Jakarta, EnergiToday – Puluhan orang yang bergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan  atau KIARA memprotes dugaan penyimpangan yang terjadi dalam program COREMAP, dengan cara  melakukan aksi diam di depan Istana Negara, Jakarta, Kamis sore (1/8). Aksi yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menyoroti isu-isu kelautan dan nelayan ini, dilakukan sebagai bentuk penolakan masyarakat terhadap program pengelolaan dan pengembangan konservasi kawasan serta program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang atau COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Project) yang didanai dari pinjaman luar negeri, antara lain dari Bank Dunia  dan Bank Pembangunan Asia (ADB), dan melibatkan banyak pihak, juga tidak tepat sasaran serta bisa dibilang gagal. Aksi ini juga diikuti dengan penyerahan Petisi Penolakan Utang untuk Konservasi.

Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim  mengatakan aksi ini dilakuka  agar Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kepala pemerintahan tertinggi adalah menghentikan segala praktek pencarian dana utang dengan dalih atas nama perubahan iklim, karena laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan bahwa penyimpangan dana dalam jumlah besar dengan angka mencapai sebesar Rp 11,4 miliar.

Menurut Dia, Berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan besaran dana yang diselewengkan itu jauh dari angka yang ditemukan oleh BPK. ”Oleh karena itu, KIARA mendesak kepada Presiden untuk mengevaluasi kinerja Khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menggunakan program konservasi sumber daya laut dengan mencari dana hutang,” tegasnya.

Dimana, hutang ini akan membebani keuangan negara serta terbukti diselewengkan di lapangan justru tidak mensejahterakan kehidupan masyarakat nelayan, Selanjutnya, KIARA juga mendesak kepada Presiden SBY untuk mendukung kearifan-kearifan lokal yang sudah diterapkan oleh masyarakat Indonesia, dalam hal ini masyarakat nelayan tradisional dan masyarakat adat dalam mengelola kekayaan sumber daya lautnya, seperti Sasi di Maluku, Maney di Sulawesi Utara, Panglima Laut di Aceh.

Dia juga mengajak kepada masyarakat luas untuk mendukung petisi bersama ini agar Presiden juga mengetahui, bahwa ada ketidakberesan dalam kinerja aparatur di bawahnya. ”Tentu tidak sekedar mendukung akan tetapi juga ikut memprotes dalam bentuk tidak melakukan tindakan atau aksi lainnya. Sebagai contoh, memasuki kawasan wisata yang terbukti menggusur masyarakat nelayan tradisional dan masyarakat adat yang sudah lebih dulu ada di satu wilayah yang kemudian ditetapkan menjadi satu kawasan konservasi perairan,” ujarnya.

Terkait hutang yang ada pada program COREMAP II, KIARA mendapatkan angka sebesar Rp 1,3 triliun. Ini tentu jumlah yang tidak sedikit kalau kemudian diasumsikan dengan cara membeli kapal dengan ukuran 3 (tiga) gross ton untuk nelayan-nelayan tradisional tentu akan diperoleh jumlah sedemikian besarnya. ”Dengan asumsi kapal ukuran 3 (tiga) gross ton senilai Rp 25 juta. Atas laporan BPK itulah KIARA meminta kepada Presiden SBY untuk bertindak tegas untuk mengevaluasi secara tuntas kasus penyelewengan dana yang mengakibatkan terbebaninya keuangan negara,” katanya.

Demikian pula halnya dengan COREMAP I, KIARA melihat ini sebagai modus negara untuk mencari dana hutang yang kemudian memperkaya segelintir orang di birokrasi akan tetapi imbasnya justru tidak dirasakan masyarakat nelayan tetapi justru membebani mereka dan kemudian lingkungan justru tidak menjadi lestari tapi malah menjadi rusak.

Lebih jauh Dia juga mengatakan, sebagai catatan kawasan konservasi perairan yang ditargetkan seluas 20 juta hektar pada 2020, hari ini sudah tercapai seluas 15,7 juta hektar dalam data Pemerintah itu justru kawasan yang sebelumnya sudah bagus, pantas kemudian ditetapkan sebagai kawasan konservasi. ”Sekali lagi ini hanya akal-akalan Pemerintah, lantas kemudian mencari dana hutang sehingga mendapatkan klaim di level Internasional sebagai negara yang peduli atas dampak perubahan iklim dengan program konservasinya,” jelasnya.

Dia menambahkan, Implementasi dari program COREMAP ini dari awal perencanaannya masyarakat nelayan tidak dilibatkan. Sebaliknya KIARA ingin mendorong adanya dukungan yang penuh terhadap kearifan-kearifan lokal yang sudah ada di Indonesia hari ini, seperti Sasi di Maluku, manii di Sulawesi Utara, Bapongkor di Sulawesi tengah dan seterusnya. (Wisnu)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.