Suhu udara yang panas terus mengganas. Menurut penelitian tim IPB, terlihat penurunan produktivitas kopi akibat perubahan iklim yang dapat mencapai lebih dari 50 persen. Sementara wajah kopi Indonesia dan nasib petaninya terus tepuruk.
Oleh Sandy Indra
Dengan ujung telunjuknya menyapu ke sudut-sudut kebun kopi garapannya, Ujeng, petani asal kaki Gunung Papandayan di Garut itu bercerita. Beberapa kali nafas dihelanya dengan terpaksa. Peluh kemudian menetes dari dahinya. Teriknya matahari dan panasnya suhu udara pada awal September lalu itu, menambah gerah hati Ujeng yang sedang gundah.
Ujeng mengaku tak tahu persis seberapa jauh produksi kebun kopinya akan menurun karena panasnya cuaca yang tak mengenal ampun ini. Ia hanya yakin bahwa tahun ini produksi kopinya akan menurun cukup signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. “Saya kira faktor suhu udara yang memanas ini penting, sebab tahun lalu produksi kopi kami cukup melimpah,” katanya. Lahan pertanian kopi Ujeng di kaki Gunung Papandayan, berada di desa Pasir Talang, Cisurupan, Garut.
Ayah dari dua orang putera ini setiap hari berkeliling kebun, dan peningkatan suhu udara dari tahun ke tahun ini cukup mengkhawatirkannya. “Kalau panasnya panjang seperti ini terus, entah bagaimana panen tahun depan,” ujarnya sambil kembali menyeka peluh yang terus menetes di dahinya. “Kalau saya perkirakan, tahun ini produksi kami menurun 10 persen lebih. Nyaris menyentuh angka 20.”
Panasnya cuaca sebagai dampak dari perubahan iklim global memang sudah menjadi momok yang menakutkan. Ilmuwan NASA yang tergabung dalam Goddard Institute for Space Studies (GISS), mencatat rata-rata temperatur global di Bumi telah meningkat 0,8 derajat celsius sejak 1880. Dua pertiga dari peningkata tersebut terjadi sejak 1975.
Di Indonesia, Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika mencatat dalam laman resminya, bahwa suhu udara rata-rata bulan September di Indonesia periode 1981-2010 (rata-rata normal) sebesar 26.9 °C. Pada 2019, suhu udara rata-rata bulan September meningkat menjadi sebesar 27.0 Peningkatan suhu yang cukup signifikan tahun ini.
Suhu udara rata-rata bulan September 2019 yang diamati stasiun-stasiun pengamatan BMKG di seluruh Indonesia menunjukkan nilai anomali suhu yang bervariasi. Anomali suhu udara adalah perbandingan suhu udara pada tahun tertentu, relatif terhadap periode normal, dalam hal ini adalah rentang waktu tahun 1981-2010.
Wilayah pulau Sumatera dan Kalimantan pada umumnya memiliki nilai anomali positif (artinya pemanasan terjadi). Anomali positif tertinggi tercatat di Stasiun Klimatologi Minahasa Utara sebesar 1.9 °C. Sumatra dan Kalimantan juga umumnya memiliki anomali positif.
Tahun 2016 merupakan tahu terpanas bagi Indonesia, dengan tingkat anomali 0.8°C. Tahun 2015 berada di peringkat kedua dengan anomali 0.5°C. Tahun 2018 menempati urutan ketiga dengan anomali sebesar 0.46°C.

Menurut Prof. Dr. Rizaldi Boer, peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB), beberapa penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim dapat mengganggu pertumbuhan dan mengurangi produksi serta mutu kopi. ”Khususnya suhu udara dan curah hujan,” katanya pada kesempatan presentasi mengenai dampak perubahan iklim di depan awak media Agustus lalu.
Pengamatannya atas Afrika selama 49 tahun terakhir menyimpulkan kenaikan suhu yang cukup konsisten sementara produktivitas kopi menurun cukup signifikan, sebesar 46 persen. Wilayah penanaman yang sesuai bagi tanaman kopi pun menjadi semakin menyusut dan ini mendorong pergeseran lahan dari yang tempat tinggi ke yang lebih tinggi lagi.
Penelitian Boer bersama tim dari IPB mengenai upaya adaptasi petani terhadap perubahan iklim menemukan bahwa di wilayah Toba, Sumatera Utara, sudah banyak petani yang mengembangkan kebun kopinya ke wilayah yang lebih tinggi dan masuk ke wilayah hutan lindung. Itu dilakukan karena suhu yang lebih rendah dan masalah hama yang juga relatif lebih rendah disana.
Sekarang ini, 62 persen kebun kopi petani di Kabupaten Samosir berada di kawasan lindung. Apabila tidak ada upaya pencarian varietas yang lebih adaptif terhadap suhu tinggi, wilayah yang sangat sesuai (very suitable) untuk pertanaman kopi di wilayah Toba, akan bergeser ke ketinggian di atas 1500 meter di atas permukaan laut (mdpl), dan mengancam keberadaan hutan lindung.
Kenaikan suhu juga mengakibatkan meningkatnya serangan hama penggerek buah kopi. Dalam 10 tahun terakhir ini Boer mengamati tren kenaikan serangan hama ini di wilayah Toba, dan tim peneliti IPB memproyeksikan kenaikan ini terus meningkat di masa yang akan datang. Dan kenaikan suhu memangkas waktu yang diperlukan hama untuk berkembang biak.
Saat ini, hama penggerek buah kopi memerlukan antara 10 dan 12 hari untuk menggandakan diri di wilayah pertanaman kopi arabika (ketinggian 700-1500 m d.p,l) (hijau). Diperkirakan waktu tersebut akan menjadi lebih singkat, sekitar 4-5 hari, di masa mendatang (merah). Semakin cepat pertumbuhan populasi hama ini, semakin tinggi pula frekuensi serangannya, dapat mencapai dua sampai tiga kali lipat dari saat ini dan karenanya dapat menyebabkan gagal panen. Tim IPB, juga memprediksi adanya penurunan produktivitas kopi akibat perubahan iklim yang dapat mencapai lebih dari 50 persen. Tanpa upaya adaptasi, produktivitas kopi di wilayah pertanaman kopi saat ini tidak akan melebihi 0.5 t/ha.
Mengukur kualitas kopi
Lalu dimana kaitan antara perubahan iklim dan mutu kopi di Indonesia hari ini? Banyak yang meragukan keabsahan catatan-catatan soal mutu kopi Indonesia sekarang ini. Bahkan sebuah lembaga sertifikasi milik pemerintah saja masih diragukan kredibilitasnya dalam melakukan skoring kualitas kopi.
“Ajang lelang bisa jadi jawabannya,” kata Adi Taroepratjeka, pegiat kopi yang juga satu-satunya Instruktur Q Grader Indonesia. Baginya, lelang kopi memberikan jalan untuk dapat membaca mutu kopi Indonesia secara fair.
Di Indonesia terdapat beberapa macam acara lelang kopi. Salah satu yang utama, adalah lelang tahunan microlot kopi yang diselenggarakan organisasi penggiat kopi Specialty Coffee Association Indonesia (SCAI). Dalam lelang ini, SCAI memilih 10 kopi dengan skor tertinggi dari seluruh negeri. Skor didasarkan atas mutu cita rasa dan seluruh proses pembuatannya.
“Lelang Ini bisa menjadi ukuran mini dari wajah atau kualitas kopi Indonesia,” kata Adi yang merupakan salah seorang juri lelang SCAI 2019 itu. Namun ia mengatakan pengukuran “tak bisa dilakukan terhadap kualitas yang terpapar pada satu tahun saja.”
Penelusuran dampak cuaca yang kian memanas pada mutu kopi Indonesia dapat dilakukan dengan mengamati dokumen-dokumen dari empat tahun lelang SCAI.
Skor tertinggi lelang dari 2016 hingga 2019 memperlihatkan kecenderungan peningkatan mutu dalam tiga tahun pertama lelang, kemudian penurunan di 2019. Pada lelang tahun 2016, skor tertinggi, 85,13, jatuh kepada biji kopi Arabica Toraja Sapan. Di tahun 2017 skor tertinggi, 85,33, dipegang biji kopi Gayo Aceh Tengah, sedangkan di tahun 2018 pemilik skor tertinggi 86,62, adalah biji hijau asal Palintang, Bandung. Tahun 2019, skor tertinggi menurun menjadi 85,58 dan diraih biji hijau asal Bandung, Jawa Barat.
Dari dokumen hasil lelang SCAI hingga yang terakhir di tahun 2019, terlihat adanya ketidak konsistenan dalam mutu. Biji kopi dari tempat yang sama dapat mengalami fluktuasi skor yang cukup signifikan. Biji kopi yang pada satu tahun panen menjadi juara, bisa tersungkur pada tahun panen berikutnya.
Apabila data skoring kopi dikaitkan dengan pengamatan anomali suhu yang terjadi di Indonesia secara umum, sebenarnya terlihat bahwa 2016 sebagai tahun dengan suhu terpanas, menempatkan mutu kopi Indonesia pada titik terendahnya diantara keempat sesi lelang. Sementara di tahun 2018 yang terpantau anomali suhunya paling rendah, kualitas kopinya mendapatkan skor tertinggi.
Lelang SCAI 2018 yang digelar selepas panen pada tahun dengan anomali suhu terendah memunculkan skor tertinggi dari Palintang Bandung, diikuti oleh kopi dari Garut dan kemudian Gayo. Sementara pada 2019, terjadi kenaikkan suhu dari tahun sebelumnya dan skor menurun. Namun, dikarenakan anomali suhu di wilayah Jawa Barat yang cukup rendah (0,52 derajat Celcius), kelima urutan teratas dalam skoring mutu ditempati oleh empat sample biji hijau dari Bandung, diikuti kopi dari Subang di urutan kelima. Dua sample dari Kayu Aro Kerinci, Jambi menduduki urutan berikutnya.
Kesimpulan mendasar dari semua pengamatan data diatas adalah bahwa mutu, kopi sangat bergantung pada faktor seperti suhu udara dan curah hujan di tempat asal kopi. Cita rasa yang unik yang kemudian muncul dan menjadi ukuran mutu kopi sangat dipengaruhi panas atau dinginnya suhu di perkebunan kopi. Memang selalu ada jalan untuk bisa merekayasa kondisi suhu dan cuaca, namun faktor alam tidak bisa dilawan oleh manusia.
“Ada faktor lain yang mempengaruhi, itu adalah faktor bagaimana petani memperlakukan kopinya paska panen, dengan tentunya melihat tanda alam untuk menentukan proses yang tepat bagi kualitas kopi,” ujar Adi.
Adi sependapat bahwa faktor alam yang kian panas mempengaruhi mutu kopi, meskipun hal ini masih perlu dihitung dan diteliti lebih lanjut. “Bukan tugas petani, pegiat, tapi semua orang butuh pemerintah hadir untuk kopi dengan riset-riset dari lembaga-lembaga yang kompeten, sebab selama ini petani tidak mendapat asupan gizi yang baik dari pemerintah selain bantuan-bantuan yang bisa jadi, tidak diperlukan secara prioritas oleh petani,’ ujarnya.
Liputan in merupakan bagian dari program pelatihan dan beasiswa Kopi dan Perubahan Iklim yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) dan didukung oleh Internews’ Earth Journalism Network.