Jakarta, Ekuatorial – Menjelang pengumuman kabinet barunya, aktivis hijau pada hari Kamis (23/10) mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk membatalkan penggabungan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi satu institusi.

Pada hari Kamis, Presiden Jokowi mengajukan perubahan nama dan penggabungan beberapa kementerian kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), beberapa diantaranya adalah Kementerian Pekerjaan Umum dengan Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif kembali menjadi Kementerian Pariwisata, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan Kementerian Daerah Tertinggal, dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat akan menjadi Kementerian Koordinator Pengembangan Manusia dan Kebudayaan.

“Permintaan penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam satu institusi, mengindikasikan bahwa janji Presiden Jokowi untuk memperkuat institusi dalam melindungi dan mengelola lingkungan telah menurun,” terang Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi dalam pesan singkatnya.

Tarigan mengutip pertemuan untuk mendiskusikan masalah lingkungan yang diadakan pada bulan Mei antara Walhi dengan calon presiden Jokowi. “Walhi merekomendasikan penguatan Kementerian Lingkungan Hidup dengan menghubungkannya dengan perencanaan tata ruang, konservasi, pengelolaan yang detail dan tentunya penegakkan hukum,” jelasnya.

“Sementara itu, Kementerian Kehutanan hanya akan fokus pada hasil hutan seperti industri kehutanan, kehutanan sosial dan penebangan oleh sebab itu harus ditangani oleh Kementerian Agraria,” tambahnya lagi.

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa penggabungan tersebut hanya akan menghilangkan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup terhadap kebijakan Kementerian Kehutanan.

“Hal ini hanya akan mengaburkan garis yuridikasi Kementerian Lingkungan Hidup, terutama berdasarkan Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tahun 2009,” katanya. “Wewenangnya akan tumpang tindih dengan wewenang Kementerian Kehutanan dalam mengeluarkan izin. Sementara itu, hukum mengatur institusi untuk mengeluarkan izin. Tidak ada institusi yang mau menjalankan kesalahannya sendiri. “

Dia juga menganggap bahwa penggabungan ini akan membatasi pemahaman bahwa lingkungan hidup tidak hanya tentang masalah kehutanan tetapi juga berkaitan dengan sektor lain.

Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan jika penggabungan ini jadi dilakukan maka menteri yang dipilih harus yang pro terhadap lingkungan hidup bukan eksploitasi.

“Penggabungan ini dapat menjadi hal yang positif jika menteri beserta jajarannya lebih pro terhadap lingkungan hidup. Misalnya, akan ada lebih banyak direktorat jenderal untuk perlindungan lingkungan, konservasi dan penegakan hukum, atau bisa juga memasukkan perlindungan hutan,” kata Subagiyo. “Tetapi bila jajarannya terdiri direktorat jenderal alih guna lahan, maka penggabungan tersebut merupakan ide buruk karena hanya akan mengeksploitasi saja.”

Jajaran internalnya harus disetujui oleh kementerian dan presiden.
“Pada akhirnya, kementerian ini membutuhkan seseorang dengan kepemimpinan kuat karena dia harus berada di bawah dua hukum yaitu hukum lingkungan hidup dan kehutanan, yang mana memiliki kontradiksi masing-masing,” jelasnya seraya menambahkan bahwa Jokowi harus menjelaskan pada masyarakat tentang keputusan penggabungan ini.

Selain itu, dia mengatakan bahwa menteri lingkungan hidup harus memiliki catatan riwayat yang baik dalam upaya melindungi lingkungan, bukan anggota partai politik serta tidak berhubungan dengan pebisnis terutama dari industri ekstraktif untuk memastikan independensinya. Fidelis E. Satriastanti.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.