Penggundulan hutan dan perburuan liar di Pulau Buton merupakan ancaman utama bagi Anoa, namun satwa endemik SUlawesi Tenggara ini menjadi jauh lebih rentan dengan adanya usulan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industri Aspal Terpadu Buton yang diajukan pemerintah setempat.

Erin seekor Anoa betina berumur satu tahun lebih, seharusnya hidup dibawah asuhan induknya di alam bebas, namun terpaksa menjalani perawatan di penangkaran tidak layak huni, berukuran 2×3 meter persegi di kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tenggara. Kaki kiri depannya terpaksa diamputasi dokter hewan, mencegah luka pembusukan meluas ke anggota tubuh lainnya.

Erin adalah korban jeratan kawat besi pemburu sapi liar di Kabupaten Konawe Selatan pada Juli 2019 lalu. Rencananya, Erin akan mendapatkan kaki palsu berbahan baja campuran untuk mempermudah proses perkawinan pada masa subur kelak. Menjaga keseimbangan sangat penting, mengingat anatomi kaki depan Anoa lebih pendek ketimbang kaki belakang.

Nasib Erin adalah satu dari sekian contoh ancaman klasik yang mungkin berakibat kepada kepunahan anoa. Selama ini perlindungan Anoa hanya fokus ke hewannya semata, tidak menyentuh deforestasi yang terus menyusutkan habitat Anoa.

“Hingga kini kapasitas sumber daya manusia masih kurang sehingga perlu ditingkatkan, salah satunya dengan pelatihan dalam rangka meningkatkan kemampuan teknis akan pengetahuan tentang anoa” kata Prianto, Kepala Konservasi Wilayah I BKSDA Sultra menjelaskan tantangan teknis yang kerap dihadapi dalam upaya penyelamatan dan perlindungan anoa.

Spesies khas Sulawesi

Terdapat dua spesies Anoa, yaitu Anoa daratan rendah (Bubalus dipressicornis) dan Anoa gunung (Bubalus quarlesi), yang hidup di hutan-hutan Pulau Sulawesi maupun Pulau Buton.

Di Indonesia, anoa dilindungi undang-undang sejak tahun 1931. Pada tingkat internasional kedua Anoa ini masuk dalam kategori Endangered Species dalam International Union for Conservation of Nature Red List, yaitu satwa yang terancam punah apabila tidak segera diambil tindakan konservasi terhadap habitat dan populasinya.

Anoa masuk dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, sebagai satwa yang tidak boleh diburu, dibunuh dan diperdagangkan hidup maupun mati, dan atau dalam keadaan utuh maupun bagian-bagian satwa ini.

Untuk meningkatkan usaha konservasi Anoa di habitatnya, diperlukan strategi dan rencana aksi sebagai kerangka kerja bagi pihak terkait, dalam menyusun program penanganan secara terpadu. Perlindungan dan penyelamatan kedua species Anoa ini tertuang, dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 54 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Anoa (Bubalus Depressicornis dan Bubalus Quarlesi) tahun 2013-2022.

Dalam PERMENHUT itu dijabarkan program konservasi eks-situ berfungsi sebagai pendukung populasi in-situ (habitat asli). Untuk mencapai ini diperkirakan 90 persen keragaman genetiknya harus dipertahankan dalam kurun waktu 100 tahun kedepan.

Namun hingga kini, target mengembangbiakkan 60 ekor Anoa hingga mencapai populasi anoa eks-situ sampai dengan 300 individu, sesuai dengan IUCN (International Union For Conservation of Natural Resource) Conservation Breeding Specialist Group, belum terealisasi.

Prianto mengatakan kurangnya dukungan dana dari pemerintah menjadi hambatan utama dalam membangun pusat penyelamatan anoa. Hewan yang menjadi maskot daerah Sulawesi Tenggara ini dikhawatirkan terancam punah di habitat aslinya.

Dalam PERMENHUT tersebut tertulis Indikator dan standar kinerja program Pendanaan yang Berkelanjutan adalah meningkatnya alokasi dana untuk konservasi di Sulawesi sampai dengan 10 juta USD mulai tahun 2013, meningkatnya pemanfaatan dana untuk konservasi anoa, penggunaan dana dari jasa lingkungan pada setidaknya satu area prioritas/tahun mulai tahun 2015, dan adanya dana tersedia minimal untuk 14 kawasan prioritas.

“Anggaran belum memadai. Untuk melestarikan anoa butuh beberapa perlakuan, diantaranya memonitor perkembangan populasi memerlukan sarana dan prasarana seperti kamera trap yang saat ini tersebar sebanyak 19 unit,” kata Prianto.

Jumlah itu masih dinilai kurang untuk dapat memonitor populasi anoa secara efektif. “Belum cukup, idealnya di tiap tempat yang menjadi perlintasan anoa harus di pasang kamera trap. Makanya kita bertahap dalam pengadaan kamera trap,” tegas Prianto, yang menambahkan belum dapat memastikan angka pasti berapa jumlah kamera trap yang dibutuhkan. Untuk saat ini kebutuhan disesuaikan di lokasi monitoring anoa.

BKSDA Sultra memiliki empat situs monitoring populasi anoa yang berjumlah 197 ekor. Satwa tersebut tersebar di Blok Hutan Tanjung Gomo SM. Tanjung Peropa 43 ekor, di Blok Hutan Tambeanga Tanjung Peropa 37 ekor, di Blok Hutan Eelahaji SM Buton Utara 77 ekor, dan di Blok Hutan Betau Ronta SM. Buton Utara 40 ekor.

Populasi anoa memang bertambah, namun dengan sangat lambat. Basis data pemantauan anoa tahun 2013 mendata sebanyak 179 ekor, dan tahun 2019 terdata 197 ekor. Metode yang digunakan dalam monitoring yaitu jalur (line transect), salah satu alat analisis yang digunakan dalam penghitungan populasi anoa.

“Kita akan menambah site-site pengamatan anoa, kemudian memperkaya pemulihan habitat anoa tersebut, serta membuat Kawasan Ekologis Esensial untuk koridor anoa,” jelas Prianto.

Sampai tahun 2020, pihaknya mengaku sudah mengimplementasikan PERMENHUT No.54 tahun 2013, meskipun belum semua hal terealisasi akibat faktor-faktor eksternal. Kendala BKSDA ialah bahwa indikator kinerja dalam PERMENHUT yang berasal dari pihak eksternal membutuhkan konsultasi rutin.

“Faktor eksternal sarana-prasarana pendukung dan biaya, seperti kamera trap, pembangunan menara pengamatan, laboratorium, pusat konservasi anoa dan lain-lain yang semua membutuhkan biaya,” jelas Prianto.

Untuk faktor internal, kapasitas Sumber Daya Manusia masih kurang, perlu ditingkatkan. Diantaranya dengan pelatihan peningkatan kemampuan teknis-pengetahuan tentang anoa. BKSDA juga intens membahas hasil-hasil yang sudah dicapai dalam kegiatan monitoring anoa, pada lingkup tingkat Balai.

“Kalau secara pribadi menurut saya harus di evaluasi lagi PERMENHUT ini, karena kurangnya peran para pihak khususnya Pemda, NGO dan masyarakat. Ini untuk di Sultra lho ya” jelas Prianto.

***

Hingga kini BKSDA rutin memonitoring populasi anoa, pembinaan habitat melalui pengayaan pakan dan sosialisasi/penyuluhan kepada masyarakat tentang anoa. Berdasarkan laporan petugas tingkat resort, belum ada data jumlah anoa mati dalam 10 tahun terakhir. Dan belum ada warga yang tertangkap melanggar undang-undang yang menlindungi anoa.

Ancaman hukuman bagi penangkap anoa adalah penjara 5 tahun dengan denda Rp.100 juta. Menyimpan, dan memiliki bagian satwa dilindungi juga merupakan pelanggaran dan kelalaian yang tidak disengaja terkait larangan tersebut dapat di pidana dengan ancaman penjara setahun.

“Lebih besar ancamannya di pulau Buton, karena ukurannya lebih kecil dibanding di jazirah Sulawesi. Di Buton sudah banyak penurunan status-status kawasan hutan menjadi pemukiman, kebun dan bahkan jadi tambang,” ungkap Prianto mengamati berkurangnya habitat asli Anoa.

Kabar baiknya adalah bahwa kawasan konservasi di pulau Buton belum terkena pengalihan fungsi dan luasnya masih sesuai dengan Surat Keputusan Kehutanan yang menetapkan Suaka Margasatwa Buton Utara seluas kurang lebih 91.000 ha, Suaka Margasatwa Lambusango kurang lebih 27.000 ha, dan Cagar Alam Kakinauwe seluas 810 ha.

“Tidak semua luasan tersebut menjadi home range anoa, namun kawasan adalah rumah bagi mereka,” tegas Prianto,

Saprin, peneliti biologi Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari dalam studi populasi Anoa di Buton Utara pada 2009 lalu menemukan fenomena perbandingan 2:1 antara anoa jantan dan anoa betina. Populasi anoa diperkirakan menurun akibat aktifitas perburuan masyarakat yang berlangsung hingga kini, sejalan dengan aktifitas pembukaan lahan.

“Rata-rata anoa betina yang tertangkap. Jerat dipasang bulan Agustus saat musim kelahiran anoa. September sampai November anoa betina aktif melindungi anaknya yang tidak jauh dari tempat melahirkan,” kata Saprin.

Perburuan anoa betina memicu kepunahan hewan yang memiliki frekuensi reproduksi dua tahunan. Anoa hanya melahirkan satu ekor anak setiap kalinya. Selama masa pertumbuhan hingga usia produktif tetap hidup bertiga; jantan-induk dan anak dengan kemampuan daya jelajah sejauh 5 Kilometer dalam mencari makan.

“Setiap saat warga tangkap anoa. Sosialisasi kepada masyarakat masih kurang tentang Anoa hewan yang dilindungi dan maskot Sultra yang harus dilestarikan” ungkap Saprin.

Polisi Sektor kecamatan Bonegunu, Buton Utara, menerima laporan sebanyak 5 anoa terkena jerat dalam kurun tahun 2017-2019. Sementara sumber lain yang tidak mau disebutkan menjelaskan, dua dari lima anoa itu dijual terpisah ke kabupaten Muna dan kota Kendari. Tidak ada informasi pasti berapa harga yang dilepas untuk ke Muna, namun untuk pembeli Kendari dibandrol Rp.5 juta.

Semantara itu, ancaman kepunahan di SM Lambusango, terbilang lebih parah dari ancaman kepunahan anoa di SM Buton Utara.

“Lantai hutan Lambusango tidak serapat lantai hutan Buton Utara yang banyak terdapat tumbuhan rotan. Buah, pucuk muda dan daun rotan itu salah satu makanan anoa,” ujar Saprin.

Seekor Anoa dataran rendah (Bubalus quarlesi) terlihat di dalam Suaka Margasatwa (SM) Lambusango, Sulawesi Tenggara. Habitat Anoa diperkirakan semakin sempit akibat terusik kebisingan aktifitas penebangan pohon di sekitar SM Lambusango. Sumber foto: Halidin.

Wisata ilmiah oleh pelajar-pelajar asing yang didatangkan lembaga asing juga berkontribusi terhadap berkurangnya anoa. Jalan setapak rintisan peneliti asing menjadi petunjuk termudah pemburu satwa liar mengakses habitat anoa.

Ancaman paling serius adalah kebijakan pemerintah kabupaten Buton mengusulkan penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industri Aspal Terpadu Buton di desa Lawele, kecamatan Lasalimu, yang berbatasan dengan bagian timur SM Lambusango.

“Sangat akan mengancam walaupun Lambusango dilindungi. Tapi pemerintah terus menurunkan status kawasan hutan. Semua kembali ke peraturan pemerintah” tegas Saprin yang mengkhawatirkan rusaknya ekosistem hutan Lambusango yang luasnya 65.000 hektar, termasuk untuk kelangsungan habitat anoa.

Saprin berharap IUP (Izin Usaha Pertambangan) Aspal perlu dikaji lebih mendalam lantaran aktfitas pertambangan semakin mempersempit daya jelajah anoa. Populasi anoa menjadi terfragmentasi dan hutan Lambusango sebenarnya masuk dalam daftar hutan paru-paru dunia sebagai sumber oksigen.

Kendala dan hambatan implementasi PERMENHUT Konservasi Anoa

Pencapaian target populasi awal Anoa di Lembaga Konservasi merupakan target yang memerlukan perhatian khusus. Anoa merupakan satwa yang relatif sulit untuk berkembang biak dan guna tercapainya kualitas genetik yang terbaik, maka pola perkawinan satwa di Lembaga Konservasi harus secara ilmiah ditetapkan dan dilaksanakan secara terstruktur serta didasarkan pada silsilah satwa tersebut.

Hewan yang terutama hidupnya soliter ini mengalami masa kehamilan selama sembilan bulan dan hanya melahirkan satu anakan saja, sehingga peningkatan populasinya sangat lamban.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2019, memperlihatkan sekitar 362 individu anoa termonitor di 14 situs. Sedangkan jumlah di ex-situ yang tersebar di Lembaga Konservasi diperkirakan sekitar 37 ekor.

“Untuk itu pemerintah bersama mitra saat ini sedang mengupayakan berbagai program untuk pengembangbiakan jenis ini antara lain melalui Program Global Species Management Plan (GSMP) yaitu program untuk mengkoordinir suatu kerjasama antara lembaga konservasi nasional dengan lembaga konservasi /zoos internasional untuk meningkatkan populasi species di ex-situ maupun di in-situ” ungkap Indra Exploitasia Semiawan, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK.

Indra memaparkan beberapa tantangan terkait pengelolaan konservasi anoa in-situ, diantaranya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya anoa dalam sistem rantai makanan dalam ekosistem perlu ditingkatkan, sehingga masyarakat dapat ikut berperan dalam perlindungan anoa.

Pemda perlu diikutsertakan dalam keterlibatan perlindungan satwa beserta habitatnya diluar Kawasan Konservasi, termasuk dalam mengedukasi masyarakat di sekitar habitat satwa anoa. Diperlukan pula adanya mobilisasi pendanaan berkelanjutan untuk konservasi anoa sehingga program pelestarian satwa ini dapat berlanjut. Pusat rehabilitasi Anoa, khususnya di Sulawesi Bagian Utara dan Gorontalo, juga masih terbatas kemampuannya..

“Perlu ada program-program keragaman genetik. Anoa yang berada di Anoa Breeding Centre yang ada saat ini kemungkinan mengalami inbreeding (perkawinan kerabat)” kata Indra.

Terkait PERMENHUT Konservasi Anoa, Indra merekomendasikan berbagai pihak terkait untuk mengatifkan kembali Forum pemerhati Anoa agar menguatkan komunikasi para pihak guna memperkuat implementasi Strategi dan Rencana Aksi (Srak) Anoa. Selain itu perlu penyediaan dan pembangunan basis data, serta adopsi tekhnologi informasi untuk mendukung pengelolaan data, analisis serta pengambilan keputusan.

Menetapkan prioritas pada indikator kinerja yang dianggap paling penting atau memungkinkan dicapai dalam sisa waktu implementasi Srak Anoa 2013-2022.

Selain itu, peningkatan kapasitas pelaksana tekhnis dalam mendukung implementasi survei dan pemantauan populasi anoa di masing-masing kawasan (site monitoring) harus dioptimalkan.

Indra menegaskan pentingnya memperkuat keterlibatan pihak lain diluar pengelola kawasan konservsi seperti KPH, perguruan tingi, pihak swasta, LS masyarakat dalam mendukung implementasi Srak Anoa.

PKBSI (Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia) yang merupakan salah satu lembaga yang terlibat dalam upaya konservasi anoa menilai pemerintah belum maksimal mengimplementasikan Srak anoa.

“Kita masih melihat upaya pemerintah dalam konservasi anoa masih setengah hati. Masing masing UPT, BKSDA di daerah maupun di pusat Jajaran Kemen LHK belum satu suara” kata Tony Sumampau, Sekretaris Jendral PKBSI.

Sejak 2016, PKBSI telah membuat kesepakatan MOU dengan asosiasi kebun binatang internasional seperti Association for ZOOs & Aquariums USA (AZA), European Association for Zoos and Aquariums (EAZA), South East Asia Zoos Association (SEAZA), World Association for Zoos & Aquariums (WAZA) IUCN- SSC Wild Cattle Specialist group dalam GSMP (Global Species Management Plan) program.

Dengan rangkaian MoU itu, PKBSI dapat membantu pemerintah dalam upaya konservasi anoa secara ex-situ dengan target sebanyak 150 ekor dalam 10 tahun terhitung sejak tahun 2017

“Kendala kita adalah Founder (bibit awal) sangat terbatas. Sehingga dari 56 anggota PKBSI hanya 7 instusi yang memiliki species anoa. Itupun termasuk satu tempat penelitian satwa atau Anoa breeding Center milik Kementerian LHK di Manado yang memiliki 3.6 (9 ekor) anoa”. Tony melanjutkan “Kalau saya sebut 3.6 berarti 3 Jantan dan 6 Betina jadi total 9 ekor di Anoa breeding Center Manado”.

About the writer

Riza Salman is a freelance journalist and documentary filmmaker who focuses on reporting on environmental, social and cultural issues. He started his career as a television journalist in 2008. In 2018...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.