“Bukan lagi ilusi untuk berproduksi tanpa mengorbankan hutan,” kata Bustar Maitar, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace, dengan nada optimistis pada acara Forests Asia Summit di Hotel Shangri-la, Jakarta, Selasa (6/5).

Ia menyodorkan fakta, perekonomian Indonesia yang justru semakin merangkak naik walaupun kebijakan moratorium hutan telah diberlakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak 2011. “Perekonomian Indonesia menanjak ke peringkat 10 dunia saat kebijakan moratorium berjalan,” ucap Bustar.

Ia pun mengapresiasi kebijakan nol deforestasi yang saat ini telah diambil sekurangnya 40 perusahaan global. Beberapa diantara perusahaan raksasa Indonesia yang telah berkomitmen dengan ini, sebutnya, antara lain Golden Agri Resources dan Asia Pulp and Paper.

Hal diatas tentu belum selesai. “Sebelum lengser, pemerintahan SBY harus mengesahkan UU perlindungan gambut, sebab pengeringan gambut oleh korporasi terbukti menjadi pemicu utama kebakaran lahan yang terjadi selama ini,” harap Bustar.

Perubahan Iklim Terus Jadi Sorotan

“Periode 1983-2012 adalah periode terhangat bumi dalam kurun 400 tahun terakhir. Jika tidak berbuat sesuatu, pertengahan abad ini es di Arktik akan musnah,” ulas Ketua Intergovernmental Panel on Climate Change-IPCC, Rajendra K. Pachauri dalam pidatonya. Ia menyebut, perubahan ini telah berdampak pada pelelehan es di kutub, menghangatnya samudera hingga kedalaman 700 meter, serta naiknya muka air laut yang mengancam keberadaan wilayah pesisir dan kepulauan.

Pachauri menegaskan bahwa melakukan mitigasi sesungguhnya jauh lebih mudah dan murah daripada memperbaiki dari resiko yang akan terjadi nanti. Biaya yang dibutuhkan untuk mitigasi tak lebih dari 0,06% GDP global untuk mencapai target penurunan emisi yang dicanangkan. Dengan mengambil langkah ini, penduduk bumi setidaknya akan merasakan efek positif ketahanan energi, rendahnya tingkat polusi, serta terlindunginya ekosistem.

Senada dengan hal tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang turut memberikan sambutan, mengajak kepada segenap pemimpin ASEAN untuk terus berkomitmen pada tata guna lahan berkelanjutan dan praktik-praktik investasi yang tidak mengorbankan sumber daya alam. Dengan bangga, ia menyampaikan beberapa capaian perlindungan lingkungan yang dicapai pada masa pemerintahannya, seperti kebijakan moratorium, penanaman empat milyar pohon dan lain sebagainya.

Sementara itu, Kepala BP REDD+, Heru Prasetyo menekankan pentingnya dilakukan pendekatan tertentu sebagai langkah mitigasi perubahan iklim. “Pendekatan lansekap adalah awal dari pembangunan yang berkelanjutan, terutama setelah memperhatikan dampak dari perubahan iklim yang terjadi,” ungkapnya.

Menurut Heru, hal ini sebenarnya telah mulai dibahas semenjak digelarnya KTT Bumi di Rio tahun 1992 yang kemudian melahirkan UNFCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), UNCBD (United Nations Convention on Biological Diversity), dan UNCCD (United Nations Convention to Combat Desertification), konvensi-konvensi PBB yang berkaitan dengan perubahan iklim, keanekaragaman hayati dan meluasnya padang pasir di Bumi.

Dirjen CIFOR Peter Holmgren pun menilai bahwa Asia Tenggara idealnya menjadi garda terdepan pertempuran dalam menyeimbangkan berbagai kebutuhan dari populasi yang terus tumbuh, ekonomi yang terus berkembang, dan perlindungan lingkungan hidup. Ia berharap, dipertemukannya pemangku kepentingan regional dari kalangan pemerintah, masyarakat sipil, akademisi dan sektor swasta ini bisa menghasilkan solusi yang inklusif dan setara untuk tantangan yang semakin berat kedepan. Azhari Fauzi

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.