Posted in

DIPASENA: PERJUANGAN PENAMBAK TANPA JEDA

thumbnailSIEJ-Jakarta. Jurnalis Metro TV, Fadilasari, meluncurkan bukuDipasena: Kemitraan, Konflik, dan Perlawanan Petani Udang pada Selasa 5 Juni 2012. Menggambarkan konflik dan perjuangan para penambak udang di ujung Sumatera itu.

Melalui buku ini, Fadilasari mengharapkan adanya masa depan yang jelas dalam penyelesaian sengketan pertambakan udang di Desa Bumi Dipasena Abadi, Kecamatan Rawa Jitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung yang tak berkesudahan.
Menurut Fadilasari pada tahun 1997, citra Indonesia di mata dunia sempat terangkat sebagai produsen udang terbesar kedua setelah China di dunia. Salah satunya diangkat melalui kontribusi nyata yang dilakukan oleh PT Dipasena Citra Darmaja lewat panen perdana tahun 1999. Puncaknya pada tahun 1995 sampai 1998 perusahaan tersebut menghasilkan 167 juta dolar AS per tahunnya. Perusaahaan tersebut merupakan perusahaan multinasional yang merekrut petambak plasma di Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan. Ini dimulai pada tahun 1980-an, dimana lahan rawa-rawa yang membelukar kemudian berubah menjadi kawasan pertambakan udang.

Warga menyambut gembira dan banyak diantaranya beralih profesi menjadi petani tambak dan bergabung dalam PT Dipasena Citra Darmaja. Berjalan beberapa tahun, mulai muncul keresahan, konflik, hingga munculnya berbagai aksi perlawanan dari petani tambak (plasma) atas ketidakterbukaan dan praktik monopoli yang dilakukan perusahaan melalui sistem kemitraan yang telah disepakati. “Selisih harga perusahaan yang kami terima dibandingkan dengan harga dipasaran sebesar Rp 10.000 sehingga setiap panenya kami mengalami kerugian dari besarnya pengeluaran pemeliharaan” tutur Thowilun, wakil ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW).
Dalam bukunya, Fadilasari juga mengungkapkan bagaimana PT Dipasena Citra Darmaja diambil alih pemerintah, dan kemudian dijual kepada PT Central Proteinaprima Tbk (CP Prima), melalui anak perusahaannya PT Aruna Wijaya Sakti. Kisruh kemitraan justru terus berlanjut sejak konflik ini terjadi di tahun 1989. Revitalisasi yang tersendat, pengadaan peralatan tambak tidak sesuai standar, dan munculnya berbagai masalah revitalisasi.
“Akar permasalahan yang terjadi dikarenakan kegagalam sistem kemitraan. Pemerintah kurang memperhatikan sistem kemitraan yang berjalan, aturan yang dibuat cenderung tidak terperinci, tidak jelas, dan tidak tegas” ungkap Fadilasari. Hal ini juga dibenarkan oleh Thowilun, “sistem kemitraan yang ada bersifat eksploitasi”.
Sekretaris Jenderal Keadilan Perikanan (KIARA), Abdul Halim menambahkan, “Hal ini juga disebabkan perjanjian yang tidak transparan, dan petani plasma tidak diberi waktu untuk mempelajari isi perjanjian yang disepakati.”
Melalui peluncuran buku ini Fadilasari juga memberikan gagasan mengenai sistem kemitraan yang seharusnya. “Sistem kemitraan yang baik adalah sistem kemitraan yang berlandas HAM” ucapnya, “karena selama ini sistem kemitraan yang berlaku telah mengabaikan hak plasma, seperti hak bekerja, penghidupan yang layak, hak jam kerja, dan sebagainya.”
“Selain itu, pemerintah harus membuat sistem kemitraan khusus baik melalui peraturan pemerintah atau aturan yang setara dengan undang-undang sehingga hak dan kewajiban plasma inti menjadi jelas. Serta perlu adanya pengawas baik dari pihak pemerintah atau pihak ketiga yang mengawasi sistem kemitraan ini berjalan,” Fadilasari menambahkan. Cita Ariani/SIEJ

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.