Medan, Ekuatorial – Penyidik pegawai Negeri Sipil (PPNS) Taman Nasional Gunung Leuser menyesalkan tak adanya kewenangan melakukan penahanan bagi mereka, terhadap pelaku pelanggaran konservasi lingkungan hidup. Akibatnya banyak pelaku bisa melenggang lolos dari penahanan, karena kepolisian tak juga mau menahan mereka. Demikian diungkapkan P Turnip, Koordinator PPNS Taman Nasional Gunung Leuser kepada Ekuatorial, Senin (29/6).

Seperti pada kasus yang paling terbaru, tertangkapnya dua pemburu paruh burung Enggang di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Kedua tersangka Zamaas (37) dan Albab (28), akhirnya dibebaskan karena pihak kepolisian tak mau melakukan penahanan.

“Kita tidak berwenang melakukan penahanan,” ucapnya.

Masih kata Turnip, pihaknya sudah mencoba berkoordinasi dengan Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) agar pelaku ditahan di Mapolda Sumut namun ditolak.

“Selama ini kita tidak bisa menahan karena kita tak punya kewenangan untuk penahanan. Kemarin polisi mau terima, terakhir tak mau lagi. Di Polda-Polda lain masih mau menerima dan melakukan penahanan. Hanya spesifik Polda Sumut ini yang tak mau melakukan penahanan dari kita,” katanya lagi.

Jadinya, pelaku diwajibkan memberi uang sebesar Rp 100 juta kepada PPNS sebagai jaminan dirinya akan kooperatif selama proses pemeriksaan, tidak melarikan diri dan menghilangkan barang bukti.

“Pelaku menyerahkan uang Rp 100 juta, sudah kita serahkan ke bendahara kantor untuk disimpan. Itu bukan sebagai jaminan penangguhan penahanan karena kita tak berwenang melakukan penahanan, tapi hanya untuk jaminan dia akan kooperatif,” ujarnya.

Ditempat terpisah, Koordinator Wildlife Crime Unit-Wildlife Conservation Society (WCU-
WCS) Indonesia, Irma Hermawaty mengatakan, pihaknya menyayangkan PPNS melepaskan salah satu terduga pelaku yang ditangkap bersamaan dengan pelaku. Alasannya, Albab bisa dikenakan Pasal 55 dan 56 KUHP yakni turut serta membantu.

“Ini pernah terjadi di beberapa kasus, memang tidak terlibat langsung tapi turut membantu. Seharusnya bisa berkoordinasi dengan kepolisian tentang kepemilikan senjata sehingga dijerat UU Darurat, jadi bisa dikenakan pasal berlapis. Apa alasan satu orang lagi dilepaskan?” tanya Irma. “Saat P-21 Zamaas diserahkan ke kejaksaan, saya berharap bisa dilakukan penahanan terhadapnya,” tambah Irma.

Terkait dengan kewenangan PPNS, lanjutnya, di dalam UU RI Nomor 5 tahun 1990 memang lebih sempit dibandingkan dalam UU RI Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan ataupun UU RI Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pembarantasan Perusakan Hutan. “Makanya di dalam revisi UU Nomor 5 tahun 1990 ada tentang keleluasaan untuk PPNS agar memiliki kewenangan melakukan penahanan seperti diatur dalam UU Nomor 41 atau 18,” ucapnya menutup pembicaraan.

Menurut Kepala BPTN Wilayah III, Stabat Sapto Aji Prabowo kedua pelaku merupakan pengumpul dari beberapa pemburu yang tersebar di beberapa tempat seperti Subussalam dan Kutacane, Aceh.

“Keduanya pengumpul. Peran spesifiknya, Zamaas pengumpul, Albab selain pengumpul juga pemburu dan sekaligus modifikator senapan. Tadi, sebelum keduanya ditangkap, ada seorang bule di situ yang memesan senjata sama dia,” kata Sapto.

Dari hasil penyelidikan sementara diketahui, 12 paruh burung rangkong tersimpan di rumah Zamaas. Dia sudah berburu paruh enggang sudah belasan tahun. “Mereka sudah lama kita incar dan baru hari ini kita tangkap tangan. Ada 12 paruh rangkong yang sudah dibersihkan dan siap dijual,” ucapnya.

Dia menuturkan, dari perdagangan barang haram ini, para pelaku sudah sangat merusak dan merugikan. Pasalnya, satwa-satwa dilindungi tersebut diduga kuat berasal dari kawasan TNGL. Setiap paruh dihargai Rp 9 juta.

“Kita berhasil menyita 12 paruh rangkong seharga Rp 120 juta, 2 senapan angin untuk berburu yang sudah dimododifikasi, 2 handphone. Kita akan lakukan pemeriksaan lebih lanjut,” katanya.

Pelaku dijerat Pasal 21 ayat 2 juncto Pasal 40 ayat 2 UU Nomor 5 tahun 1990, Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya (KSDAE) dengan ancaman hukuman penjara lima tahun dan denda Rp 100 juta.

Seharusnya pelaku juga dikenakan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Burung Enggang Gading merupakan satwa yang termasuk dalam Apendik 1. Arti hewan langka dalam Apendik 1 yaitu populasinya sudah sangat sedikit dan hanya berada di beberapa tempat saja. Mei

Artikel Terkait :
AS Hibahkan Dana Konservasi Satwa Liar ke Sulawesi Utara
Bakauheni Jalur Transportasi Perdagangan Satwa Liar

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.