Sukiman Mochtar Pratomo, atau kang Sukiman sapaan akrabnya. Melalui tanaman kopi di lereng gunung Merapi ia bersama kelompok petani Ngudi ambil peran melakukan mitigasi perubahan iklim dan bencana.  

Liputan ini telah lebih dahulu diterbitkan oleh Mongabay Inodonesia pada tanggal 4 November 2019.

Oleh Tommy Apriando

Pada pagi hari, pukul 8.30, 14 Oktober 2019, udara terasa dingin di rumah Sukiman, di Deles, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Petani kopi dan sayur yang merangkap koordinator komunitas lintas Merapi ini, tidak saja menghidupi keluarganya tetapi juga mengangkat empat anak yatim di desanya.  

Berkulit sawo matang dan berkumis hitam tebal, Sukiman pada pagi itu tengah menyeduh kopi arabika dari lereng Gunung Merapi yang di roasting medium. Ia sudah lihai menyajikan kopi secara profesional. Peralatan giling, roasting dan seduh nya sudah cukup lengkap. 

“V60 atau mau tubruk saja,” tanya Sukiman.

Di kampungnya yang berada pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl) Sukiman sudah sejak tahun 2014 memulai kembali bertani kopi.  Ia menyebutnya kopi konservasi merapi, karena melakukan mitigasi iklim dan bencana. Ia menceritakan keinginannya untuk membangkitkan kembali kejayaan kopi Merapi seperti di era 1980-an. Kopi Merapi ini ia namakan kopi Petruk, tokoh pewayangan yang sederhana dan juga dikenal sebagai Kantong Bolong  karena kantongnya selalu berlubang, identik dengan jiwa para sukarelawan di desanya.

“Warga menyukai sosok petruk dalam pewayangan…petruk merupakan sosok yang tidak mementingkan pribadi,” kata Sukiman.    

Menurut Sukiman, konsumen suka kopi petruk karena aromanya yang mengingatkan orang kepada kayu pinus dan jamu. Kopi Petruk juga mengandung sedikit aroma kayu manis, sayur, ketela dan juga sedikit belerang.

Kini ia sudah lima tahun bertanam kopi arabika di lereng Merapi bersama kelompok tani Ngudi. Selain  di Desa Sidorejo, kopi juga ditanam di Desa Balerante dan Desa Tlogowatu. Di Balerante kopi ditanam di ketinggian 1.000 mdpl. Sedangkan di Tegalmulyo dan Tlogowatu, hingga 1.200 mdpl. Produksi tahunan dari sekitar 40 ribu batang tanaman kopi di lereng Merapi ini mencapai 30-40 ton.

Panen kopi di lereng Merapi hanya sekali setahun, pada bulan Juni dan Juli.  Di era 1992 hingga 1998, produksi kopi Merapi mencapai 6 ton (kopi mentah merah) dengan masa panen 3 bulan per tahun. 

Sukiman yang juga menyemai bibit kopi arabika di belakang rumahnya, bercerita, tanaman kopi mengalami pasang surut dan pernah harganya jatuh sedemikian rendah hingga banyak pohon kopi kemudian ditebang. Kini, warga di lereng Merapi diajak kembali menanam kopi. Apalagi minum kopi sudah berubah menjadi gaya hidup.

Kopi Arabika Merapi menjadi tanaman khas untuk mitigasi iklim dan bencana. Sumber: Tommy Apriando

 

Di Deles, produksi kopi melimpah dan menjadi saklah satu ikon ekonomi rakyat disana, kata Sukiman. Ada petani yang dapat memanen 5 kuintal per hari. Sukiman mengumpulkan kopi dari kebun sendiri dan dari para petani lainhya di dusunnya.

Ia memasarkannya sebagai kopi premium dengan segmen utama para penikmat kopi. Selain tak perlu merisaukan ke mana menjual buah kopi, para petani juga memperoleh harga yang bagus setiap kali panen, Rp 8.500 per kilogram untuk buah kopi merah pilihan atau yang sudah diseleksi kematangannya. Setiap satu kilogram green beans membutuhkan enam kilogram buah kopi petik merah.

Sukiman gencar melakukan pemasaran, dengan mengandalkan jaringan pertemanan di saat-saat awal, tetapi kini sudah menjual melalui online. Kopi Petruk kini sudah merambah pasar Jakarta, Surabaya, Bogor, Bandung, dan Jogja., serta bahkan ke Jepang dan Tiongkok. 

“Sebenarnya permintaan ekspor sangat besar, tetapi kami tak mau ambil dari pasar kopi lokal untuk memenuhinya,” kata Sukiman. 

Sukiman berharap, Klaten menyediakan toko yang bisa dititipi, agar pemasaran Kopi Petruk berkembang. Saat ini, di Klaten baru ada satu kafe yang yang sudah menyediakan kopi Merapi disamping kopi dari daerah lainnya.

Sekda Klaten Jaka Sawaldi mendukung pengembangan kopi di lereng Merapi dimana sebagian besar warganya masih menggantungkan pendapatan mereka pada penambangan pasir

‘’Kita berusaha membantu, kita tahu penghasil kopi petruk ada di lereng Merapi,” kata Sawaldi.

Ia berharap warga kembali bertani dan mengatakan bahwa pemerintah kabupaten akan memberikan pembinaan dan pelatihan untuk mengalihkan mata pencaharian mereka dari menambang pasir, yang berisiko besar dan sering memakan korban, menjadi menanam kopi.

Jika kopi bisa menjadi sumber nafkah yang bisa diandalkan, kilahnya, maka dengan sendirinya masyarakat penambang, akan beralih menekuni produksi kopi.

“Menambang akan berdampak para rusaknya lingkungan, hilangnya sumber air bersih dan korban bencana,” kata Sawaldi.

Sejarah kopi Merapi

Masyarakat petani di Deles sudah mengenal kopi sejak tanaman kopi itu dibawa Belanda ke lereng Merapi. Lokasi kampung dan lahan pertanian di ketinggian lebih dari 1.200 mdpl yang sering tersiram abu vulkanik dari siklus erupsi Merapi merupakan lahan subur bagi tanaman kopi. Hampir setiap warga memiliki pohon kopi.  Sampai kini, masih ada tempat di dusun itu yang dinamai Kopen (Jawa: tempat kopi), yang dulu merupakan kebon kopi milik Belanda.

“Kopen itu nama lainnya kopi. Dusun itu dulu dikenal banyak tanaman kopi enak,” kata Sukiman.

Tak hanya di Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sleman, kopi Merapi bisa didapati di Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Boyolali, yang bercokol pada ketinggian 1.600 mdpl,di celah antara gunung Merapi dan ginung Merbabu. Tetapi berbeda dengan Deles, petani sayuran di wilayah Selo belum lama belajar kembali menanam kopi. Bahkan banyak yang belum paham cara memanen buah yang benar, memilih dan memetik yang merah, bukan memotong atau mengurut tangkai buah.

Kopi Lencoh pernah naik daun pada masa kolonial, namun tanaman ini kemudian kemudian ditinggalkan masyarakat sejak Belanda angkat kaki dari Indonesia.  Hanya beberapa batang pohon kopi peninggalan Belanda yang masih tersisa.

“Kopi Lencoh yang diproduksi saat ini berasal dari jenis arabika yang ditanam sejak 2002, bantuan dari pemerintah,” kata Sukiman. 

Konservasi lewat Kopi

Gemuruh terdengar dan getaran kecil terasa dari rumah Sukiman. Merapi menggugurkan sedikit dinding bebatuannya, namun tak terlihat jelas dari jalan desa di kampung Sukiman.

“Tertutup awan, tapi ini sudah biasa kami rasakan, hidup berdampingan dengan merapi, harus sadar mitigasi,” kata Sukiman. 

Kampung Sukiman hanya berjarak empat kilometer dari puncak Gunung Merapi. Musim kemarau tahun ini, ia dan warga di kampung kesulitan air bersih. Ia harus beli air tiap musim kemarau, paling sedikit 20 tanki ukuran 5.000 liter selama kemarau. Ia sadar benar, kekeringan tidak hanya disebabkan kemarau, namun juga aktivitas tambang pasir dan bebatuan di lereng merapi.

Dengan menanam kopi, Sukiman dan warga sekitar  ingin menunjukkan, bahwa sejahtera lewat bertani lebih baik dibanding merusak alam lewat tambang. Tiap hari ratusan truk pengangkut pasir dan batu nyaris menutup jalan yang juga jalur utama evakuasi. Jalan berlubang dan berdebu, harus dirasakan warga setiap hari. 

“Tujuan utama kami adalah pemberdayaan masyarakat petani di Deles, berdaya dari kopi dan sayur bukan tambang,” kata Sukiman yang juga mendirikan radio komunitas mitigasi bencana erupsi Lintas Merapi FM.

Aktivitas Sukiman bukan tanpa alasan. Deles merupakan kawasan rawan bencana (KRB) erupsi Merapi, salah satu gunung berpenduduk padat di dunia yang paling aktif. Relokasi, menurutnya, bukan solusi karena masyarakat akan mengalami kesulitan berpindah dari kehidupan agraris di lereng gunung ke kehidupan urban.

Menurut Sukiman, hidup di wilayah risiko tinggi bencana mengharuskan masyarakat memiliki resiliensi tinggi terhadap ancaman siklus erupsi Merapi. Mitigasi bukan sekadar pengurangan risiko bencana dengan peningkatan kesadaran dan respon darurat bencana, tetapi tak kalah penting  juga, pemberdayaan ekonomi masyarakat sebagai modal membangun masyarakat tangguh bencana.

“Konservasi dan mitigasi lewat kopi hanya salah satu cara tetap berdaya secara ekonomi dan tangguh bencana,” kata Sukiman.

Ia melanjutkan, jika semakin berdaya secara ekonomi, maka akan semakin tangguh bencana, serta bisa menyelamatkan diri sendiri dalam keadaan darurat. Sukiman mencontohkan, warga desa diwajibkan memiliki kendaraan pribadi, minimal sepeda motor dimana jumlahnya cukup untuk mengungsikan seluruh anggota keluarga. 

“Kendaraan dibutuhkan, jika keluar peringatan evakuasi, sehingga mereka bisa segera menyelamatkan diri dan keluarga secara mandiri tanpa harus menunggu bantuan dari luar BPBD, TNI, dan polisi,” kaya Sukiman. 

Selama ini, kata Sukiman, terkait kesiap-siagaan bencana, Deles punya cara unik, yaitu mempersiapkan dana darurat berupa tabungan bencana. Penduduk  menyisihkan uang, dari Rp 1.000 sampai Rp 10,000 dari penjualan kopinya setiap hari, dimasukkan kedalam dana di rekening bank yang dikelola secara kolektif.

Setiap orang memegang buku tabungan, tanpa kartu ATM, sebagai bukti catatan saldo. Ketika bencana terjadi, dana tersebut dapat digunakan masyarakat ketika mereka harus evakuasi dan tinggal dalam barak-barak pengungsian di Klaten untuk waktu yang sulit ditentukan.

“Untuk memenuhi kebutuhan selama pengungsian, kami tak perlu menengadahkan tangan dan meminta-minta bantuan. Cukup mencairkan uang tabungan,” kata Sukiman.

Menurut Sukiman, kadang kebutuhan di pengungsian bisa lebih besar dari biasanya. Pengungsi bukan sekadar untuk hidup keluarga, tetapi juga harus menghidupi binatang ternak yang juga ikut dievakuasi. Tak bisa merumput di lereng Merapi, mereka harus membeli pakan sapi, memastikan manusia dan ternaknya sama-sama bertahan hidup.

Kopi berkontribusi besar dalam meningkatkan pendapatan dan kemandirian warga. Bagi Sukiman, kopi bukan sekadar biji yang enak diseduh sebagai minuman, tetapi juga menjadi bagian dari cara dan upaya penduduk untuk hidup nyaman di tengah ancaman.

“Setiap cangkir kopi Merapi akan selalu ada cerita tentang mereka yang beradaptasi terhadap risiko bencana erupsi. Minum kopi di sini, maka akan banyak cerita tentang merapi,” kata Sukiman. 

Mitigasi iklim melalui kopi Merapi 

Seperti kebanyakan petani di lereng Merapi , Sukiman awalnya menanam tembakau. Namun sejak tahun 2003, ia meninggalkan tembakau, yang menurutnya ikut berkontribusi merubah iklim di Merapi, bahkan meningkatkan risiko bencana.

“Tembakau tak bisa ditanam tertutup, ia perlu banyak matahari. Sehingga pohon banyak ditebang,” kata Sukiman.

Sukiman mengatakan tanaman kopi membawa dampak baik bagi lingkungan. Sebelum bertanam kopi, pukul 7 malam, banyak warga membuka baju karena merasa gerah. Namun lima tahun ini, warga mulai kembali merasakan dingin di kampung.

“Walau secara penelitian belum kami lakukan, tapi sebagai masyarakat lokal, kami merasakan perubahan sebelum dan sesudah melakukan konservasi lewat kopi,” kata Sukiman.

Terkait pengaruh letusan Merapi terhadap perubahan iklim, sejumlah penelitian telah menggunakan berbagai pendekatan statistik dan fisik untuk menentukan kontribusi gas rumah kaca dan efek lainnya terhadap pemanasan global yang diamati, seperti Foster and Rahmstorf dan Lean and Rind. Mereka menemukan bahwa gunung berapi memiliki kontribusi yang relatif kecil terhadap pemanasan global, dan pada kenyataannya, kemungkinan bahkan memiliki efek pendinginan bersih selama 50-65 tahun terakhir.

Penelitian Foster and Rahmstorf, Lean and Rind (2008) juga mencakup regresi linier berganda pada data suhu, dan menemukan bahwa meskipun aktivitas gunung berapi dapat mencapai sekitar 10 persen dari pemanasan global yang diamati di tahun 1979-2005, antara 1889 dan 2006 aktivitas gunung berapi memiliki efek pendinginan bersih kecil di suhu global. 

“Dengan demikian gunung berapi belum menyebabkan pemanasan global jangka panjang selama abad yang lalu, dan dapat menjelaskan hanya sebagian kecil dari pemanasan selama 25 tahun terakhir,” seperti dituliskan penelitian tersebut.

Kepala Unit Analisa dan Prakiraan Cuaca BMKG Stasiun Klimatologi Yogyakarta, Sigit Hadi Prakosa, mengatakan bahwa terdapat korelasi antara aktivitas Gunung Merapi dan cuaca ekstrem lereng Merapi, khususnya di wilayah Sleman. Cuaca ekstrem mengakibatkan bencana hidrometeorologi yang melanda Sleman sejak bulan November 2018.

Meningkatnya aktivitas Merapi berupa guguran lava dan tersedianya abu vulkanik di atmosfer akan menambah partikel di udara yang mendukung pembentukan uap air. Peningkatan akumulasi debu vulkanik memicu pembentukan awan Cumulonimbus (CB). Berdasarkan analisa BMKG, Kabupaten Sleman memang tergolong wilayah rawan bencana hidrometeorologi atau bencana yang disebabkan cuaca ekstrem.

“Berdasarkan data historis di DIY, 81 persen bencana di wilayah Sleman merupakan bencana hidrometeorologi. Berupa angin kencang yang mengakibatkan pohon, baliho roboh, hujan lebat bisa akibatkan banjir dan tanah longsor serta hujan es dan petir,” kata Sigit.

Sementara itu, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan, perubahan iklim atau cuaca ini akan berdampak pada pola tanam dan hasil pertanian warga. Maka pengetahuan petani perlu berkembang, karena kondisi alam kita juga berkembang. Di masa lalu belum ada perubahan iklim global yang dahsyat, sekarang perubahan iklim bisa mendadak terjadi. 

“Perubahan iklim inilah yang menjadikan penting bagi pertani agar memahami informasi cuaca dan iklim,” ujar Dwikorita.

Ia melanjutkan, pemahaman tentang iklim dan cuaca ini bisa mengurangi risiko baik korban maupun kerugian ekonomi. Para petani pun diharapkan bisa menyesuaikan proses tanam dengan kondisi iklim.

Menurut Sukiman, tak semua warga berpindah menanam sayur dan kopi, masih ada yang menanam tembakau sebagai selingan. Kata Sukiman, prinsip petani adalah apapun yang mengutungkan akan dipilih. Sayur dipilih karena bisa dipanen tiap bulan, jikapun tak laku dimakan sendiri atau dibagikan pada tetangga.

Jika pohon ditebang, risiko bencana makin besar. Kopi merupakan tanaman kayu keras. Jika terkena hujan abu letusan Merapi, hilang daun, bisa tumbuh lagi. Kopi bisa ditanam di bawah pepohonan lain dan tanaman hutan.

Sukiman tak memaksa petani beralih menanam kopi. Ia hanya memberikan contoh dengan harapan mereka akan menyadari buruknya dampak tambang, dan baiknya bertani, hingga mereka akan beralih menjadi petani atas kesadaran pribadi.

Akademisi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Dr. Eko Teguh Paripurno yang juga Kepala Pusat Studi Manajemen Bencana UPN mengatakan, mengganti hortikultur dengan kopi merupakan pilihan cerdas. Tanaman kopi, lanjutnya, tidak menimbulkan erosi lahan  dan tidak ada pencemaran.

“Tanaman kopi punya kemampuan adaptasi terhadap iklim, sehingga jadi pilihan untuk bersama memperbaiki ekosistem, harapannya supaya pengelolaan lingkungan dengan mengalihkan usaha tanam hortikultur di daratan tinggi ke pertanian bernilai konservasi dan mitigasi, dan kopi sedang naik daun sebagai tanaman pengganti. Tanaman kopi bisa dilakukan tumpang sari,” kata Eko.

Selain itu, investasi di bidang pertanian perlu upaya pengurangan risiko bencana. Di kawasan rawan erupsi gunung berapi, nilai ekonomi jangan hanya membandingkannya dengan hasil investasi, tapi juga membandingkan risiko bencana bila lereng gunung ditanami kopi atau tanaman hortikultur.

Eko mengatakan semua bentuk tanaman atau tumbuhan berkayu dan berbuah akan berkontribusi positif pada iklim mikro. Jika Sukiman dan warga di lereng merapi,  merasakan ada perubahan iklim, itu memang benar, karena adanya perubahan iklim mikro, hanya berdampak pada tempat dia menanam.

Pilihan cerdas warga di Deles menanam kopi daripada menambang pasir harus didukung sebagai bagian dari upaya membangun ketangguhan ekonomi hijau.

“Pilihanya ada di pemerintah daerah, apakah akan berfikir positif melakukan mitigasi lewat pertanian, salah satunya kopi, atau terus mendorong pembangunan lewat tambang, yang semakin memperburuk risiko bencana ekologi,” kata Eko.

Perempuan pengolah kopi Merapi

Sri Murtini sibuk memilih biji kopi terbaik sebelum dipanggang secara manual. Berkerudung putih dan berbaju lengan panjang, dipilihnya biji kopi satu persatu. Biji kopi pilihan tersebut kemudian dimasukannya kedalam alat pemanggang manual yang terdiri dari tabung besi dan kompor gas.

“Setiap 30 menit diputar terus, maka yang dihasilkan kopi medium, jika dngin dibuat hitam, ditambah 5 menit,” kata Sri yang ikut mengelola kopi Petruk.

Ia mengatakan pengolahan biji kopi arabika Deles sejak dulu menggunakan cara manual, yakni dari mulai pemilahan buah kopi merah (red cherry) hingga pengeringan dengan sinar matahari. Konon, justru dengan teknik manual yang dilakukan sejak zaman Belanda ini, kopi Deles memiliki kualitas rasa yang khas.

Kombinasi aroma harum yang kuat, keasaman pas, dan rasa manis dari sisa kulit buah membuat kopi ini masuk dalam kualitas premium. Sukiman menjual biji kopi kering (green beans) dengan harga Rp 100,000 per kilogram. Kopi Deles tidak setenar kopi Gayo dan kopi Toraja di kalangan penikmat kopi Indonesia, karena memang kopi ini tak banyak dijual di dalam negeri. Sri mengatakan produksi hanya dalam bentuk kopi bubuk sebesar 500 kemasan ukuran 250-100 gram per bulannya. 

“Pasar utama kita Jepang, kopi ini dijual di kafe-kafe di sana. Sekarang ada permintaan kopi dengan fermentasi rasa sake dari Osaka, jumlahnya tak terbatas, berapa pun diterima,” kata Sri.

Sri Murtini, mewakili kelompok perempuan melakukan pengolahan kopi Petruk Merapi. Sumber: Tommy Apriando

 

Kelompok perempuan tani Ngudi ini juga mengolah hasil pertanian lain selain kopi. Mereka mengolah tanaman tumpangsari menjadi minuman rempah siap saji. Mereka juga menabung, serta belajar bersama mengolah kopi secara baik dan benar. Di waktu luang, petani akan membantu memilih biji kopi terbaik sebelum di goreng, sembari bercerita tentang pertanian dan merapi. 

“Mereka memilih kopi juga dibayar, sembari bicara tentang tani dan merapi,” kata Sri.

Petani perempuan belajar dari berbagai literatur, dan produksi berjalan meski dalam skala kecil, ujar Sri.  mereka juga belajar cara petik kopi yang benar sehingga tidak lagi memetik asal-asalan dan menyebabkan pohon tidak lagi berbuah usai dipetik.

Ketika kemarau sangat terik di Deles, , kopi menggunakan sistem infus hingga dapat terus hidup dan cepat berbuah. Petani belajar bersama mulai dari bagaimana menanam, memelihara, memanen, mengolah, dan  menggoreng hingga mengenali rasa kopi.

“Warga pakai sistem tumpang sari. Kopi ditanam bersama bunga kol, cabai, dan bawang. Jika harga sayur tak stabil, petani tetap tak merugi,” kata Sri .

Sukiman merasakan benar perubahan perekonomian warga sejak bertani kopi dan sayur. Kini baik Sukiman dan Sri mampu menjual kopi Petruk Merapi Rp240.000 per kilogramnya. Mereka juga menjual jamu kemasan seperti temu lawak, dan jahe.

Penasehat Paguyuban Kopi Prambanan Klaten-Kalasan, Puguh Tribendarto mengaku tertarik menyediakan Kopi Petruk bagi konsumennya. ”Ya kami juga mengetahui Kopi Petruk. Hanya saja untuk distribusi masih terbatas. Kami kesulitan mencarinya,” kata Puguh.

Promosi dan kampanye mitigasi lewat radio

Hampir semua aktivitas merapi diteruskan ke publik oleh Sukiman lewat media online twitter dan aplikasi sosial media lainnya. Tapi radio masih jadi pilihan paling efektif bagi Sukiman untuk berbagi informasi ke publik. 

Sebagai petani kopi dan pegiat mitigasi, Sukiman menjadikan radio tak hanya sebagai sarana hiburan, melainkan juga sarana pendidikan. Sukiman meyakini radio tak akan mati seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi.

Di rumahnya,  ia mengelola kelola studio Radio Lintas Merapi.  Stasiun radio itu ia bangun bersama para sukarelawan di tahun 2002. Fungsi utama radio itu adalah menjadi pusat informasi masyarakat tentang kesiapsiagaan bencana Gunung Merapi. Saat itu, tidak sembarang orang bisa memiliki HT [handy talkie]. Di Sidorejo belum ada ponsel dan tidak ada telepon. Informasi soal kondisi Merapi terkini sering terlambat dan hanya mengandalkan mulut ke mulut. Sementara, teknologi yang banyak dimiliki warga saat itu radio.

Sukiman bercerita, Radio Lintas Merapi pun berdiri meski dengan peralatan seadanya. Sebelum 2006, menara pemancar menggunakan batang bambu. Saat itu, untuk mengisi hiburan dari siaran radio, penyiar mengandalkan kaset. Itu pun dari hasil pinjaman warga. 

“Jadi saat itu ada seksi pinjam kaset sana-sini. Pernah memutar kaset wayang itu belum selesai diputar sudah diambil tukang sound,” kata Sukiman.

Kini, berbagai peralatan telah diperbarui. Tak hanya peralatan siaran, gamelan pun melengkapi ruangan radio,  menjadi sarana belajar tentang kesenian sekaligus mengisi acara radio. 

“Semuanya secara swadaya. Jadi iuran kami tidak pakai uang tetapi di rumah punya alat apa dibawa ke radio,” kata Sukiman.

Selain peralatan, kapasitas penyiar yang juga sukarelawan juga terus diasah hingga  tak hanya fasih mengabarkan informasi tentang kesiapsiagaan bencana melalui frekuensi radio.  Para penyiar juga rutin melakukan pelatihan tentang kesiapsiagaan bencana.

Kisah tentang Radio Lintas Merapi yang memiliki misi mitigasi bencana itu pun menyebar, bahkan sampai mancanegara. Sukimanpun diundang ke sejumlah negara untuk bercerita tentang radio komunitas yang ia kembangkan bersama para sukarelawan di lereng Merapi. 

Kini, Radio Lintas Merapi juga menjadi pusat pendidikan ekonomi. Pengelola radio juga menyebarkan pengetahuan mengenai bagaimmana menanam, mengolah, membudidayakan kopi.

“Kopi akan terus berkembang. Kami mencoba membina mengelola kopi dan berbagai macam bahan olahan dari kopi. Dari kopi pulalah bisa menghidupi operasional radio,” tutur Sukiman.

Terik matahari menerpa Deles, namun udara masih terasa dingin dikulit. Di smartphone suhu udara tertulis 26 derajat, sementara di Yogyakarta suhu mencapai 36 derajat.

Merapi masih tertutup awan putih. Saya pamit pulang kepada  Sukiman dan Sri. Secangkir kopi sudah habis mengiringi cerita panjang tentang kopi dan mitigasi perubahan iklim kelompok petani Ngudi.

“Sampaikan ke publik, ada kopi enak di Merapi. Bantu kami menjaga bumi, agar terus konsisten melakukan mitigasi dan menjaga ibu bumi,” kata Sukiman. 

 

Liputan in merupakan bagian dari program pelatihan dan beasiswa Kopi dan Perubahan Iklim yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) dan didukung oleh Internews’ Earth Journalism Network.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.