal tindakan yang berarti.”

Helen Mountford, Wakil Presiden World Resources Institute untuk Iklim dan Ekonomi mengatakan: “Ini mencerminkan bagaimana tidak adanya kesinambungan banyak pemimpin negara dengan kegentingan yang diperlihatkan ilmu pengetahuan dan juga tuntutan warganegara mereka sendiri.”

May Boeve, Direktur Eksekutif 350.org, mengatakan: “COP25 merupakan keberhasilan bagi industri bahan bakar fosil. Pegiat muda dan pemimpin penduduk asli telah menunjukan kepada perundingan iklim ini bahwa proses ini tidak memiliki kejelasan moral. Kita akan membawa aktivisme ini pulang, ke ibukot-ibukota, ke kementerian-kementrian, ke kantor pusat kantor pusat bank serta ke infrastruktur bahan bakar fosil diseluruh dunia.”

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.