Kota Semarang, Jawa Tengah, sejak lama rentan terhadap bencana seperti kekeringan, penurunan tanah, longsor, dan banjir. Kerentanan akan terus berlanjut atau  meningkat seiring terjadinya perubahan iklim.

Sebuah publikasi penelitian oleh UNFPA (United Nations Population Fund) dan IIED (The International Institute for Environment and Development) menyatakan bahwa dampak perubahan iklim global di Kota Semarang terlihat dari kenaikan suhu permukaan, kenaikan muka air laut dan perubahan pola cuaca yang ekstrem.

Beberapa wilayah di Kota Semarang yang telah diidentifikasi sebagai daerah yang rentan terhadap perubahan iklim adalah sebagai berikut: dataran rendah yang terkena banjir rob dan kenaikan muka air laut; permukiman di sepanjang sungai yang rawan terkena banjir; daerah perbukitan yang rawan terkena angin kencang; kawasan yang mengalami pergerakan tanah dan longsor; kawasan perumahan pinggiran kota yang jauh dari sumber air; kawasan pusat pergerakan dan transportasi (bandara, pelabuhan, stasiun kereta, terminal); kawasan kawasan perdagangan dan industri; dan kawasan perlindungan sejarah dan aset budaya.

Penelitian oleh UNFPA tersebut menganalisis Peta Ancaman Bahaya yang dikeluarkan oleh BNPB dan Data Potensi Desa yang dikeluakan oleh BPS. Berikut analisis mereka mengenai Semarang yang dinilai rentan bencana. Pertama, Semarang memiliki pantai dengan elevasi rendah, sebagaian besar Kota Semarang berada pada Zona Pantai Dataran Rendah atau LECZ, yaitu daerah dengan ketinggian kurang dari 10 meter di atas permukaan laut. Kedua, Rasio ketergantungan penduduk yang tinggi terjadi di sebagian wilayah yang memiliki risiko banjir tertinggi. Rasio ketergantungan penduduk menggambarkan kelompok penduduk usia nonproduktif, yaitu di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun. Hubungan ini sangat penting untuk memahami bahwa kelompok penduduk usia muda dan lanjut usia sangat rentan terkena dampak bencana banjir dan genangan air. Tantangan yang dihadapi adalah evakuasi untuk kelompok usia tersebut jika bencana terjadi dan kemungkinan terkena penyakit banjir dan genangan air.

Untitled-1 Untitled-2

Ketiga, risiko banjir tertinggi ada pada kawasan dengan kepadatan penduduk tertinggi pula. Sekitar 840.000 penduduk Kota Semarang tinggal di dataran rendah dengan kepadatan penduduk rata-rata mencapai 10.201 jiwa/km2. Sebagian besar desa dengan kepadatan penduduk tinggi terletak di wilayah pantai dan pusat kota Semarang, seperti Bangunharjo, Jagalan, Sarirejo, dan Rejosari. Hal ini menyebabkan perlunya persiapan strategi evakuasi dan penyediaan tempat penampungan sementara.

Keempat, perubahan pola hujan dan kenaikan suhu memberikan dampak signifikan terhadap kestabilan tanah dan meningkatnya kejadian tanah longsor. Umumnya kawasan metropolitan di Semarang memiliki risiko tanah longsor relatif kecil, namun untuk wilayah perbukitan di Kabupaten Semarang, risiko tanah longsor cukup signifikan.

Selain itu, seorang peneliti dari Badan Informasi Geospasial, Ibnu Sofyan, juga pernah mengatakan bahwa dua hal utama yang dihadapi Semarang selain kenaikan muka air laut yang berakibat banjir rob, adalah penurunan muka tanah (30/9). “Setiap tahun terjadi penurunan muka tanah. Terakhir saja tanah disana sudah turun 10 cm. Tahun-tahun ke depan bisa semakin turun lagi,” ucapnya seraya menjelaskan bahwa penurunan muka tanah disebabkan juga oleh pola curah hujan yang tak tentu dan intrusi air laut yang meningkat karena semakin tingginya muka air laut.

Rentannya Semarang terhadap bencana dampak perubahan iklim menjadikannya kota urban kajian perubahan iklim oleh UNFPA dan DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim). “Hasil analisis ini menjadi refleksi terhadap kota urban lainnya di Indonesia untuk mencari ,” ujar Jose Ferraris, Perwakilan Indonesia untuk UNFPA. (Ratih Rimayanti)

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.