Jakarta, Ekuatorial – Sains dan terknologi perubahan iklim di Indonesia dinilai masih minim. Hal ini menyebabkan program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim masih rendah. Widiatmini Sihwinanti, Sekertaris Pokja Transfer Teknologi, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), mengatakan permasalahan perubahan iklim sangat erat kaitannya dengan basis sains.

“Teknologi dan sains sangat penting dalam isu perubahan iklim, itu akan meningkatkan ketahanan suatu negara terhadap ancaman perubahan iklim,” ujarnya kepada Ekuatorial sebelumnya. Untuk itu, ia mengatakan Indonesia perlu mengembangkan teknologi dan basis sains yang kuat untuk permasalahan perubahan iklim.

Ia juga mengatakan, transfer teknologi dari negara maju juga menjadikan peluang besar untuk Indonesia. Namun, dikatakan bahwa Indonesia harus mengetahui kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki untuk pemanfaatan teknologi.

“Transfer teknologi sangat baik, namun Indonesia harus tahu teknologi setinggi apa yang dibutuhkan. Kalau teknologinya terlalu tinggi, sumber daya manusia kita tidak mampu, karenanya kita harus tahu kemampuan kita,” jelasnya.

Lebih lanjut ia mengatakan permasalahan pendanaan juga menjadi masalah serius untuk implementasi aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hal ini menjadi pembatas pengembangan riset perubahan iklim.

Jatna Supriatna, Kepala Research Center of Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI) mengatakan kebutuhan sains dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sangat mendesak. Ia menegaskan bahwa sains merupakan dasar dalam mempelajari dan mengatasi perubahan iklim.

“Berbicara sains perubahan iklim di Indonesia, sains kita masih lemah, begitu juga riset-riset yang dilakukan. Bahkan di kalangan akademisi pun masih banyak yang belum percaya bahwa perubahan iklim benar terjadi,” ujarnya.

Ia mencontohkan, pemerintah Indonesia pernah melakukan kesalahan fatal mengkonversi satu juta lahan gambut untuk pertanian. Tindakan itu dinilai belum memiliki data dan dasar ilmiah yang kuat. “Itu adalah kesalahan besar, sementara riset gambut baru berkembang akhir-akhir ini. Dari situ kita tahu bahwa gambut tidak efektif untuk pertanian, disitulah peran sains,” ungkapnya.

Ia mengatakan, sains dan teknologi perubahan iklim Indonesia masih jauh di bawah Amerika, Jepang, Korea, Australia. Oleh karena itu pemerintah diminta untuk lebih memperdulikan masalah sains untuk menghadapi ancaman perubahan iklim. “Kita sebagai negara kepulauan akan merasakan efek yang besar dari perubahan iklim. Kita harus kembangkan sains dan teknologi terutama penelitian yang aplikatif,” katanya.

Sementara itu, Malika Amril dari lembaga UNDP Indonesia, mengatakan bahwa persoalan perubahan iklim adalah persoalan semua orang bukan hanya pemerintah. “Perubahan iklim adalah kepentingan semua, semua harus berkontribusi melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. belum lagi angka kejadian bencana terus memperlihatkan tren peningkatan setiap tahunnya,” ungkapnya.

Berdasarkan data lembaganya, selama tahun 2000 hingga 2013, banjir merupakan bencana akibat perubahan iklim yang terbanyak. Bencana banjir sebanyak 38,12 persen, disusul badai 21,05 persen, longsor 16,25 persen, kekeringan sebanyak 13,11 persen, dan bencana lainnya.

Mengenai basis sains, ia juga setuju bahwa Indonesia dinilai masih cukup lemah. Ia juga mengatakan kondisi sinergi antara peneliti dan pemerintah dalam hal pembuatan kebijakan masih terdapat banyak hambatan. “Kebutuhan sains dan teknologi sangat diperlukan, kemudian perlu adanya sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, praktisi, ilmuwan, dan aktor lain dalam perubahan iklim,” terangnya. Januar Hakam

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.