Bandarlampung, Ekuatorial – Kawasan habitat gajah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Lampung diperkirakan terus menyusut. Namun jumlah populasi gajah justru makin meningkat. Hal itu menyebabkan konflik antara gajah dan manusia akan makin banyak.

Koordinator manajemen Wildlife Fun (WWF) Project Lampung, Ali Rizqi Arasyi mengatakan hilangnya sebagian habitat gajah inilah diperkirakan memicu datangnya kawanan gajah liar menyambangi perkebunan dan pemukiman manusia. Lokasi yang kerap kedatangan gajah adalah Desa Sukaraja Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus,Desa Pemerihan dan Sumberejo Kabupaten Pesisir Barat dan Desa Lumbok Kabupaten Lampung Barat.

“Kawanan gajah ini memakan semua hasil pertanian milik warga. Dalam sehari perkebunan seluar 1 hektare selesai dimakannya,” kata Ali.

Lebih lanjut ia mengatakan, wilayah yang dilintasinya memang rotasi yang biasa dilewati kawanan gajah. “Gajah itu kan punya areal rotasi yang dilewati, jadi kalau wilayah sudah sudah pernah dilintasi maka selanjutnya dia akan terus lewat di rotasi yang sama,” ujar dia.

Terkait populasi gajah di Kawasan TNBBS. Ali menyebutkan berdasarkan survei yang perrnah dilakukan pada tahun 2009, sebanyak 300 sampai 400 ekor. “Saya menduga predator gajah populasinya terus bertambah, itu terlihat manakala tim kali melakukan penghalauan kawanan gajah, pasti kami melihat ada beberapa gajah anakan,” imbuhnya.

Untuk mengatasi masalah tersebut, WWF bersama pihak Balai TNBBS melakukan pembinaan terhadap warga yang tinggal di perbatasan. “Kami memberi pembinaan bagaimana cara yang terbaik untuk mengusir gajah dari pemukiman tanpa harus menyakiti hewan tersebut,” ujarnya.

Selain itu mendirikan menara pemantau satwa yang memasuki pemukiman. Sampai saat ini sudah terpasang delapan menara pemantauan di desa-desa perbatasan. “Dari menara pantauan itu, penduduk bisa mempersiapkan diri jika sampai gajah masuk ke pemukiman mereka,” tambahnya.

Sementara itu menurut warga Desa Sedayu, Fuyungarang Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, Bunasir (56) menjelaskan biasanya gajah-gajah akan masuk ke perkebunan jika musim panen. “Mereka suka sekali dengan tanaman kopi dan jagung serta coklat yang kami tanam,” kata Bunasir.

Meskipun perkebunannya telah dirusak, namun warga sudah memiliki kesadaran untuk tidak menyakiti gajah dan satwa lainnya. “Ya kami sekarang sudah faham bahwa membunuh satwa itu tidak diperbolehkan,” ujar dia.

Namun warga juga tidak ingin perkebunannya dirusak karena itu, warga menurut Bunasir, membentuk kelompok patroli gajah yang diberi nama patroli Sahabat Gajah. “Pada musim gajah turun, kami melakukan patroli secara rutin di perkebunan kami agar tidak dimakan gajah,” imbuhnya.

Secara bersama-sama warga menggiring gajah untuk kembali masuk dalam kawasan. “Memang kami menyadari, kalau perkebunan yang dilewati adalah areal rotasi gajah, kami yang menanam di areal hutan lindung salah, tapi mau bagaimana lagi kami juga butuh penghidupan,” aku Bunasir.

Sejauh ini dari analisa foto udara oleh WWF dan WCS pada periode 1999-2004 memperlihatkan sekitar 89.224 hektare (ha) hutan alam di TNBBS telah hilang. Jumlah tersebut bila dikonversi sekitar 28 persen dari keseluruhan luas kawasan TNBBS.

Dari total luasan yang hilang terindikasi seluas 55.402 ha didominasi oleh tanaman kopi. Pada tahun 2010, luas kawasan perkebunan naik menjadi 61.786 ha. Perkebunan baru tersebut melibatkan sekitar 16.214 Kepala Keluarga, pada 17 lokasi resort. Eni Muslihah

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.