Posted in

INDONESIA TIDAK PUNYA HITUNGAN DANA UNTUK ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

thumbnailJakarta – Disepakatinya Green Climate Fund sebagai salah satu bentuk pendanaan perubahan iklim dari negara maju kepada negara berkembang pada Konferensi Para Pihak mengenai Perubahan Iklim (COP UNFCCC) ke-16 di Cancun, Meksiko, yang digelar pada 29 November – 10 Desember yang lalu, seakan menjadi titik terang bagi upaya memerangi perubahan iklim secara global. Namun sayangnya, Indonesia sebagai salah satu negara yang berhak menerima dana ini ternyata tidak memiliki hitungan kebutuhan dana yang diperlukan, terutama dalam hal adaptasi perubahan iklim.

Kepala Departemen Kampanye, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Muhammad Teguh Surya, Jumat (17/12/2010), mengungkapkan bahwa hingga kini Indonesia tidak memiliki perhitungan terhadap total dana yang dibutuhkan dalam upaya adaptasi perubahan iklim. Padahal, perhitungan kebutuhan dana ini penting bagi Indonesia sebagai negara berkembang yang rentan terhadap bencana iklim.

“Perhitungan kebutuhan dana yang ada di Indonesia dalam hal perubahan iklim hanya ditujukan untuk upaya mitigasi perubahan iklim saja. Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional – red) memperkirakan dana yang dibutuhkan untuk upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia adalah sekitar US $ 68,6 milyar,” papar Teguh, yang juga hadir dalam konferensi perubahan iklim di Cancun.

Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah harus memperjelas Road Map (pemetaan) dalam hal adaptasi perubahan iklim. Sehingga dana-dana perubahan iklim dapat bermanfaat bagi kepentingan nasional dan melindungi masyarakat dari bencana iklim. Selain itu, dana perubahan iklim untuk Indonesia juga harus diprioritaskan alokasinya untuk adaptasi perubahan iklim dan tidak bersumber dari dana hutang.

Sementara berbicara mengenai besaran dana yang rencananya akan dikucurkan oleh negara maju kepada negara berkembang, yakni sebesar US $ 100 juta per tahun hingga tahun 2020, Teguh menilai bahwa besaran dana tersebut tidak cukup untuk menutupi kebutuhan dalam menghadapi bencana iklim dan beradaptasi dengan perubahan iklim tersebut. Oleh karenanya, cukup atau tidaknya dana untuk adaptasi di negara berkembang harus mengacu kepada berapa total dana yang telah digunakan negara berkembang untuk menangani bencana perubahan iklim.

Sejauh ini, terdapat beberapa tuntutan mengenai besaran dana untuk perubahan iklim. Negara-negara yang tergabung dalam G77 menuntut dana sebesar US $ 600 milyar, sementara Bolivia menuntut dana sebesar US $ 1.700 milyar. “Alokasi dana tersebut belum begitu jelas karena dana tersebut masih sekedar Pledge (janji) dan belum ada. Jika mengacu kepada dokumen Copenhagen Accord, dana tersebut ditujukan untuk adaptasi dan mitigasi dengan porsi berimbang dan akan diprioritaskan kepada negara-negara kepulauan kecil (AOSIS) dan negara-negara miskin (LDC’s),” urai Teguh.

Harapan di Durban

Meskipun COP-16 di Cancun telah menyepakati hadirnya sistem pendanaan dan membuka jalan untuk hadirnya kesepakatan global dalam memerangi perubahan iklim, namun masih banyak harapan yang muncul agar pada COP-17 di Durban, Afrika Selatan, akan ada kesepakatan yang kuat dari negara-negara pihak dalam memerangi perubahan iklim. Hal ini mengingat dunia sudah dilanda berbagai dampak akibat perubahan iklim tersebut.

“Tahun ini dunia mengalami banyak kejadian sebagai konsekuensi perubahan iklim – suhu tertinggi dalam sejarah, bencana alam, dan hampir mencapai rekor pelelehan es di kutub.  Ini sebabnya mengapa pembicaraan tahun depan di Durban, Afrika Selatan, harus menjadi tujuan tercapainya kesepakatan kuat, bukan hanya satu lagi titik singgah,” urai Direktur Kampanye Greenpeace Asia Tenggara, Shailendra Yashwant, pada kesempatan berbeda.

Lebih lanjut, menurutnya, konferensi di Cancun telah menghilangkan semua hambatan dan pemimpin-pemimpin negara yang hadir telah menunjukkan bahwa mereka dapat bekerja sama dan dapat maju ke muka untuk mencapai kesepakatan global dalam menyelamatkan dunia dari terjadinya perubahan iklim.

Lebih jauh, para pemimpin negara juga menyatakan bahwa pemotongan emisi harus sejalan dengan segi kenyataan ilmiahnya – potongan 25 – 40 persen pada tahun 2020 – dan mereka harus menjaga kenaikan suhu global di bawah dua derajat. Sayangnya mengenai masalah pendanaan, ternyata mereka tidak menetapkan cara untuk memberikan dana tersebut. Selain itu, kesepakatan besar lainnya di Cancun adalah soal mekanisme untuk melindungi hutan tropis, hak-hak masyarakat adat, dan keanekaragaman hayati. (prihandoko)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.