Larangan penggunaan kantong plastik di Jakarta sudah berlaku. Kebijakan ini, dianggap oleh sebagian sebagai langkah awal dalam penanggulangan sampah plastik di ibukota. Namun sebagian lagi berpendapat, masih banyak yang perlu diperbaiki.

Oleh May Rahmadi

“Kita memang ketergantungan banget sama plastik, ya, ternyata,” kata Yanurisa Ananta (29), warga Jakarta Timur, Selasa (30/6).

Aya, sapaan akrabnya, mengatakan hal tersebut setelah berbelanja di warung dekat rumahnya. Kala itu, dia membawa kantong kertas sendiri untuk membeli telur. Namun, ternyata warung tersebut sudah membungkus telur-telurnya dengan kantong plastik per empat butir.

Pedagang warung tak mau repot mengeluarkan telur-telur tersebut dari plastik. Walhasil, kantong kertas yang Aya bawa berisi beberapa plastik. “Jadi, mau gak mau pakai plastik lagi,” jelas Aya.

Lain waktu, Aya membeli seblak (makanan khas Sunda) di dekat rumahnya. Kepada penjual, dia meminta seblak tersebut disajikan dengan mangkok kaca. Namun, penjual seblak itu tidak menyediakan mangkok. Makanan tersebut disajikan dengan styrofoam.

Aya adalah warga Jakarta yang hendak mengurangi penggunaan plastik. Kesadarannya itu tidak lepas dari lingkungan di sekitar rumahnya, khususnya di kali selebar tiga meter yang melintas di kawasan Cipinang. Di kali itu, bertebaran sampah plastik berupa kantong plastik kresek, popok bayi, botol plastik, dan kemasan snack.

Dia memandang, plastik seharusnya tidak digunakan untuk sekali pakai. Itu sebabnya Aya kerap membawa plastik kemana pun. “Tapi masih banyak orang melihat saya aneh kalau belanja dengan membawa plastik sendiri,” kata dia.

Hal tersebut tercermin dari hasil riset Tim Penelisi Sampah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Intan Suci Nurhati. Dalam diskusi daring beberapa waktu lalu, Intan mengatakan, aksi nyata masyarakat dalam mengelola plastik masih sangat minim. Kendati, 98 persen masyarakat menilai pentingnya memilah plastik.

“Tetapi ketika kita tanya perlu kah kita memilah plastik? Hanya 51 persen yang mengatakan perlu. Hanya satu dari dua responden yang melakukan pemilahan plastik,” kata Intan, Rabu (1/7). “Hampir semua orang menilai penting mengelola plastik, tetapi kita belum sepenuhnya mentransformasi ini menjadi aksi nyata. Mendukung (pengelolaan plastik) belum tentu melakukan.”

Pada tanggal 1 Juli 2020, DKI Jakarta mulai memberlakukan kebijakan pelarangan penggunaan kantong plastik di tempat perbelanjaan. Aturan tersebut termaktub dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi DKI Jakarta No. 142 tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan dan Pasar Rakyat.

Menurut Intan, kebijakan tersebut memang diperlukan. Persoalan sampah plastik di Jakarta memang merupakan masalah serius.

Berdasarkan penelitiannya, ada 8,3 ton sampah  setiap hari yang mengalir dari sembilan sungai di Tangerang, Jakarta, dan Bekasi menuju teluk Jakarta. Mayoritas sampah-sampah tersebut adalah plastik.

“Dari semua sampah yang mengalir itu, 59 persen adalah plastik,” katanya. “Karena itu, ada urgensi untuk mengintervensi sampah plastik melalui regulasi dan kesadaran masyarakat.”

Sumber: Pemerintah Propinsi DKI Jakarta

Di balik larangan penggunaan kantong plastik

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Andono Warih mengatakan, sampah plastik sudah menjadi masalah global. Pada 2015, Jambeck Research Group merilis laporan penelitian “Plastic Waste Inputs from Land Into the Ocean” yang dilakukan pada 192 negara.

Laporan tersebut memuat 192 negara berdasarkan perkiraan sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik di tahun 2010.

“Indonesia turut menyumbang sampah plastik di laut sebesar 1,3 juta ton per tahun,” kata Andono kepada Ekuatorial, Rabu (1/7). “Berada di peringkat kedua setelah tiongkok yang menyumbang 3,5 juta ton per tahun.”

Data DLH DKI Jakarta menunjukkan timbulan sampah pada akhir 2019 mencapai 7,7 ton per hari. Di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantar Gebang, Andono melanjutkan, sampah kresek menyumbang jumlah yang signifikan; 34 persen dari 39 juta ton sampah di sana adalah plastik, kebanyakan kantong kresek.

Penumpukan itu, menurutnya, disebabkan jenis kantong kresek yang dikumpulkan oleh pemulung. “Sampah jenis ini membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk terdekomposisi secara alamiah,” katanya.

The Balance, sebuah laman mengenai pembiayaan bagi usaha kecil, menulis bahwa plastik membutuhkan hingga 1.000 tahun untuk terurai dengan sendirinya di tempat pembuangan sampah. Barang-barang berbahan plastik yang kita gunakan sehari-hari membutuhkan 10 hingga 1.000 tahun agar terurai. Botol plastik, misalnya, baru bisa terurai selama 450 tahun.

Menurut data DLH DKI Jakarta 2018, swalayan, mall, dan pasar tradisional menghasilkan lebih dari 1,7 juta lembar plastik dengan berat 7 ton per hari. Sedangkan pedagang makanan dan minuman selain di tiga tempat tersebut, menghasilkan kurang lebih 143 ton sampah plastik dan juga styrofoam per hari. Setidaknya, Jakarta menampung minimal 150 ton sampah plastik dan styrofoam setiap harinya.

Itu sebabnya, Jakarta memerlukan kebijakan untuk menangani masalah sampah ini. Larangan penggunaan kantong plastik di tempat perbelanjaan adalah langkah awal. Kebijakan tersebut diambil karena kantong plastik sekali pakai atau kresek memiliki banyak substitusi.

Dalam aturan terbaru yang melarang penggunaan kantong plastik, para pengelola pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar rakyat memiliki sejumlah kewajiban. Di antaranya, wajib menggunakan Kantong Belanja Ramah Lingkungan (KBRL), pelarangan penggunaan Kantong Belanja Sekali Pakai, dan sosialisasi penggunaan KBRL.

Sumber: Pemerintah Propinsi DKI Jakarta

 

Andono mengklaim, mayoritas pelaku usaha mendukung kebijakan ini. Sebab, kebijakan tersebut justru mengurangi cost pelaku usaha untuk menyiapkan kantong belanja sekali pakai dan konsumen dapat menggunakan KBRL. KBRL dapat digunakan berulang kali. KBRL yang dia maksud KBRL berupa tas kain, tas kanvas, tas pandan, dan keranjang belanja yang dapat digunkan berulang-ulang.

“Alternatif pengganti kantong plastik sekali pakai adalah menggunakan kantong belanja ramah lingkungan (tas guna ulang) yang sudah sangat banyak tersedia di pasaran,” katanya.

Berdasarkan aturan terbaru, nantinya, pengelola pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar rakyat dapat memperoleh insentif fiskal daerah, jika melaksanakan kewajiban dan prosedur sosialiasi penggunaan KBRL. Fiskal daerah yang dimaksud adalah pengurangan atau keringanan pajak daerah.

“Satu tahun sejak Pergub 142/2019 berlaku efektif, mekanisme insentif akan berlajan,” kata Andono.

Corporate Communication General Manager Alfamart Nur Rachman mengatakan, mendukung kebijakan Pemprov. Dia mengklaim, para konsumennya sudah mulai terbiasa membawa tas belanja sendiri.

“Dimulai dari program KPTG (Kantong Plastik Tidak Gratis) yang Alfamart jalankan satu tahun lalu, dan selama itu pula konsumen kami punya kesadaran untuk tidak lagi meminta kantong plastik, maka sosialiasi kepada mereka tentang Pergub ini akan lebih mudah dilaksanakan,” katanya,

Sosialisasi yang dilakukan Alfamart terjadi saat melakukan pembayaran. Petugas Alfamart di Jakarta akan menginformasikan larangan penggunaan kantong plastik tersebut. Pengumuman lain juga disampaikan melalui poster yang ditempel di toko atau melalui konten-konten kreatif di media sosial.

Jika konsumen tidak membawa tas belanja sendiri, Alfamart bakal menyediakan tas belanja ramah lingkungan yang bisa digunakan berulang kali. Nur Rachman menjelaskan, Alfamart di DKI menyediakan kantong berbahan kain spunbond dan kain dinier seharga Rp 4 ribu dan Rp 5 ribu.

Sejauh ini, dia mengklaim, belum terasa ada dampak signifikan terhadap penjualan Alfamart sejak aturan tersebut belaku pada awal Juli lalu. Namun yang jelas, ada pengurangan anggaran biaya pengadaan kantong plastik.

Perbaikan peraturan dan penegakkan hukum

Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Bella Nathania mengapresiasi kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena berupaya menekan penggunaan kantong plastik sekali pakai. Namun, Bella memberikan sejumlah catatan.

Menurut Bella, masih ada celah hukum dalam aturan tersebut. Sebab, Pemprov tidak memberikan jangka waktu peralihan dari kantong kemasan ke KBRL. Akibatnya, hal ini bisa menjadi alasan para pelaku usaha untuk mengulur-ulur waktu beralih dari kantong plastik ke KBRL, dan tetap menyediakan kantong plastik sekali pakai selama alternatif kemasan yang ramah lingkungan belum tersedia.

Bella berpendapat, seharusnya Pemprov juga memberikan insentif  kepada para pelaku usaha untuk mendorong percepatan peralihan dari kantong plastik sekali pakai ke KBRL. “Bisa didorong dengan insentif, sebenarnya,” kata dia.

Bella juga menyoroti definisi kantong kemasan ramah lingkungan dalam aturan tersebut. Dia mengatakan, tidak ada definisi jelas mengenai hal itu. Padahal, kalau bisa diperjelas, peralihannya akan lebih lancar.

“Kantong kemasan ramah lingkungan, apakah dari kertas? Atau polyester?” katanya.

Selanjutnya, yang tak kalah penting adalah publikasi penegakan hukum. Dalam aturan tersebut, ada sanksi administrasi bagi para pelaku usaha yang tidak taat aturan. Sanksi tersebut sifatnya berjenjang, mulai dari teguran tertulis, uang paksa, pembekuan izin, dan pencabutan izin.

Bella meminta Pemprov memublikasi para pelaku usaha yang mendapat sanksi karena tidak mematuhi larangan penggunaan kantong plastik. Menurutnya, pengenaan sanksi terhadap para pelaku usaha itu adalah informasi publik yang harus diumumkan.

“Hal tersebut adalah bagian dari penyelenggaraan negara,” kata dia. “Karena itu, penegakan hukumnya adalah informasi publik.”

Dengan mengumumkan sanksi kepada para pelaku usaha, Bella melanjutkan, hal tersebut menjadi sebuah sanksi sosial. Publik pun akan terbantu dalam berpartisipasi mengurangi penggunaan kantong plastik. Publik dapat mengetahui pelaku usaha yang tidak mengindahkan upaya pengurangan kantong plastik.

Petugas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta melakukan sosialisasi penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan (KBRL) di sebuah toko di Jakarta (6/7/2020). Sumber: Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta

 

Bella juga menyayangkan, Pemprov tidak menetapkan harga kantong ramah lingkungan yang disediakan para pelaku usaha. Mestinya, kata dia, Pemprov bisa memastikan harga kantong ramah lingkungan itu terjangkau seluruh masyarakat. Hal ini penting agar kebijakan tersebut menjadi inklusif.

Humas DLH Jakarta Yogi Ikhwan menjelaskan mengenai catatan yang diberikan ICEL. Yogi menegaskan, Pergub 142/2019 itu sudah harus diikuti seluruh pihak terkait. Sebab, Pemprov telah memberikan jangka waktu peralihan selama enam bulan sejak aturan tersebut diundangkan pada 31 Desember 2019.

“Selama enam bulan itu kita intens melakukan sosialisasi secara langsung kepada pengelola melalui asosiasi pengusaha ritel, misalnnya. Kemudian juga melalui media massa dan kita pun berkirim surat,” katanya. “Jadi tidak ujug-ujug aturan itu berlaku ketika diundangkan.”

Nantinya, Yogi melanjutkan, sanksi administratif terhadap para pelanggar akan dipublikasi menjadi informasi publik. Namun teknis publikasi itu masih dibahas. Kemungkinan, informasi itu dapat diakses di website DLH DKI Jakarta,.

“Sekarang masih bulan pertama. Pelanggaran di bulan ini akan ditindaklanjuti di bulan berikutnya. Kita belum jatuhkan sanksi,” kata dia.

Adapun, Yogi melanjutkan, para pengusaha yang mematuhi aturan itu dengan sejumlah syarat, bakal mendapatkan insentif fiskal berupa keringanan pajak. Pemprov tengah merancang hal tersebut yang nantinya akan dijadikan Pergub.

“Pajak apa? Itu lagi dikaji. Nanti mekanismenya ada di Pergub khusus itu,” katanya.

Mengenai tidak adanya definisi pasti tentang KBRL dalam Pergub 142/2019, Yogi menjelaskan, itu untuk mencegah adanya pihak yang mengambil keuntungan bisnis dari Pergub tersebut. Pemprov DKI tidak ingin adanya monopoli, karena itu Pergub tersebut tidak menyebut bahan KBRL secara spesifik.

“Tidak mengacu pada satu produk atau desain tertentu, yang penting kantong reusable dan bahannya bisa diguna ulang,” kata dia, “Kalau cuma satu bahan tertentu, nanti dikuasai oleh pengusaha. Akan jadi monopoli lagi. Dengan dibebaskan, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah juga jadi bisa masuk.”

Hal tersebut juga menjadi alasan Pemprov tidak menetapkan harga KBRL yang disediakan peritel. Tujuannya, untuk mendorong persaingan bisnis yang sehat. “Biar mekanisme pasar yang menentukan,” lanjutnya.

Biar bagaimana pun, warga Jakarta Timur, Yanurisa Ananta, mendukung langkah Pemprov DKI mengurangi penggunaan plastik ini. Menurutnya, ini adalah langkah awal yang baik.

“Sebagai langkah awal ini sudah bagus banget, karena di Indomaret dekat rumah saja sudah benar-benar paham mengenai aturan itu dan orang-orang pada membawa tas sendiri. Jadi, peredaran plastik di tengah masyarakat ikut berkurang,” katanya.

Humas DLH Jakarta Yogi Ikhwan pun menyampaikan, nantinya, seiring meningkatnya kesadaran masyarakat dan kebiasaan berperilaku mengurangi sampah, ada kemungkinan opsi untuk mengatur pembatasan plastik selain di swalayan, mall, dan pasar tradisional. Pedagang kecil yang menjual seblak di dekat rumah Yanurisa Ananta, misalnya.

“Pergub (Nomor 142 Tahun 2019) ini bertujuan sebagai sarana social engineering. Kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan hidup meningkat, mereka jadi terbiasa membawa wadah sendiri, sehingga ketika mereka belanja di mana saja mereka sudah membawa wadah yang bisa dipakai berulang,” katanya. Ekuatorial.

 

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.