Jakarta, Ekuatorial – Setahun setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengakuan hutan adat. Sampai Jumat (3/10), baru tujuh kabupaten di Indonesia yang mengakui adanya masyarakat hukum adat di wilayahnya. Ketujuh wilayah tersebut antara lain Kabupaten Pidie, Aceh Barat, Tanah Datar, Pasaman, Morowali, Lebak, dan Luwu Utara.

Zulfikar Arma, dari Aceh Barat mengatakan bahwa pemerintah Aceh sudah memiliki beberapa peraturan pengakuan masyarakat adat. “Qanun No. 9 tahun 2008 tentang lembaga adat, Qanun No. 7 tahun 2011 mengakui masyarakat mukim di Pidie, Qanun No. 10 tahun 2010 tentang pengakuan masyarakat adat di Aceh, dan Qanun No. 10 tahun 2008 tentang penyelenggaraan adat-istiadat,” jelasnya.

Di Aceh masyarakat adat dikenal dengan nama masyarakat mukim. Zulfikar mengatakan, “Mereka (masyarakat mukim) mempunyai struktur pengelolaan sumber daya alam yang lengkap, mulai dari pegawasan, pengambilan, dll. Pemerintah daerah berusaha mendorong untuk melakukan pengelolaan hutan dengan baik,” ujarnya. Peluang itu sebenarnya baik untuk keberlangsungan masyarakat mukim di Aceh.

Sementara di daerah Lebak Banten, Pemerintah Daerah (Pemda) telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) pada tahun 2001 tentang masyarakat Badui. Selain itu, pada tahun 2010 juga telah keluar Surat Keputusan (SK) Bupati No. 7 tentang pengakuan Kasepuhan di Lebak. Dari 41 Kasepuhan yang diinventarisasi, baru hanya sekitar 17 yang diakui.
Jaro masyarakat adat Lebak mengatakan belum ada peta wilayah batas wilayah masyarakat adat. Masyarakat mengalami kesulitan untuk membuat peta wilayahnya.

“Pemerintah sana inginnya matengnya saja (Peta sudah ada), sementara kami belum memiliki alat dan pengetahuan cukup untuk pembuatan peta parsitipatif,” jelasnya.

Saat ini sudah ada 5 dari 17 kasepuhan di Lebak yang sudah membuat peta. Mereka sedang mengajukannya ke pemerintah daerah untuk diakui.

Dari ketujuh kabupaten yang telah mengeluarkan perda dan surat keputusan bupati tersebut, tidak ada satupun kabupaten yang menyertakan unsur wilayah di dalam peraturannya. Hal ini kemudian menimbulkan permasalahan baru. Pengakuan hutan adat seolah menjadi “pincang”, karena belum ada peta yang dimasukkan dalam Perda atau Surat Keputusan Bupati yang keluar. Kemudian menyebabkan batas wilayah hutan adat menjadi tidak jelas.

Basri Ali, Pemerintah Daerah Luwu Utara, mengatakan pengakuan hutan adat sangat memerlukan peta. Dengan peta batas-batas wilayah menjadi jelas. “Namun perlu diketahui, bahwa pemetaan-pun sepertinya perlu dilakukan oleh multi pihak. Karena saya khawatir ketika masyarakat menyetorkan petanya, pemerintah tidak bisa mengakuinya karena tidak sesuai dengan metode atau ketentuan dalam standar pemetaan,” ujarnya.

Amanah MK 35 tahun 2012, sebenarnya untuk pengakuan hak-hak masyarakat adat atas hutan mereka. Dengan amanah itu, hutan adat seharusnya dapat dikeluarkan dari status hutan negara.

Sandoro Purba, dari Perkumpulan Huma yang memimpin diskusi menyebut permasalahan permasalahan utama proses pengakuan hutan adat adalah tidak adanya peta. Selain itu belum adanya nomenklatur hutan adat di atas peta Nasional. “Oleh karena itu, perlu adanya revisi Perda atau Surat Keputusan Bupati untuk melampirkan peta dalam keputusannya. Selain itu perlu adanya nomenklatur hutan adat di dalam hutan Nasional,” ujarnya. Januar Hakam

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.