Kabanjahe, Ekuatorial – September nanti, tiga tahun sudah para petani kaki gunung Sinabung tinggal di hunian sementara. Waktu erupsi pertama di 2010, mereka masih bisa kembali ke desa setelah dinyatakan aman. Tapi mulai 2013, desa di empat kecamatan yang jaraknya radius tiga hingga tujuh kilometer dari puncak Gunung Sinabung wajib di relokasi.

Banyak yang bertahan hidup di pengungsian dengan menggantungkan hidup dari Jatah Hidup (Jadup), sebesar Rp 6.000 per orang dan di bayar setiap tiga atau enam bulan sekali. Ada yang bertahun-tahun bertahan menganggur, karena tak bisa bekerja lain selain bertani. Dulunya mereka biasa bekerja sebagai buruh harian dengan upah Rp 50 ribu hingga Rp 70 ribu per hari, kini persaingan semakin sempit karena tinggal sedikit lahan yang masih bisa di panen. Abu Sinabung merusak semua tanaman dan gagal panen berulang kali adalah kenyataan.

“Tak ada lagi panen buat kami. Biasanya ini musim panen. Pikiran ada uang untuk lebaran dan anak masuk sekolah,” ucap Murni.

Perempuan suku Jawa yang sudah beranak-pinak di Kecamatan Tiganderket itu, pada 2008 ikut orang tuanya meninggalkan kampung mereka di Batu Bara, Kabupaten Asahan. Erupsi 2013, mereka sempat kembali ke Batu Bara, tapi balik lagi ke Tanah Karo, sebab disinilah kampung mereka.

“Kalau lahar dingin, kami tak takut. Sudah ada alirannya disana,” katanya sambil menunjuk bekas aliran lahar yang membentuk parit besar berisi bebatuan. “Awan panas itu yang kami takut. Walau kami jauh, tapi sampai juga kesini debunya. Habislah semua tanaman, tak kerjalah kami itu, di rumah saja,” kata Murni, Rabu (24/6).

Sekitar 30 menit perjalanan dengan sepeda motor dari tempat Murni, kami rehat sejenak di Panatapan Warung Ojolali di Desa Tiga Pancur. Disini, sambil menikmati mie instan rebus, aneka minuman atau jagung rebus, kita disuguhi pemandangan Gunung Sinabung yang serasa begitu dekat di pelupuk mata. Gubuk-gubuk dari bambu berdiri di pinggir jalan sekitar lokasi panatapan ini. Alunan musik Karo sayup-sayup terdengar di bawa angin yang berhembus kencang, matapun meredup mencari rebahan.

Bolang Sitepu, pemilik warung yang ramah. Sambil merebus jagung, dia bercerita baru setahun belakangan ini berjualan. Sebelumnya ini usaha anaknya yang saat ini juga membuka warung tak jauh dari tempatnya. “Habis padi dibuat abu, tak bisa panen kami. Sementara dua adik Ndu (kamu, Karo-Red) masih kuliah di Medan. Ini di bawah ini sawah kita. Aku sudah tua, tak mungkin kerja yang lain, jualanlah aku,” katanya.

Laki-laki yang suka menyelipkan rokok diantara giginya yang ompong itu, tak mau bilang berapa penghasilannya dari berjualan dan menyediakan fasilitas teropong bagi pengunjung. “Pastinya lebih besar dari berladang, tapi lumayanlah hasil disini daripada hidup di pengungsian. Yang penting masih bisa bayar uang kuliah,” katanya tertawa.

Satu porsi mie instant di bandrol Rp 10 ribu, air mineral ukuran botol besar Rp 7000. “Masih terjangkaulah. Kalau tempat gratis, asal beli makanan. Kalau pakai teropong tengok gunung, bayar seikhlasnya aja. Kamar mandilah bayar Rp 2000,” ucapnya sambil menghisap panjang rokok kreteknya.

Bapak empat anak ini bilang, anaknya paling besar yang juga membuka warung sekarang bergabung menjadi relawan pengungsi Sinabung. “Disana warungnya, namanya Sudi Mampir. Wartawan ngumpulnya disana, mantau gunung orang itu,” katanya waktu sedang berbicara dengan Ekuatorial.com.

Jelang sore, warungnya semakin ramai di datangi orang. Apalagi ini musim libur panjang anak sekolah walau di Ramadhan. Terlihat remaja-remaja serombongan naik sepeda motor singgah. Beberapa pendatang dengan mobil plat luar Sumatera Utara, dengan teropong memantau gunung yang sedang diselimuti kabut. Ada juga penduduk setempat yang sepertinya baru pulang melihat desa menyisihkan waktu sebentar menikmati teh manis dingin.

Masih di sekitar warung Bolang Sitepu, beberapa laki-laki terlihat sedang mengumpulkan bebatuan yang di muntahkan Gunung Sinabung. Alur jatuhnya lahar dingin yang membawa material abu dan batu berbagai ukuran membuka lapangan kerja baru bagi warga sekitar. Mereka menambang batu. Kontraktor proyek memesan batu untuk dijadikan fondasi bangunan dan bronjong sungai. Sekretaris Desa Mardingding, Minarti Br Sembiring mengakui beberapa masyarakat di desanya beralih profesi menjadi penambang batu.

“Ada beberapa warga desa kami yang memanfaatkan batuan di aliran lahar dingin sebagai sumber ekonomi mereka. Hasil menambang sebagian masuk kas desa dan kas Karang Taruna karena para pekerja tambang rata-rata anggota Karang Taruna Desa Mardinding. Pernah hasil dari menjual batu dibelikan beras 500 kilo dan dibagi-bagi ke masyarakat. Tiap KK dapat 2,5 kilo,” kata Minarti.

Dengan senang hati, suami Minarti mengajak berkeliling Desa Mardingding menunjukkan lokasi-lokasi yang menjadi objek penambangan batu. Setelah itu, dia menghubungi Esra Sembiring, Sekretaris Karang Taruna Desa Mardingding. Kata Esra, menambang batu sudah dilakukan sejak setahun terakhir karena sawah dan ladang rusak parah akibat erupsi. Uang dari menjual batu dibagi-bagi, 70 persen untuk para penambang, 15 persen masuk kas Karang Taruna, 10 persen ke kas desa, sisanya untuk pemilik lahan tempat batu di tambang. Aktifitas menambang tidak dilakukan setiap hari, kalau ada permintaan saja.

“Kami berharap pemerintah memberikan ataupun menyediakan pekerjaan tetap untuk korban erupsi Sinabung. Apalagi kita semua tidak tahu sampai kapan keadaan ini. Kami petani semua, sudah hilang pekerjaan dan sumber penghasilan kami,” katanya emosional. Mei

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.