“Tidak ada kebakaran karena cuaca kering, 98% hasil investigasi kebakaran lahan adalah pasti karena ada yang membakar,” tegas Sudariyono Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada acara diskusi pagi di Gedung BBPT Jakarta (15/4).

Suasana diskusi Pemicu Kebakaran Hutan do Gd. BPPT Jakarta (15/4). Foto: Januar Hakam
Suasana diskusi Pemicu Kebakaran Hutan: Identifikasi dan Solusi Komprehensif di Gd. BPPT Jakarta (15/4). Foto: Januar Hakam

KLH kini sedang berupaya dalam penegakan hukum terkait kasus pembakaran lahan di Riau sejak Juni 2013 lalu. “Tahun 2014 ini ada 46 perusahaan yang diduga terlibat kasus pembakaran lahan dan 23 diantaranya sudah dilanjutkan ke tahap penyidikan. Semua perusahaan akan digugat secara pidana dan perdata,” ujar Sudariyono.

Suhu lahan gambut kering yang mencapai 70 derajat celsius ditengarai menjadi penyebab mudah terbakarnya lahan tersebut. “Momentum itu kemudian dimanfaatkan oleh pelaku bisnis untuk mempermudah dan memperkecil biaya terutama oleh HTI dan sawit,” ujar Teguh Surya dari divisi Campaign Greenpeace.  Teguh juga menilai adanya indikasi upaya pembiaran dari lahan yang terbakar karena tidak adanya upaya pemadaman dari pihak pemerintah maupun perusahaan.

Andika Putraditama dari World Resource Institute (WRI) mengatakan kerugian akibat terbakarnya lahan di Riau mencapai 10 triliun rupiah dan sebanyak 58.000 masyarakat Riau mengalami penyakit gangguan pernapasan. Studi dari lembaga WRI menunjukkan 35% dari 3.101 titik api di Riau terlacak berada di kawasan moratorium pada periode Februari-maret 2014. “Bahkan untuk kawasan yang sudah dilindungi sekalipun kerap ditemui fenomena ini. Melihat fakta ini, tidak heran kalau kebijakan moratorium di tingkat kabupaten tidak dapat diimplementasikan secara utuh,” ujar Andika.

Andika juga mengatakan bahwa perlunya perhatian khusus terhadap provinsi Riau karena 58% titik api yang terdeteksi di Indonesia satu tahun terakhir terjadi di Riau. Bahkan 4 kabupaten di Riau (Bengkalis, Rokan hilir, Palalawan dan Siak) ternyata menyumbang separuh (52%) dari titik api tahunan di Indonesia. “Riau adalah kontributor utama penghasil emisi karbon di Indonesia, 27% dari emisi tahunan Indonesia berasal dari Riau,” tambahnya.

Menjawab solusi yang bisa dilakukan untuk penangan kebakaran hutan, Teguh menyampaikan 4 poin utama yaitu 1) dibentuknya izin perlindungan lahan gambut secara utuh, ii) melarang kebun baru dan HTI di lahan gambut, iii) perlu adanya pengkajian ulang konsesi di lahan gambut, dan iv) pengelolaan  gambut sebagaimana karakteristik lahan gambut itu sendiri, misal menggunakan tanaman asli tanpa pembuatan kanal.

Menurut Teguh hukum yang sudah ada sebenarnya sudah cukup kuat untuk menjerat pelaku pembakaran hingga penanggung jawab perusahaan seperti pada UU no 41 tentang kehutanan, UU no 18 tentang perkebunan, PP no 4 tahun 2001 tentang pengendalian kerusakan lingkungan hidup berkaitan dengan pembakaran hutan, dan peraturan lainnya. Namun implementasi hukum yang lemah mengakibatkan perkara-perkara tersebut kemudian berhenti dan bahkan banyak yang tidak tersentuh hukum.

Teguh mengatakan bahwa ada perusahaan yang sejak 10 tahun lalu tidak pernah diproses atau kasusnya macet. “Jadi tidak heran kebakaran lahan terus terjadi,” tungkasnya. Januar Hakam & Azhari Fauzi

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.