Jakarta, Ekuatorial – Energi baru terbarukan merupakan salah satu isu besar yang diangkat dalam COP-UNFCCC ke 20 di Lima, Peru beberapa waktu lalu. Tahun ini, perundingan tersebut menghasilkan keputusan yang dinamakan Lima Call for Climate Action, yang salah satunya menyinggung masalah pembaruan energi di sektor maritim.

Rachmat Witoelar, Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) mengatakan pengembangan energi dari sektor maritim sudah semakin dilirik oleh dunia, untuk mengurangi pengaruh perubahan iklim. Pada tahun-tahun sebelumnya, upaya mitigasi negara-negara pihak UNFCCC masih kebanyakan dilakukan di sektor kehutanan dan emisi pembakaran bahan bakar fosil.

“Kita sudah lama melupakan peran 70 persen wilayah Indonesia yaitu lautan. Indonesia terutama merupakan negara maritim memiliki potensi sangat besar untuk pengembangan energi dari sektor maritim. Upaya kita untuk mengurangi perubahan iklim akan kita coba ke sana,” ujarnya dalam Diskusi Hasil COP-20 di Gedung BPPT Jakarta, (23/12).

Ia mengatakan, dalam waktu yang lebih dekat fokus pengembangan energi akan diarahkan pada wilayah pesisir. Pembangkit listrik tenaga angin merupakan salah satu opsi potensial bagi pengembangan energi Indonesia. “Tentunya pemasangan kincir-kincir ini disesuaikan pada daerah yang sesuai,” tambahnya.

Selanjutnya, ia menyebut mikro alga yang melimpah di laut tropis Indonesia juga merupakan potensi sumber biomassa yang dapat digunakan untuk sumber energi. Selain itu, pembangkit listrik tenaga arus juga merupakan potensi yang menjanjikan. Ia mengatakan, arus bawah laut Indonesia seperti di selat Karimata dan Sunda misalnya, bisa menjadi sumber energi alternatif yang juga dapat menyelamatkan dunia dari dampak perubahan iklim.

Moekti H Soejachmoen, Kelompok Kerja Negosiasi Internasional DNPI mengatakan selain pengembangan energi yang ramah lingkungan di sektor maritim, Indonesia juga tengah melakukan kajian peran ekosistem pesisir dalam mitigasi perubahan iklim.

Ia mengatakan mikro alga, padang lamun, dan ekosistem mangrove juga merupakan kekayaan hayati yang mampu menyerap dan menyimpan karbon. “Dengan melakukan riset dan upaya pelestarian ekosistem pesisir, juga akan dapat berdampak positif bagi persoalan perubahan iklim,” ujarnya.

Sementara terkait adaptasi di sektor maritim, Rachmi Yuliantri dari Pokja Adaptasi Bidang Kelautan DNPI mengatakan, ada sekurangnya delapan jenis teknologi yang dimasukkan dalam daftar kebutuhan teknologi terkait isu perubahan iklim. Teknologi-teknologi tersebut yaitu termasuk deteksi perubahan air, pemanfaatan arus laut untuk energi, sistem teknologi penahan banjir, restorasi pesisir, dan teknologi proteksi pantai. Januar Hakam

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.