Manado, Ekuatorial – Populasi Macaca nigra atau monyet hitam di dunia kini berkisar 4.000 – 5.000 ekor. Dari total jumlah itu, sekitar 2.000-an ekor berada di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. Sayangnya, primata yang dikenal dengan bahasa lokal “Yaki” ini sudah berstatus sangat terancam punah. Ironisnya predator utama Yaki adalah manusia.

Pakar primata dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Saroyo Sumarto mengungkapkan, Yaki punya peran sentral bagi kelestarian hutan. Karena monyet tanpa ekor berpantat merah ini membantu distribusi biji-bijian tumbuhan hutan.
“Yaki secara langsung mengatur keseimbangan ekosistem hutan yang bermanfaat bagi manusia. Sayangnya, justru manusia menjadi predator utama hewan ini,” jelas Sumarto.

Sumarto mengungkapkan, hingga Selasa (31/3) populasi-tingkat persebaran Yaki turun drastis akibat perburuan liar dan berkurangnya hutan sebagai habitat asli. Apalagi hewan ini tingkat reproduksi nya lambat. Seekor Macaca betina, paling cepat melahirkan satu bayi dalam 18 bulan. “Ancaman terbesar Yaki ialah perburuan liar untuk dikonsumsi dagingnya atau dijadikan peliharaan,” tandas dia.

Dia menambahkan, perburuan Yaki yang menjadi-jadi tak lepas dari kebiasaan warga mengkonsumsi daging-daging satwa liar. Apalagi pada momen hari raya seperti Natal-Tahun Baru, Paskah dan pengucapan syukur.

Terkait populasi Yaki di dunia, menurut dia, mengalami pengurangan 80 persen dalam 40 tahun terakhir. Bahkan primata yang aktif di siang hari ini kini berstatus “Sangat terancam punah”, masuk daftar merah spesies terancam sebagaimana dirilis International Union for Conservation of Natural Resources (IUCN).

“Saat ini diperkirakan, hanya ada 4.000-5.000 Yaki di daerah ini, dimana, 2.000-an ekor berada di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara,” papar Sumarto.

Sementara itu, Noldy Tuerah, Direktur Synergy Pacific Institute mengungkapkan, Yaki merupakan ikon Sulawesi Utara karena hanya hidup di Sulawesi Utara. Yaki merupakan daya tarik ekowisata dan objek penting ilmu pengetahuan. “Jangan sampai ikon Sulut ini tinggal namanya saja. Apalagi punah karena ulah manusia,” papar Noldy.

Kasus pembunuhan satwa liar khususnya Yaki di Sulawesi Utara sempat menghebohkan di dunia maya, ketika salah satu dosen di perguruan tinggi ternama mengunggah foto hasil berburu yaki ke media sosial Facebook miliknya, pada akhir tahun 2014 lalu.

Dalam akun Facebook miliknya, terlihat sang dosen memegang dua ekor monyet hitam yang diduga sudah mati. Alhasil perbuatan itu berujung dengan laporan ke aparat kepolisian dengan tuduhan melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kini kasus itu masih dalam proses di Kepolisian Daerah Sulawesi Utara. Yoseph Ikanubun

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.