Palangka Raya – Dua lokasi demonstration plot (demplot) penerapan REDD+ di Kalimantan Tengah (Kalteng) musnah terbakar. Area kebakaran diperkirakan mencapai 17 hektar (ha). Demikian diungkapkan Deputi Bidang Perencanaan dan Pendanaan, Badan Pengelola (BP) REDD+, Agus Sari, Kamis (30/10).

“Kebakaran lahan yang terjadi itu memasuki lahan milik Desa Garung dan Desa Tumbang Nusa yang ada di Pulpis, padahal di sana tanaman yang ada sudah tumbuh,” ungkap Agus, saat menghadiri Seminar Hasil Kegiatan REDD+ di Aula Jayang Tingang, Palangkaraya.

Menurut Agus ada 10 desa yang berada di empat kabupaten di Kalteng yang menerapkan Program Desa Hijau REDD+. Sepuluh desa tersebut yaitu Desa Olung Soloi, Desa Kolam, Desa Saruhung yang berada di Kabupaten Murung Raya (Mura). Kemudian, Desa Tumbang Nusa, Desa Garung, Desa Jabiren, Desa Mantaren II, Desa Buntoi, yang berada di Kabupaten Pulang Pisau (Pulpis). Selanjutnya, Desa Tambak Bajai di Kabupaten Kapuas, dan Desa Tumbang Tampang Ajir di Kabupaten Gunung Mas (Gumas).

Dituturkan lebih lanjut, kebakaran yang terjadi di Desa Garung seluas 7 Ha. Bahkan, di Desa Tumbang Nusa kebakaran lahan yang terjadi mencapai 10 Ha. Untuk menyikapi hal tersebut, Agus menjelaskan pihaknya akan menambah kegiatan dan dana. Sehingga, masyarakat desa tersebut dapat kembali bangkit.

Di tempat yang sama, Neti, warga Desa Tumbang Nusa menyebutkan bahwa lahan yang terbakar baru dua bulan ditanami bibit tanaman Galam. Saat ini kondisinya sudah habis terbakar. Padahal lahan tersebut merupakan salah satu lahan yang menjadi bahan penerapan ekonomi berkelanjutan Desa Hijau REDD+.

“Juga terjadi kebakaran di lahan tanaman purun, dimana kejadiannya sampai dua kali. Pertama terbakar sudah dipadamkan, tetapi kembali terbakar lagi. Lahan ini akan tumbuh kembali tetapi tumbuhnya dengan waktu yang cukup lama, kami sudah berupaya bersama-sama untuk memadamkan,” jelasnya.

Untuk diketahui, salah satu Program REDD+ juga fokus pada ekonomi berkelanjutan. Dimana di desa yang menjadi percontohan, masyarakatnya terutama para ibu-ibu dibina untuk membuat sesuatu yang bisa menghasilkan.
Maka, beberapa kelompok ibu-ibu desa menganalisis Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di desa mereka. Kemudian ditemukan bahwa tanaman galam dan pantung menjadi SDA di desa tersebut. Ternyata tanaman
tersebut bisa menghasilkan nilai ekonomis.

Tidak hanya tanaman galam, ibu-ibu desa juga memanfaatkan berlimpahnya ikan untuk dibuat kerupuk dan juga abon. Selain itu, purun yang dianggap tidak bermanfaat ternyata bisa dikembangkan. Dimana ibu-ibu desa tersebut membuat anyaman untuk dijadikan tas dan tikar. Maturidi.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.