Airmadidi, Ekuatorial– Meski pemerintah daerah, baik kabupaten Minahasa Utara maupun provinsi Sulawesi Utara, membantah ada kegiatan pertambangan di Pulau Bangka, namun kenyataannya eksploitasi pulau seluas 3.819 hektare (ha) itu terus berlangsung.

Dari pantauan Ekuatorial hingga Minggu (15/3) kini tak hanya bukit-bukit dan perumahan warga yang dibongkar, hamparan bakau dibibir pantai ikut dibabat. Warga terus melakukan perlawanan, termasuk dengan menempuh jalur hukum.

Ekuatorial yang melakukan perjalanan seharian di pulau yang masuk wilayah kecamatan Likupang Timur, Kabupaten Minahasa Utara, Jumat (13/3), menyaksikan sendiri bagaimana bukit-bukit dibabat untuk dikeruk pasirnya. Alat-alat berat milik perusahaan asal Tiongkok, PT Migkro Metal Perdana (MMP) yang dioperasikan oleh puluhan tenaga kerja asal negeri tirai bambu itu terus membabat terus menimbun hamparan bakau di pesisir pantau yang indah itu. PT MMP adalah perusahaan yang mengolah pertambangan pasir besi di pulau itu.

“Kami tidak rela, pulau yang sudah ratusan tahun didiami leluhur kami akhirnya dirusak. Padahal hasil pertambangan ini belum tentu bisa kami nikmati,” ujar Sersia Balaati, perempuan asal Pulau Bangka yang berteriak-teriak sambil menunjuk ke arah dermaga milik PT MMP yang dikawal puluhan anggota Brigade Mobil (Brimob) Polda Sulut, serta pihak pengamanan perusahaan.

Sersia kesal, karena dia bersama ratusan warga lainnya tidak diperkenankan untuk sandar di dermaga milik PT MMP itu. Akhirnya puluhan perahu hanya bisa berada di perairan dekat dermaga tersebut.

Hal senada disampaikan Wilson Gaghehang dan Absalom Sigandong. “Kami berusaha keras mempertahankan agar pulau Bangka ini jangan sampai dijadikan lokasi pertambangan. Ini pulau kecil, dan menjadi tumpuan hidup kami selama bertahun-tahun. Namun sayangnya pemerintah tutup mata, demi mengejar yang namanya investasi. Rusaklah pulau kami ini,” papar Wilson dan Absalom.

Untuk menyelamatkan pulau itu, Sersia, Wilson, dan Absalom bersama warga lainnya menempuh jalur hukum.
Jumat (13/3) itu, merupakan sidang lapangan yang merupakan lanjutan dari gugatan sejumlah warga Pulau Bangka terhadap Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atas ijin eksploitasi yang dikeluarkan oleh Kementrian ESDM saat dipimpin Jero Wacik. Setelah beberapa kali persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Pusat, dilanjutkan dengan kunjungan langsung ke Pulau Bangka.

Majelis Hakim, perwakilan Kementrian ESDM, pihak MMP, serta pengacara dari warga Pulau Bangka diperkenankan turun meninjau lapangan. Sedangkan warga lainnya dilarang turun. “Seharusnya kami hadir dalam sidang lapangan ini. Karena kami ini penggugat. Mengapa dihalang-halangi oleh aparat dan pihak perusahaan,” ketus Daniel Buagho dan Edward Gaghamu, yang termasuk dalam perwakilan warga Pulau Bangka selaku penggugat.

Setelah lebih kurang tiga jam menunggu di atas perahu-perahu, akhirnya Majelis Hakim, perwakilan Kementrian ESDM, pihak MMP, serta pengacara dari warga Pulau Bangka akhirnya selesai melakukan sidang lapangan dan kembali ke perahu untuk selanjutnya pulang ke Manado.

Jull Takaliuang dari Aliansi Masyarakat Menolak Tambang (Amalta) menegaskan, perlawanan warga untuk menolak pertambangan terus dilakukan. Apalagi pulau Bangka tergolong pulau kecil yang tidak diperkenankan melakukan kegiatan eksplotasi. “Pulau Bangka terus dirusak. Anda bisa lihat sendiri kondisinya seperti apa. Namun perlawanan kami juga tidak akan surut,” tegas Jull yang selama ini melakukan advokasi terhadap warga. Yoseph Ikanubun

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.