Masyarakat adat Tangsa di Enrekang, Sulawesi Selatan merupakan salah satu contoh ketika pemerintah memberikan pengakuan yang diperkuat melalui peraturan daerah setempat. Selain memberikan kepastian keberlanjutan ruang hidup masyarakat adat, perda dan SK kepala daerah juga telah mampu menggerakkan ekonomi perempuan adat.

Liputan ini pertama kali terbit di Mongabay Indonesia pada tanggal 28 Desember 2020.

Oleh Wahyu Chandra

Hujan mengguyur deras ketika kami tiba di kampung masyarakat adat Tangsa, di Desa Benteng Alla Utara, Kecamatan Baroko, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Sabtu (11/12/2020). Hari menjelang malam. Tuan rumah Thakkalawa bersama istrinya menyambut dengan ramah di sebuah tongkonan, rumah khas Toraja, tempat kami bermalam saat itu.

Komunitas ini berada di kawasan pegunungan dan berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja. Dikelilingi hutan yang masih terjaga serta hamparan kebun palawija.

Tangsa merupakan salah satu komunitas adat yang telah mendapat pengakuan dari pemerintah daerah melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Enrekang 156/KEP/II/2018. Komunitas adat dengan wilayah seluas 1.370 hektar ini dihuni sekitar 929 kepala keluarga, berpenduduk 3.751 jiwa. Di dalamnya hidup tiga keyakinan secara berdampingan yaitu Islam, Kristen, dan Aluk.

Sebagian besar masyarakat adat Tangsa hidup dari sektor pertanian, khususnya palawija. Dalam perjalanan menuju lokasi, terlihat hamparan kebun palawija yang telah siap panen. Dulunya, kebun-kebun itu adalah sawah yang kemudian diubah menjadi kebun. Keterbatasan air menjadi masalah.

“Kalau dihitung luas sawah itu dulu sekitar 500 hektar, namun sekarang sudah tak ada lagi berganti menjadi kebun, itu sekitar tahun 1970-an. Di sini air susah di musim kemarau sehingga tak cocok lagi untuk sawah,” ungkap Thakkalawa, salah seorang pemangku adat Tangsa, dalam perbincangan kami keesokan harinya.

Sebagian warga juga bertani di dalam kawasan hutan yang disebut rea’. Mereka bertani kopi dan sebagian kecil cengkeh. Untuk kopi, sekali panen menghasilkan sekitar 50 ton, sementara cengkeh hanya beberapa ton saja.

Sebagian rea’ dikeramatkan warga karena menjadi tangkapan sumber mata air.

“Kalau rea’ ini rusak, ya tak ada lagi air yang bisa digunakan warga. Kalaupun nanti disahkan sebagai hutan adat, kita usulkan sebagian wilayah hutan tetap digunakan sebagai fungsi lindung,” kata Thakkalawa.

Suplai air untuk warga kini memang sangat tergantung dari hujan dan simpanan air dari rea’ ini. Dulu ada bendungan tradisional di sebuah lokasi yang disebut Burassia. Penampungan air ini dikelilingi oleh batu-batu alam yang disusun warga, istilahnya di-bronjong. Namun bendungan ini hancur oleh kontraktor yang ditugasi membuat irigasi.

“Batu-batunya diambil untuk dibikin irigasi karena kontraktornya tidak mau keluarkan uang beli batu. Bendungan rusak tidak diperhatikan, irigasinya juga tidak jadi-jadi, malah pipa-pipa air banyak diambil warga,” ungkap Thakkalawa.

Meski telah turun temurun dianggap sebagai hutan adat, namun rea’ berada dalam klaim hutan lindung milik negara. Masyarakat bertahan mengelola kawasan tersebut dengan diliputi rasa waswas.

Yanto Battong, seorang pemangku adat Tangsa lainnya, bercerita, sebelum ada perda dan SK bupati, warga takut masuk dalam hutan karena khawatir ditangkap dan diusir oleh polisi hutan (polhut).

“Bahkan pada tahun 1990-an, sepupu saya bernama Budi dan beberapa warga lain dipenjara selama 6 bulan,” kata Yanto.

Setelah perda lahir, kini mereka merasa lebih aman. Bahkan mereka dapat mengelola wilayah, menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum adat Tangsa, dan bisa melakukan hubungan hukum dengan pihak luar. Selain itu, perda ini dapat melindungi dari pihak-pihak yang ingin menguasai wilayah adat mereka. Sebab ada aturan adat yang tak membolehkan warga memperjualbelikan tanah.

“Bagi kami tanah itu ibarat ibu yang memberi kehidupan, sehingga pantang untuk menjual tanah. Yang ada saat ini hanya ganti rugi tanaman, tanahnya tak boleh dipindahtangankan kepada pihak luar,”

Thakkalawa

Selain memberikan kepastian keberlanjutan ruang hidup masyarakat adat, perda dan SK kepala daerah di Enrekang mampu menggerakkan ekonomi para perempuan adat.

Menurut Jaisa, Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, perempuan adat di Kaluppini dan Uru telah membentuk kelompok ekonomi pasca terbitnya perda.

“Ada dua komunitas yang sudah membentuk kelompok dan ada kepengurusan, manajemen dan mengelola potensi unggulan di komunitas masing-masing, yaitu di Kaluppini dan Uru,” kata Jaisa.

Jusmiati, perempuan adat dari komunitas adat Uru, membenarkan bahwa perda dan SK memberi arti penting bagi perempuan terlibat dalam pengelolaan hutan.

“Dulu sebelum adanya hutan adat memang ada larangan masuk dan berkebun di dalam hutan, sekarang sudah dibolehkan, bisa menanam kopi dan mengambil rotan,” ujarnya.

Sama halnya di Tangsa, di komunitas adat Uru juga memiliki cerita kriminalisasi warga ketika mengakses kawasan hutan saat perda belum muncul.

Setelah berjuang mendapatkan pengakuan pemerintah daerah, masyarakat adat Tangsa bersama empat komunitas adat lain masih menunggu hutan adat mereka seluas 130,86 hektar ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Mereka telah mengajukan pengakuan hutan adat tersebut sejak 10 Desember 2018. Hingga saat ini, baru hutan adat milik komunitas Marena dan Orong yang ditetapkan oleh KLHK.

Yanto berharap penetapan hutan adat tersebut mampu melindungi hutan melalui aturan-aturan yang akan disepakati bersama secara adat dengan pemerintah desa.

Di kawasan hutan masyarakat adat Tangsa sejak dulu sudah menanam kopi dan cengkeh. Setelah adanya pengakuan warga merasa aman dan nyaman, tak lagi takut dengan pengusiran atau penangkapan dari polhut. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

Lahirnya perda masyarakat adat Enrekang

Perda hukum masyarakat adat sejatinya adalah mandat putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012. Putusan itu mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan negara dan mengakui hutan adat sebagai hutan yang berada dalam wewenang masyarakat hukum adat. Namun keberadaan masyarakat hukum adat tersebut, hanya dapat dikukuhkan baik oleh peraturan daerah atau melalui sk kepala daerah.

Sejak saat itu, sejumlah masyarakat adat berjuang mengajukan perda atau sk hutan adat. Paundanan Embong Bulan, Ketua AMAN Massenrempulu Enrekang, bercerita, lembaganya mengajukan rancangan perda sejak 2015.

Setahun berikutnya, lahirlah Perda Kabupaten Enrekang No. 1 tahun 2016 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan terhadap Masyarakat hukum Adat di Kabupaten Enrekang.

Setelah terbitnya perda, pemda kemudian membentuk panitia Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang berperan dalam proses identifikasi, verifikasi dan validasi, hingga pengakuan.

Dari proses ini, selain Tangsa, ada sembilan komunitas adat lainnya yang mendapat pengakuan melalui SK Bupati, yaitu komunitas adat Baringin, Orong, Marena, Patongloan, Pana, Uru, Andulang, Pasang, dan Tondon.

Jumlah tersebut sebenarnya masih kurang dari 30 persen dari total 37 komunitas adat yang telah diidentifikasi. Kendalanya, karena belum siapnya peta wilayah adat sebagai syarat utama pengakuan masyarakat hukum adat.

Proses pemetaan ini dinilai Paundanan sebagai tahapan terpenting sekaligus tersulit. Sebab mereka harus melewati medan yang berat, gunung, lembah dan sungai-sungai. Belum lagi kesepakatan batas-batas wilayah adat yang kadang sulit disepakati antar komunitas.

“Ada beberapa komunitas sebenarnya sudah melalui proses pemetaan namun belum rampung. Ada juga komunitas awalnya dianggap selesai, yaitu Kaluppini, namun ternyata kemudian bermasalah batas wilayah dengan komunitas lain,” katanya menjelaskan hambatan di lapangan.

Menurut Paundanan, hadirnya perda tersebut memberikan pemahaman baru kepada pemda tentang makna masyarakat adat. Sebelum ada identifikasi, pemda hanya menilai masyarakat adat karena ritualnya, bukan kewilayahan.

Hal itu, kata dia, berdampak pada kurangnya perhatian pemda pada nasib masyarakat adat.

Kehadiran perda masyarakat adat ini juga tak terlepas dari besarnya dukungan Pemda Enrekang. Menurut Hamsir, Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesra Enrekang, kehadiran perda dan SK Hutan Adat ini memberi landasan hukum bagi pemda untuk melaksanakan program-program dan bersinergi dengan pemerintah desa untuk membuat regulasi terkait peningkatan kesejahteraan masyarakat adat.

“Harapannya masyarakat adat berkolaborasi berdampingan dengan pemerintah desa. Sehingga apa yang menjadi muara harapan bisa diwujudkan,”

Hamsir, Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesra Enrekang

Menurut Hamsir, pemda juga melakukan pendampingan termasuk melakukan pengawasan agar skema hutan ini dijalankan, baik melalui kegiatan workshop dan pelatihan. Upaya ini telah dilakukan di dua komunitas yang telah mendapat SK Hutan Adat dari KLHK, yaitu Marena dan Orong. Hal yang sama akan dilakukan ke komunitas lain yang akan mendapat pengakuan.

Dukungan ini, menurut Hamsir, juga sebagai bentuk apresiasi pemda terhadap masyarakat adat yang selama ini dinilai mampu menjaga hutan melalui kearifan lokal yang dimilikinya.

“Karakter masyarakat di Enrekang itu sangat kental dalam melestarikan adat, termasuk bagaimana melestarikan alam. Hutan bisa lestari ketika dijaga masyarakat adat karena kepatuhan mereka terhadap aturan adat. Mereka memiliki kepatuhan menjaga kelestarian hutan,” jelas Hamsir.

Sebagian besar warga Tangsa dan Patongloan, dua komunitas yang bertetangga, bertani palawija. Tak ada lagi sawah tersisa karena sumber air terbatas mengandalkan hujan. Salah satu sumber mata air yang tersisa adalah hutan adat yang disebut rea’. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

Pentingnya perda pasca pemberlakuan Omnibus Law

Menurut data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), saat ini terdapat 1.337 komunitas adat di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, 726 komunitas sudah teregistrasi, 47 komunitas terverifikasi dan 28 komunitas yang sudah mendapatkan sertifikat. Sedangkan sebanyak 536 komunitas, baru tercatat.

Terkait luas wilayah adat yang sudah dipetakan sekitar 11,16 juta hektar, di mana sekitar 7,8 juta hektar (69,95 persen) sudah teregistrasi, 914 ribu hektar (8,19 persen) sudah terverifikasi dan 560 ribu hektar (5,02 persen) sudah tersertifikasi.

Menurut Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), pihaknya dan lembaga lain berupaya melakukan percepatan yang signifikan untuk mengakui wilayah adat tersebut.

“Angka-angka yang kami sinkronisasi itu ada sekitar 1 juta hektare yang dalam setahun kami usulkan untuk diproses untuk ditetapkan,” katanya.

Upaya percepatan itu, kata Kasmita, sangat penting karena adanya perda dan SK hutan sebagai bentuk perlindungan bagi masyarakat adat dan wilayah adatnya. Apalagi di dalam perda atau SK penetapan hutan adat memiliki pernyataan hukum akan eksistensi masyarakat adat dan ruang hidupnya.

“Hutan adat itu, kan, sebenarnya sebuah koreksi dari sebuah policy dimana dulunya pemerintah menyatakan semua kawasan hutan adalah milik negara. Hutan adat ini mengembalikan sesuai dengan konstitusi bahwa hak-hak masyarakat adat itu diakui dan salah satunya adalah hutan adat,” tambahnya.

Salah satu bagian penting dalam proses pengajuan SK hutan adat adalah peta wilayah adat yang diperoleh melalui pemetaan partisipatif.

“Melalui pemetaan partisipatif sebenarnya kita sedang menggambarkan sebuah relasi panjang, sebuah komunitas kesatuan sosial dengan ruang hidupnya yang cukup dinamis, dan kita bisa melihat dengan tematik-tematik yang diekspresikan melalui yang namanya tata guna lahan atau pemanfaatan lahan di wilayah adat mereka,” jelas Kasmita.

Namun menurut Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN)mendorong perda masyarakat adat tidaklah mudah.

Masih banyak daerah yang belum memiliki instrumen pengakuan baik melalui perda ataupun sk bupati. Bahkan dari 109 daerah yang telah memiliki instrumen pengakuan ini belum sepenuhnya berjalan efektif.

Setidaknya, kata Arman, ada empat tantangan utama mendorong perda masyarakat adat. Pertama, terkait situasi politik lokal. Kemauan pemda untuk mengakui masyarakat adat masih setengah hati. Kedua, terkait perspektif yang keliru terhadap masyarakat adat. Ketiga, terkait dukungan pendanaan dari pemerintah, dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri (kemendagri).

“Kemendagri kan punya Permendagri No. 52 yang memerintahkan seluruh pemda kabupaten dan kota untuk siapkan anggaran. Tapi data per 2017 itu kemendagri itu hanya 17 kabupaten dan kota yang melaksanakan itu. Alasan pemda kenapa tidak melakukan karena tidak ada dukungan dari kemendagri soal dukungan dana,” katanya.

Sedangkan keempat terkait relasi kuasa. Oligarki yang semakin menggurita, menyebabkan adanya pertarungan korporasi yang di-back up oleh kekuasaan.

“Ada asumsi bahwa ketika masyarakat adat diakui akan menjadi masalah bagi korporasi. Padahal ada sebuah hasil kajian dari Daemeter yang menemukan bahwa korporasi sebenarnya mengharapkan adanya political will dari pemerintah untuk mengakui masyarakat adat. Karena mereka menemukan hampir 20 persen biaya konflik dari perusahaan itu, harus mereka keluarkan untuk membenahi konflik sengketa yang terjadi.”

Terkait efektivitas perda ini dalam melindungi wilayah adat, menurut Arman, memang masih harus dikaji lebih jauh. Namun hadirnya perda sangat penting dalam membangun rasa percaya diri masyarakat adat.

“AMAN pernah melakukan evaluasi pada 2019 lalu terkait efektivitas perda. Memang tidak semuanya berhasil sempurna. Namun hasil kajian menemukan bahwa ketika ada perda akan semakin membangun kepercayaan diri masyarakat adat dalam mempertahankan haknya,” katanya.

Selain itu, menurut Arman, perda atau sk kepala daerah bisa menjadi perlindungan bagi masyarakat adat pascaterbitnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law.

Liputan ini didukung oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) melalui program workshop dan fellowship dengan tema ‘Masa Depan Masyarakat Adat’.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.