Posted in

PETA HUTAN BEDA-BEDA, MORATORIUM HUTAN LANGSUNG KENA CELA

thumbnailMolor dari jadwal sebenarnya pada Januari 2011, Instruksi Presiden (Inpres) No.10 tahun 2011 tentang Moratorium Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut akhirnya ditandatangani pada Jumat (20/5).  Moratorium itu langsung mengundang reaksi kecewa lembaga-lembaga non pemerintah. Ketua Satuan Tugas REDD+ Kuntoro Mangkusubroto tak hadir dalam konferensi pers moratorium di Sekretariat Kabinet, dan menyusun pernyataan pers sendiri. Intinya, dia mendukung langkah pemerintah tersebut. Jakarta-Moratorium Penundaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut akhirnya selesai juga. Moratorium ini adalah langkah awal Pemerintah Indonesia menetapkan proyek-proyek percontohan REDD+ (Reduction Emission from Deforestation and Forest Degradation and Enhancing Carbon Stock in Developing Countries) di Indonesia. Norwegia pun sudah menyiapkan dana US $ 1 miliar (setara Rp 9 triliun) untuk mendukung program ini. Baru sehari nongol, moratorium ini langsung mengundang protes lembaga-lembaga non pemerintah   Mereka tak puas dengan angka target penundaan penebangan hutan primer di Indonesia yang hanya 64 juta hektar atau kurang lebih 64 juta kali luas lapangan sepakbola. Dan untuk lahan gambut, target ini hanya 31 juta hektar saja. Apalagi penundaan itu hanya berlaku dua tahun dan atas nama kebutuhan pembangunan nasional, Inpres No 10 tahun 2011 ini juga membuka lowongan untuk “pengecualian penundaan”.   Soal luas hutan yang beda-beda, Greenpeace mengklaim seharusnya ada hutan hujan tropis Indonesia seluas 104,8 juta hektar alih-alih 64 juta hektar saja yang masuk dalam komitmen moratorium itu. Jadi menurut Greenpeace, ada sekitar 39 persen hutan primer seluas sekitar 40 juta lapangan sepakbola di Indonesia yang masih bisa dan akan dihancurkan.   Bustar Maitar, Juru Kampanye Greenpeace Asia Tenggara menyatakan perbedaan peta hutan nasional antara milik lembaga non pemerintah dengan milik Kementerian Kehutanan (Kemenhut) bersumber kepada pengertian hutan itu sendiri.  “Hutan itu berarti daerah tutupan hutan lengkap dengan ekosistem di dalamnya, yang selalu kami (lembaga non pemerintah) pakai. Jadi peta hutan itu seharusnya mengindikasikan mana hutan secara ekologis dan mana yang tidak. Bukan melihat hutan secara politis,” kata Bustar.   Berdasarkan UU No 41 Tahun 1999 Pemerintah Indonesia melihat hutan dalam dua arti, ekologis dan politis. Ekologis berarti “hutan” yang adalah daerah tutupan hutan lengkap dengan ekosistemnya. Sementara secara politis berarti “kawasan hutan” yang adalah kawasan yang ditunjuk menjadi wilayah wewenang Kemenhut. Tak peduli daerah itu masih berhutan atau tidak. Salah satunya terlihat pada sebagian besar wilayah Kota Palangkaraya yang masuk kawasan hutan, sekalipun jika melihat kenyataannya wilayah itu telah berubah jadi urban sejak lama.   Perbedaan makna hutan juga nampak pada pengertian hutan primer. Kemenhut menggolongkan hutan primer sebagai hutan perawan yang belum pernah terjamah manusia secara ijin penebangan. Ini artinya, hutan-hutan yang pernah dikenai Hak Pengelolaan Hutan (HPH) otomatis masuk kategori hutan sekunder. Sekalipun kondisi hutannya masih baik secara ekologis. Dan masuk kategori hutan sekunder berarti Kemenhut tak perlu menunda-nunda ijinnya selama dua tahun gara-gara si moratorium.   Nah, permainan makna hutan sekunder dan primer ini membuat lembaga-lembaga non pemerintah kecewa. Pasalnya Lembaga Riset Hutan CIFOR mencatat sedikitnya ada 36 juta hutan sekunder di Indonesia yang tak termasuk dalam moratorium itu. Mereka menyayangkan hal ini, karena kemungkinan dapat mempengaruhi pencapaian Indonesia untuk mengurangi 26 persen emisi gas rumah kaca tahun 2020.  Arti hutan sekunder menurut CIFOR adalah hutan yang sebagian pohonnya telah ditebang untuk kayunya atau kegunaan lain. Memang hutan-hutan ini tidak dapat dikategorikan sebagai hutan tropis yang rapat. Namun banyak di antaranya masih digunakan oleh masyarakat sebagai sumber mata pencaharian sehari-hari, cukup rimbun dan kaya karbon serta memilki kekayaan keanekaragaman hayati.  “Tidak dimasukkannya hutan sekunder dalam moratorium menimbulkan pertanyaan akan kemampuan Indonesia untuk memenuhi target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dari tingkat business-as-usual di tahun 2020.,” kata Louis Verchot, Peneliti Utama untuk Perubahan Iklim di CIFOR dalam siaran persnya.   Kekecewaan lain muncul gara-gara perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki ijin penebangan hutan sebelum moratorium tak diharuskan menghentikan kegiatannya. Menurutu CIFOR izin-izin konsesei hutan ini tidak akan menghentikan laju deforestasi dalam jangka pendek. “Apalagi beberapa izin belum dipakai,”kata Verchot.  Artinya, moratorium ini hanya melarang keluarnya ijin penebangan baru. Tapi buat ijin-ijin yang sudah keburu keluar berlaku sistem business as usual. Ini terlihat lewat kata “pengecualian “ dalam Inpres No 10 tahun 2011. Jadi, moratorium boleh menunda perijinan penebangan hutan primer dan lahan gambut selama 2 tahun. Tapi inpres ini tetap membuka peluang adanya pengecualian atas ketentuan itu. Pengecualian ini bisa berlaku atas hutan primer dan lahan gambut yang secara prinsip disetujui oleh Menteri Kehutanan untuk kembali ditebang, atas hutan yang perlu ditebang untuk pembangunan yang bersfat vital seperti geothermal, buat sawah padi dan tebu, minyak dan gas bumi serta ketenagalistrikan dan juga, pengecualian atas hutan-hutan yang memang ingin diperpanjang lagi ijin penebangannya oleh perusahaan yang bersangkutan.   Menanggapi semua kekecewaan, Ketua Harian Dewan Perubahan Iklim Nasional (DNPI) Agus Purnomo mengingatkan Inpres No 10 tahun 2011 tetap mengharuskan Kemenhut merevisi Peta Indikatif Penundaan Izin Baru setiap 6 bulan sekali. “Kami (DNPI) juga tidak akan malu-malu meminta Kementerian Kehutanan merevisi peta hutannya itu jika ditemukan ada perbedaan dengan kenyataan di lapangan,” kata Agus.   Sementara Ketua Satgas REDD+ Kuntoro Mangkusubroto justru memilih tak banyak nimbrung bersuara. Sekalipun sebelumnya santer terdengar perbedaan pengertian hutan dan peta hutan ini membuat usulan moratorium versi Satgas REDD+ bersaing dengan usulan moratorium versi Kemenhut di meja presiden. Saat moratorium akhirnya keluar, Kuntoro memilih tak datang saat konferensi pers diadakan di Sekretariat Kabinet, Jumat (20/5). Dia hanya mengirimkan pernyataan pers versi Satgas REDD+. Isinya? Tak ada rotan, akar pun jadi. Satgas REDD+ tak mau ribut lagi soal peta atau pengertian hutan dan memilih langsung bikin strategi pelaksanaan.   “Kami akan segera menerapkan strategi 7/26 yang telah dicanangkan pemerintah guna mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen mulai 2012 dan pengurangan emisi karbon sebanyak 26 persen pada tahun 2020,” kata Kuntoro   Menurutnya penerapan moratorium selama dua tahun ini akan memberikan jeda waktu yang cukup untuk Satgas REDD+ membuat perencanaan yang lebih baik dalam mengembangkan sistem pemanfaatan lahan. Perencanaan yang lebih baik artinya bisa mencari jalan tengah bagaimana Indonesia tetap dapat mendapatkan keuntungan ekonomi seoptimal mungkin dari sumber daya alamya, sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai komitmen ke dunia internasional.   Dan demi visi itu, salah satu strategi unggulan Kuntoro nanti adalah berusaha mengalihkan kebiasaan membabat hutan demi industri pertanian dan kelapa sawit. Alih-alih, industri ini akan diarahkan menggunakan 30 juta lahan kritis yang ada di Indonesia. Karena bagaimanapun lahan kering memang lebih cocok untuk ditanami kelapa sawit daripada lahan gambut.   “Dengan demikian kebutuhan lahan untuk pengembangan industri pertanian, kelapa sawit dan kehutanan akan dapat dicukupi walaupun menggunakan angka perkiraan yang paling optimis sekali pun”, kata Kuntoro.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.