Jakarta, Ekuatorial – Kebijakan satu peta atau One Map yang akan dicanangkan oleh Indonesia, dinilai belum menjadi jawaban yang tepat untuk pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. Pasalnya peta skala 1:50.000 tersebut kurang memberikan data yang mendetail untuk pengelolaan gambut.

Azwar Maas, pakar gambut Indonesia, mengatakan bahwa One Map kurang cocok untuk pengelolaan gambut Indonesia. Hal itu ia sampaikan dalam acara pembahasan PP No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut atau dikenal PP Gambut di Jakarta (23/10).

“One map ini sebenarnya diciptakan untuk sebaran gambut di seluruh Indonesia. Bukan untuk memetakan satuan hidrologi,” ujarnya.

Menurutnya, dalam pengelolaan gambut tidak cukup dilakukan pada gambutnya saja tapi pada keseluruhan satuan hidrologi. Untuk diketahui, satuan hidrologis gambut merupakan ekosistem gambut yang letaknya di antara dua sungai, di antara sungai dan laut, dan/atau pada rawa. “Jadi dalam pengelolaan gambut harus melindungi satuan hidrologis,” tambahnya.

Azwar menjelaskan dalam skala 1:50.000, artinya terdapat perbedaan setinggi 25 meter pada tiap garis kontur. Namun, untuk gambut diperlukan nilai yang lebih besar untuk akurasi yang lebih tinggi. “Artinya, jika kita menghendaki garis kontur satu meter, maka kita butuh skala 1:2000,” jelasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dalam pemetaan gambut juga diperlukan batas-batas di mana bagian kubahnya, dan kaki kubahnya untuk mengetahui kondisi dan kedalaman gambut. Selain itu dalam pengelolaan gambut, ia menekankan bahwa pemberi izin harus mengetahui konsep-konsep bagian gambut yang harus dilindung. Oleh karena itu, ia mengatakan diperlukan pemetaan berbasis LIDAR untuk juga mengetahui elevasi gambut. “Cuma masalahnya butuh dana yang besar,” imbuhnya.

Pada kesempatan yang sama, Irwansyah Reza Lubis Ekologis dari lembaga Wetlands International, setuju bahwa dalam pengelolaan gambut diperlukan data yang detail. Menurutnya kebijakan satu peta lebih digunakan untuk perencanaan tata guna lahan. “One map itu memang utamanya untuk perencanaan tata guna lahan, bukan untuk delinasi mikro, apalagi untuk managemen pengelolaan lapangan yang membutuhkan data lebih detail,” ujar Reza.

Ia mencontohkan untuk managemen pengelolaan lapangan misalnya, perubahan elevasi dari puncak kubah diukur bukan lagi dalam satuan meter tetapi harus centimeter (cm). “Oleh karena itu kalau skalanya besar maka akan lebih tidak akurat peta tersebut, karena ini terkait dengan pengelolaan gambut ke depan. Ya solusinya harus lebih kecil skalanya.,” ungkapnya.

Reza melanjutkan, selain permasalahan skala, hal lain yang tidak kalah penting adalah titik pengambilan sampel. Karena akan menjadi percuma jika skala sudah kecil, namun pengambilan sampel sedikit. “Yang terpenting lainnya adalah pengambilan titik samplingnya harus banyak dan rapat. Semakin banyak sampling yang diambil, maka semakin akurat data yang dihasilkan,” imbuhnya.

Kebijakan One map merupakan langkah pemerintah untuk menangani konflik atas lahan di Indonesia. Kebijakan satu peta ini mengandung makna satu referensi, satu standar, satu database, dan satu geoportal. Januar Hakam

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.