Kota Semarang telah sejak lama menghadapi berbagai ancaman bencana seperti kekeringan, penurunan tanah, longsor, dan banjir. Ancaman tersebut akan terus meningkat seiring terjadinya perubahan iklim dan akan makin besar pengaruhnya pada Semarang sebagai kawasan perkotaan yang tumbuh dengan pesat. Oleh karena itu, digaraplah sebuah penelitian bertajuk Kerentanan dan Adaptasi Perubahan Iklim di Kawasan Metropolitan Semarang: Analisis Spasial dan Kependudukan untuk merefleksikan urbanisasi di Semarang terhadap kota-kota urban lainnya di Indonesia.

Penelitian yang dipublikasikan pada Oktober 2013 ini, dilaksanakan oleh United Nations Population Fund (UNFPA) bekerjasama dengan The International Institute for Environment and Development (IIED) dan Urban and Regional Development Institute (URDI). Secara umum, penelitian menunjukkan bahwa paparan suatu wilayah terhadap dampak perubahan iklim ditambah dengan karakteristik sosial dan kependudukan dapat memperparah tingkat kerentanan suatu wilayah.

“Penelitian ini intinya bertujuan untuk melihat hubungan dinamika kependudukan dengan tingkat kerentanan dan kelentingan penduduk terhadap gejala perubahan iklim dengan menggunakan analisis spasial dan kependudukan,” ujar Daniel Schensul, Ph.D, spesialis teknis dari UNFPA USA pada Konferensi Pers publikasi penelitian tersebut di Kementerian BUMN, Jakarta Pusat (16/10).

Dampak perubahan iklim telah terasa di Semarang sejak 100 tahun terakhir. Kenaikan muka air laut terjadi sejak 1985 dan diperkirakan akan terus meningkat 40-80 cm dalam 100 tahun ke depan. Kenaikan muka air laut ini ditambah penurunan muka tanah berpengaruh terhadap abrasi pantai dan banjir rob. Selain itu terjadi perubahan pola hujan yang berkontribusi terhadap kejadian banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kelangkaan air.

Sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan Kota Semarang memiliki jumlah penduduk 2,5 juta jiwa dengan pertumbuhan penduduk 1,4% per tahun, hampir sama dengan DKI Jakarta yang bernilai 1,42% dengan jumlah penduduk 9,6 juta jiwa pada 2010. Selain jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, publikasi UNFPA tersebut menyatakan bahwa karakteristik kependudukan lainnya yang memengaruhi tingkat kerentanan adalah: proporsi penduduk tua dan muda di suatu wilayah, proporsi perempuan sebagai kepala rumah tangga, serta pola migrasi dan pergerakan yang dilakukan kelompok usia dan jenis kelamin yang berbeda.

“Di Indonesia, tercatat 50% penduduk tinggal di area urban dan diramalkan pada 2025 akan meningkat menjadi 75%,” tutur Jose Ferraris, Perwakilan UNFPA Indonesia.

Dalam hubungannya dengan dampak perubahan iklim, karakteristik penduduk dapat memengaruhi potensi lingkungan untuk beradaptasi menghadapi risiko. Kapasitas adaptasi tersebut dipengaruhi oleh faktor pendidikan, migrasi, komposisi rumah tangga, dan aktivitas ekonomi penduduk.

Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Kota Semarang sangat rentan terkena dampak perubahan iklim dan menghadapi keterbatasan sumberdaya untuk melakukan adaptasi secara efektif. Ada beberapa temuan kunci dalam kajian ini. Pertama, data menunjukkan bahwa banyak daerah dengan risiko tinggi memiliki kapasitas adaptasi yang juga tinggi, ditunjukkan oleh nilai STI atau Indeks Keamanan Bermukim dan tingkat pendidikan masyarakat.

Kedua, daerah dengan risiko yang tinggi di Kota Semarang, memiliki kegiatan ekonomi yang rendah dan proporsi perempuan kepala rumah tangga yang tinggi, sehingga membatasi kapasitas adaptasi. “Sebanyak 57% penduduk migran bekerja di sektor informal, menyebabkan adaptasinya rendah. Kaum urban masih banyak mendominasi kegiatan-kegiatan domestik,” ungkap Wahyu Mulyana, Direktur Pengelolaan URDI.

Dan ketiga, di luar Kota Semarang, kerentanan tinggi terjadi di pedesaan yang bergantung pada sektor pertanian di bagian timur wilayah studi. Pada kawasan ini, terdapat risiko kekeringan yang signifikan dan tidak adanya sistem air bersih perpipaan, sehingga dapat mengancam kelangsungan mata pencaharian di sektor pertanian.

Tim gabungan UNFPA-IIED-URDI menyatakan bahwa karakteristik kerentanan sangat bervariasi berdasarkan tipe bencana yang dihadapi masing-masing masyarakat dan aparat pemerintah. “Data ini akan membantu pemerintah kota menyusun rencana aksi adaptasi perubahan iklim yang lebih efektif dan tepat sasaran,” kata Wahyu.

Jose menyatakan bahwa penyusunan kebijakan dan rencana aksi memerlukan campur tangan seluruh pihak: pemerintah—dalam hal ini DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) dan Kementerian Lingkungan Hidup—forum masyarakat sipil, universitas atau akademisi, serta pers dan media. Dia kemudian mengungkapkan bahwa analisis akan dikembangkan dan diterapkan lebih lanjut untuk berbagai daerah lainnya di Indonesia dengan biaya yang rendah, namun memberikan manfaat signifikan untuk penilaian kerentanan dan perencanaan adaptasi.

“Ke depannya kami, bekerjasama dengan DNPI, akan mereplikasi metode ini pada area urban lainnya di luar Jawa dan mengembangkan studi di kota-kota lainnya di Indonesia.”  (Ratih Rimayanti)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.