Setelah diadopsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada April 2013 silam, masyarakat adat menilai belum ada perkembangan yang signifikan atas pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMHA). Untuk memicu kesepahaman materi dan menjaring hal kolektif yang dapat dilakukan terkait RUU ini, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menggelar konsultasi nasional di Jakarta (22/5).

Dalam sambutannya, Direktur Advokasi AMAN, Erasmus Cahyadi menyesalkan sikap lamban DPR yang turut dibantu empat kementerian dalam pembahasan RUU tersebut. “Setelah setahun, berbagai pertanyaan publik seperti materi yang diatur, proses pembahasan, kapan disahkan, dan pertanyaan-pertanyaan penting lainnya belum mendapat kejelasan. Masyarakat pantas khawatir,” ujarnya.

Menurut Erasmus, dua hal yang menjadi sorotan dari RUU ini adalah keberadaan lembaga yang khusus mengatur masyarakat adat serta peradilan adat. AMAN mengusulkan dibentuknya Komisi Masyarakat Adat yang berfungsi untuk menangani masalah koordinasi agenda pembangunan, sinkronisasi aturan terkait masyarakat adat, resolusi konflik, serta penelitian dan pengembangan hukum adat. Sedangkan, terkait peradilan adat, Erasmus meminta agar RUU mendudukkan peradilan adat pada tempat yang semestinya, terpisah dari peradilan formal negara bentukan pemerintah daerah.

Menanggapi hal ini, Ketua Pansus DPR RI untuk RUU PPHMHA, Himayatul Aliyah berkilah pihaknya telah melakukan kunjungan ke berbagai provinsi serta mengundang beberapa komunitas masyarakat adat dalam rapat dengar pendapat di gedung DPR. “Setelah pemilihan legislatif yang lalu, sebagian anggota pansus tidak terpilih kembali di dewan. Namun, kami berjanji akan menyelesaikan RUU ini sebelum masa jabatan berakhir,” ucap Aliyah saat ditanyai komitmen dari tim yang dipimpinnya. Sedangkan, pejabat Kementerian Kehutanan, Made Subagia Gelgel yang menjadi koordinator pemerintah untuk RUU ini tidak hadir hingga acara usai.

Di sisi lain, Komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga berkomentar pentingnya memerhatikan substansi dalam RUU ini. “RUU harus berkualitas baik dan melalui proses yang benar. Jangan menerima rancangan, kalau substansinya tidak memenuhi atau bertentangan dengan prinsip hak asasi. Rumusan yang dihasilkan juga harus dipastikan dapat diimplementasi di tataran warga,” ungkapnya mewanti-wanti. Azhari Fauzi

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.