Posted in

KOALISI SIPIL PESIMIS PASAR KARBON HUTAN TERWUJUD

thumbnailNorwegia akan mengadakan konferensi REDD-Exchange akhir Juni 2011. Tujuannya untuk membahas apa saja yang perlu untuk mewujudkan sebuah pasar karbon yang solid untuk REDD+. Dan apa saja halangannya. Tapi koalisi sipil dunia justru pesimis gara-gara empat alasan.

Jakarta-Saat negara-negara hutan seperti Indonesia dan Brazil sibuk menyiapkan mekanisme REDD+ (Reduction Emission from Deforestation and Degradation and Enhancing Carbon Stock in Developing Countries), koalisi organisasi sipil dunia RRI justru pesimis sendiri. Mereka menyimpulkan ada empat alasan mengapa REDD+ yang berlandaskan pasar karbon akan sulit terwujud.

“Dalam pikiran saya sedikitnya ada empat hal penting yang harus dipelajari dan “diperbaiki,” kata Andy White, Koordinator Right and Resources Initiative (RRI) dalam wawancaranya kepada REDD- Monitor.

Hal pertama, menurut White, adalah semakin banyak yang mengakui pemerintah-pemerintah dengan kebijakan agrikultur mereka dan industri kayu adalah penyebab utama penggundulan hutan. Bukannya semata gara-gara masyarakat sekitar yang haus tanah pertanian. Pengakuan ini selanjutnya membuat banyak orang kebingungan menyusun mekanisme yang baiknya nanti. Pasalnya semula dunia berpikir REDD+ adalah mekanisme sederhana. Pokoknya bagaimana membayar empunya tanah agar mereka tidak menebang pohon-pohonnya. Jadi tidak sampai harus berurusan bagaimana mengubah kebijakan agrikultur sebuah negara atau bagaimana membayar industri kayu supaya tak lagi beroperasi di hutan.

“REDD+ masih disalaharahkan oleh Kurva Biaya McKinsey’s dan kita masih berusaha menarik diri dari kesalahan itu,” kata White.

Kurva Biaya McKinsey adalah kurva biaya REDD+ yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan konsultan global McKinsey&Co. pada 2009. Kurva yang menjadi bagian laporan mereka dari proyek contoh REDD+ di Kongo ini menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan hutan itu pasti murah biayanya. Laporan ini dibantah Green Peace Inggris, yang mendata bagaimana McKinsey tidak memasukkan biaya politik dan sosial suatu negara akibat REDD+.

Hal kedua gara-gara semakin tumbuhnya kesadaran dunia akan konservasi dan restorasi hutan. Hal ini sangat baik. Namun tidak buat negosiasi internasional. Pasalnya semakin banyak lagi unsur yang harus diperhatikan dalam mekanisme REDD+. Brazil bersama kelompok negara-negara Amerika Latin sudah jadi pelopor dengan melibatkan kelompok masyarakat adat mereka dalam usaha konservasi hutan. Tapi ini juga berarti menyiapkan REDD+ di sana semakin tak murah. Di Meksiko misalnya, telah ada sistem pembayaran publik untuk jasa ekologis yang dikelola oleh komunitas setempat. Namun di lain pihak Meksiko harus juga siap keluar biaya lebih berkampanye ke berbagai komunitas-komunitas mereka untuk mau melestarikan hutan dan mendapatkan uang dari penyerapan emisinya.

Yang juga bikin negosiasi REDD+ tambah ruwet, di saat bersamaan pemerintah-pemerintah dunia kini juga bergegas merestorasi hutan mereka. Bahkan lama sebelum REDD+ dilaksanakan di negara mereka. Maklum saja, pohon memang tak tumbuh sehari-dua hari. Jadi kalau mau ikut serta, kudu buru-buru tanam pohon.

Program ini sah-sah saja. Tapi di lain pihak permintaan dunia akan kayu hutan juga tetap tak berhenti. RRI pun menyimpulkan, kecuali jika program tanam pohon atau restorasi hutan ini dilakukan di luar area hutan alam itu sendiri, maka akan terus terjadi kebocoran loging kayu. Kalau sudah begitu REDD+ tidak akan bisa sukses, kecuali satu hutan diperbolehkan memanen kayu dari hutan lain. Dan itu membuat tuntutan konservasi hutan juga akan terus besar.

 

Hal ketiga yang bisa menjadi penghambat REDD+ tak lain adalah pasar karbon hutan yang tak akan segara terwujud. Dasarnya, pasar karbon hutan bermaksud membawa “uang swasta” untuk ikutan membiayai REDD+. Tapi sesuai hukum ekonomi pasar karbon segera ambruk akibat kurangnya permintaan. Bagaimanapun dunia sampai sekarang masih belum sepakat berapa harus memotong emisi nasional negara maju dan berapa untuk negara berkembang. Akibatnya tak ada perusahaan swasta yang merasa perlu beli jatah karbon.

 

“Ini juga berarti dibutuhkan tindakan lanjut jangka pendek untuk mendirikan skema pembayaran finansial publik dan dana tingkat nasional untuk mendirikan sebuah pasar karbon. Dan itu memerlukan uang, yang sampai sekarang belum juga didanai,” kata White.

 

Dan hal keempat dan terakhir yang jadi tantangan buat REDD+ kembali pada isu persaingan pelestarian hutan dengan pangan, bioenergi serta pemanfaatan lahan.

 

“REDD+ seperti ikan kecil dalam kolam yang besar dan berbahaya dan untuk membuat REDD+ bisa sukses adalah membuat mekanisme ini bisa mengubah sektor-sektor yang lumayan besar itu,” kata White.

 

Hanya demikianlah, RRI menyimpulkan REDD+ baru bisa mengubah cara pandang industri dan dunia bahwa hutan lebih berharga saat dia hidup, dan bukan saat dia mati ditebang.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.