Jakarta, Ekuatorial – Rancangan pembangunan Indonesia ke depan perlu ada perubahan paradigma, khususnya di dalam pembaruan hukum. Chalid Muhammad, Ketua Badan Pengurus Perkumpulan HuMa mengatakan “Dari pembangunan yang sudah dilakukan, perlu adanya koreksi terhadap desain-desain pembangunan secara mendasar,” ujarnya pada acara Seminar HuMa, bertajuk Proyeksi Pembaruan Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) Pada Pemerintahan Baru, di Jakarta (30/10).

Ia menyebut salah satu program pemerintah yaitu MP3EI, merupakan salah satu program yang perlu dikoreksi. “Setelah dilihat lebih mendalam, MP3EI tidak sesuai dengan janji kampanye, dokumen nawacita, dan spirit Trisakti. MP3EI lebih kepada desain akumulasi percepatan modal , ketimbang pembangunan infrastruktur riil untuk rakyat,” jelas Chalid.

Dalam 20 tahun terakhir, terjadi stagnansi pembaruan hukum yang esensial. “Terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, terjadi tambal sulam antar kebijakan satu dan kebijakan lainnya,” tambahnya. Selain itu ia juga menyebut tidak ada terobosan di bidang hukum yang berarti.

Arah pembaruan hukum menempatkan rakyat dan perspektif hak di dalam pengelolaan SDA itu pada posisi marginal. Maka SDA ke depan akan mengalami kelangkaan yang serius, dan hukum tidak mampu menjangkau dimensi keadilan bagi semua dan tidak dapat menjangkau dimensi keberlanjutannya.

Ahmad Sodiki, Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, mengatakan bahwa peraturan hukum terkait pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, belum dapat menjamin dan melindungi hak kelola masyarakat. Ia mengatakan persoalan pengelolaan sumber daya alam merupakan persoalan yang sarat politis dan kepentingan.

Ia menjelaskan sebenarnya beberapa peraturan seperti putusan MK 35 tahun 2012 tentang masyarakat adat, dan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, merupakan peluang yang baik untuk pengelolaan hutan oleh masyarakat.

“itu sebenarnya adalah triger dan sinyal untuk pengelolaan masyarakat. Namun hal itu rupanya menjadi sebuah resistensi dari DPR untuk merevisi UU MK, dan upaya untuk melemahkan Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.

Selain itu ia juga mengatakan, bahwa kelola hutan atas masyarakat adat terbentur di masalah implementasi. “Ada permasalahan lanjutan mengenai kelola sumber daya alam, yaitu belum adanya peraturan pemerintah yang diperlukan untuk mendukung putusan MK 41 misalnya,” imbuhnya.

Sementara di tingkat daerah ia menyebutkan bahwa perlu adanya perda mengenai hak-hak kelola masyarakat adat. “Di konteks ini ada saling lempar antara pusat dan daerah, dimana pemerintah pusat melemparkan ke pemda untuk segera membuat perda, sedangkan pemda berpendapat izin yang akan keluar sangat terkait dengan kewenangan pusat,” jelasnya.

“Sumber daya alam harus dikelola dengan baik, saat ini pengelolaan hanya untuk eksploitasi sesaat, hanya memikirkan kepentingan saat ini untuk APBN,” tukasnya. Menurutnya, upaya yang harus dilakukan pemerintah ke depan yaitu fokus kepada keberlanjutan dan kejahteraan semua. Januar Hakam

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.