SIEJ, Jakarta – Data yang dimiliki oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian menyatakan, potensi sumber pangan yang dimiliki Indonesia cukup banyak, yaitu 77 jenis sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayur-sayuran, dan 110 jenis rempah. Hal itu membuktikan bahwa Indonesia sebenarnya merupakan negara yang kaya akan biodiversitasnya.

Ironisnya, dalam indeks ketahanan pangan Indonesia berada di urutan 64 jauh di bawah Malaysia (33), China (38), Thailand (45), Vietnam (55) dan Filipina (63). Hal itu menggambarkan bahwa Indonesia justru mengalami permasalahan di sektor ketahanan pangan.

Bambang Budhianto, Direktur Perbenihan Tanaman Pangan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan mengatakan bahwa tiap tahunnya produktivitas padi Indonesia selalu mengalami peningkatan sebesar 1-3 persen. “Data dari BPS untuk padi, selama 30 tahun terakhir produksi padi kita meningkat dua kali lipat, sedangkan jagung bahkan sampai empat kali lipat,” ujarnya di Jakarta (13/8).

Sementara itu sejak tahun 2005 hingga 2014 lembaganya sudah melepas 844 varietas baru untuk dapat dibudidayakan di Indonesia. Berbagai program juga telah dilakukan untuk mendongkrak hasil produksi tanaman pangan Indonesia, seperti subsidi benih, peningkatan produksi benih unggul bersertifikasi, sosialisasi pertanian dan lain-lain.

Menanggapi hal itu, Tejo Wahyu Jatmiko, koordinator Serikat Bersama Indonesia Berseru dan Koordinator Aliansi Desa Sejahtera mengatakan bahwa prestasi tersebut masih dirasa kurang signifikan. Angka impor bahan pangan yang masih cukup tinggi merupakan bukti bahwa ada permasalahan ketahanan pangan di Indonesia.

Ia mengkritisi bahwa dalam pemerintahan presiden sekarang, Indonesia belum menaruh titik berat pada masalah pangan. “Padahal untuk pangan semua orang butuh itu, kita makan tiga kali sehari belum lagi camilan,” ujarnya. Ia mengambil contoh Amerika sebagai negara maju semakin giat dalam mengembangkan pangan negaranya bahkan dunia, dan sekarang ia sudah menjadi negara penguasa pangan dunia.

Membenarkan hal itu, Dwi Andreas Santosa, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia mengatakan bahwa negara-negara maju kian gencar mengembangkan masalah pangan karena sektor ini memang sangat penting dalam kehidupan seperti halnya penguasaan dalam sektor energi. “Dulu negara-negara berkembang sebagai eksportir bahan pangan, namun sekarang berbalik mengimpor bahan pangan dari negara maju,” katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan saat ini 67 persen pasar benih di Indonesia dikuasai oleh 10 perusahaan multinasional, dan 99,9 persen benih transgenik juga dikuasai oleh perusahaan multinasional. “78 persen pasar benih dikuasai oleh perusahaan asing, belum lagi 500 ribu petani harus keluar dari lahannya,” tambahnya.

Dalam diskusi disebutkan bahwa usaha tani di Indonesia mengalami banyak sekali permasalahan, mulai dari pemanfaatan sumber daya alam yang belum optimal, semakin berkurangnya lahan pertanian yang tersedia, infrastruktur pertanian yang terbatas, hingga semakin sedikitnya ketersediaan benih. Hal itu berimbas pada produksi pangan Indonesia yang menurun drastis dan ketergantungan Indonesia akan impor bahan pangan.

Dwi menguraikan rata-rata impor beras pada 2010-2013 dibandingkan dengan 2004 meningkat sebesar 482,6 persen, daging sapi 349,6 persen, cabe 141 persen, gula 114,6 persen, bawang merah 99,8 persen, jagung 89 persen, kedelai 56,8 persen, dan gandum 45,2 persen.

“Benih sangat penting, karena kegagalan dan keberhasilan pertanian ditentukan oleh benih,” katanya. Oleh karena itu, untuk mencapai kedaulatan pangan, ia mengatakan kedaulatan petani atas benih harus dikembalikan serta mengembangkan benih lokal maupun varietas hasil persilangan oleh petani kecil. Januar Hakam.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.