Ani dan ibunya, Anizar masih sibuk membersihkan lumpur yang masuk rumah mereka di Kelurahan Jondul Rawang, Kecamatan Padang Selatan, Padang, Sumatera Barat, penghujung September lalu. Mesin penghisap air masih mengeluarkan genangan cokelat di dapur dengan air masih setinggi mata kaki.
Mayunis, ayah Ani, terlihat membersihkan kipas angin di ruang menjahit. “Ada jas warna putih masuk genangan. Itu beli atau buatnya saja ada Rp1 juta. Kemarin terkena lumpur. Kata yang punyanya ya sudahlah, namanya juga musibah,” kata Mayunis sambil melepaskan kacamata lalu membersihkan dengan baju.
Mesin jahitnya pun sempat rusak terkena banjir yang lalu. Kasur, dipan kayu hancur. Rumahnya sempat jadi seperti akuarium berisi air sepinggang. Ani dan keluarga mengira-ngira, air setinggi sekitar satu meter.
“Biasa tidak ada lumpur. Ini dua kali banjir ada lumpurnya,” katanya.
Hari itu, hujan turun sejak pukul 14.00 WIB-00.15 WIB. Rumah Ani kemasukan air sekitar pukul 18.00 WIB.
“Kalau malam ke sini tidak bisa, gimana caranya? Jalan tertutup banjir, motor pasti tidak bisa lewat.”
Kerugian yang mereka derita sekitar Rp20 juta. Ada mesin jahit ayahnya, meja, lemari, kasur, isi kamar, kulkas hampir semua terkena banjir berlumpur ini.
Mayunis bilang, sudah hampir 30 tahun tinggal di Jondul Rawang. Rumah mereka terletak di bagian rendah kompleks. Kala banjir, tidak ada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) datang ke tempat mereka untuk membantu.
Ahmadin, Kepala Seksi Tata Pemerintahan Kelurahan Rawang, Padang Selatan, mengatakan, kondisi cuaca masih terlihat akan hujan lagi hingga belum menghubungi BPBD.
“Jadi, tunggu cuaca benar-benar cerah dulu baru panggil BPBD? Kalau hujan tak berhenti-henti bagaimana? Kok tidak ada inisiatif sama sekali?” tanya Ani.
Dia berharap, pemerintah bisa membuat drainase yang tepat, bukan membuat air dan lumpur lari ke rumahnya. Kelurahan Jondul Rawang mencatat, ada 50 keluarga atau 50 rumah terdampak banjir kala itu.
Tetangga Ani, Ira, baru dua tahun tinggal di situ. Dia sudah menyiapkan meja untuk meletakkan barang-barang berharga agar tak terkena banjir.
“Bulan 9 pada tahun lalu (banjir) parah sampai ke pinggang. Barang, baju, basah. Maka dibuat meja,” cerita Ira.
Jup Kelly, Ketua Forum Anak Nagari Rawang mengatakan, dua tahun ini ada lumpur saat banjir di Rawang. Dia duga karena ada pembangunan jalan. “Dari Bukit Karan itu, dibuat akses jalan untuk masyarakat.”
Tak hanya Jondul Rawang, yang banjir. Kelurahan Batang Arau, di kawasan Palinggam juga alami serupa. Air di Batang Arau yang mengalir ke muara yang jadi pintu ke laut naik sampai satu meter.
Ijal, warga terdampak cerita kalau air menggenangi rumahnya. Bersama istri dan dua anaknya, mereka segera menyelamatkan barang-barang elektronik.
Ijal sehari-hari sebagai kuli bangunan. Sudah 10 tahun dia tinggal di daerah itu, baru kali ini air laut naik. “Arusnya deras ke arah laut.”
Kota Padang, kerap alami banjir setiap kali musim penghujan. Sutan Hendra, Kepala Seksi Operasional BPBD Kota Padang mengatakan, ada 14 titik langganan banjir beberapa tahun belakangan ini.
Titik-titik itu ada di Jondul Rawang, Kelurahan Mata Air, Kelurahan Berok Nipah, Pegambiran, Kampung Jua, Tabing Banda Gadang dan Kelurahan Alai. Kemudian, Kelurahan Lapai, Dadok Tunggul Hitam, Air Pacah, Sungai Sapiah, Anak Aia, Lubuk buaya dan Kelurahan Lubuk Minturun.
Sutan mengatakan, banjir bukan hanya karena curah hujan tinggi. “Kemungkinan pendangkalan saluran air seperti sungai-sungai kecil dan riol (jaringan saluran pembuangan air kotor kota),” katanya.
Masyarakat pun mengalami kerugian. “Selain rumah terendam ada juga kerugian harta benda, seperti kendaraan bermotor dan perabotan rumah tangga,” ujar Sutan.
Kejadian banjir di Kota Padang, cenderung naik dari tahun ke tahun. Pada 2016, ada 11 kasus banjir. Pada 2017, ada 27 kejadian banjir, lalu 2018 naik jadi 30 kejadian. Pada 2019 turun jadi lima kejadian dan pada 2020 naik lagi jadi 14 kasus, bahkan pada 2021, sampai September sudah 35 kejadian.
Indikasi perubahan iklim
Ulung Jantama Wisha, peneliti Oseanografi Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan, Sumatera Barat, atau khususnya Padang, adalah area sangat strategis kalau bicara tentang klimatologi. Lokasi berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, membuat banyak sekali faktor interaksi antara laut-atmosfer yang mempengaruhi cuaca di sana.
“Seperti Indian Ocean Dipole (pengaruh ke suhu yang berperan dalam evaporasi), Madden-Julian Oscillation yang terkait dengan curah hujan di barat Sumatera, juga pengaruh El Nino Southern Oscillation yang mengontrol suhu,” terangnya.
Indian Ocean Dipole (IOD) merupakan suatu fenomena osilasi suhu air permukaan laut yang tak teratur yang menyebabkan wilayah barat Samudera Hindia lebih hangat (di fase positifnya) dan lebih dingin (di fase negatifnya) dibandingkan wilayah timur Samudera Hindia.
Madden-Julian Oscillation (MJO) merupakan suatu gelombang atau osilasi non-seasonal di lapisan troposfer yang bergerak dari barat ke timur dengan periode osilasi kurang lebih 30-60 hari. Fenomena ini sangat berdampak terhadap kondisi anomali curah hujan pada wilayah yang dilaluinya.
Sedangkan, El Niño Southern Oscillation (ENSO) adalah pergeseran periodik sistem atmosfer samudra di Pasifik tropis yang berdampak pada cuaca di seluruh dunia.
Sugeng Nugroho, Kepala Stasiun Pemantau Atmosfer Global (Global Athmosphere Watch) di Sumatera Barat bersama Rudi Febriamansyah, Eri Gas Ekaputra, dan Dodo Gunawan menulis jurnal berjudul “Analisis Iklim Ekstrem untuk Deteksi Perubahan Iklim di Sumatera Barat.”
Dari analisis itu, kata Sugeng, terlihat indikator perubahan iklim di Sumbar walau untuk lokasi-lokasi khusus harus ada penelitian lebih lanjut.
“Kalau mau melihat dari curah hujan, kita bisa melihat jumlah hari yang punya hujan lebat yang jumlahnya lebih dari 100 ml per hari itu ada berapa hari,” katanya.
Menurut data yang dia kumpulkan dari beberapa stasiun BMKG di Kota Padang, ada kecenderungan kenaikan hari dengan curah hujan lebih dari 100 ml pada 2010-2020. Data ini berasal dari alat pengukur curah hujan beberapa lokasi mulai Stasiun BMKG Teluk Bayur, Muara Palang, Tambang Semen Padang, Bandar Buat, Water Plant Semen Padang, Unand Limau Manis, Nanggalo, dan Lubuk Minturun.
Pada 2010, delapan kali terjadi hari dengan hujan lebih 100 ml. Pada 2011, ada 14 hari dan turun pada 2012 jadi delapan hari. Pada 2013, melonjak jadi 34. Pada 2017 naik lagi jadi 64 hari dan pada 2020 ada 50 hari.
Benahi tata ruang
Tommy Adam, Kepala Departemen Kajian, Advokasi dan Kampanye Walhi Sumbar mengatakan, ada faktor eksternal dan internal yang menyebabkan banjir terus terjadi. Faktor eksternal, katanya, seperti curah hujan tinggi, kemudian kontur lahan kota jadi penyebab bencana banjir di Kota Padang.
“Padang sebelah barat dataran, kemudian sebagian besar rawa yang banyak beralih fungsi jadi permukiman baru,” katanya.
Area sebelah timur Kota Padang sekitar 50%-nya terdiri dari hutan lindung dan hutan konservasi, bagian dari Bukit Barisan. Pada area itu, Walhi Sumbar menilai pemerintah lemah dalam menegakkan tata ruang yang seharusnya sudah disepakati dalam aturan tata ruang kota. Mereka masih melihat ada pembalakan liar di beberapa titik di Kota Padang.
“Misal, awal tahun kemarin ada deforestasi sekitar 100 hektare di wilayah itu,” kata Tommy.
“Kita juga menilai ada kerusakan di daerah aliran sungai. Seperti DAS di Padang itu dari selatan di DAS Timbalun kemudian aliran Sungai Arau, Sungai Kuranji hingga Air Dingin. Kita lihat kondisi eksisting banyak pertambangan galian C atau galian tambang pasir.”
Alih fungsi lahan, terangnya, menjadi faktor internal yang menyebabkan banjir parah di Kota Padang. Alih fungsi membuat kemampuan lahan menurun dalam menerima hujan. Pada beberapa daerah ada sungai makin hari makin lebar karena dikeruk untuk aktivitas galian tambang galian C berizin.
“Belum lagi yang tidak berizin dan tidak dalam skala besar,” tegas Tommy, yang juga menyoroti alih fungsi lahan di daerah resapan seperti rawa di daerah Bungo Pasang dan Tabing. “Seharusnya, dibiarkan jadi rawa. Karena lemahnya pemerintah alih fungsi makin massif oleh developer.“
Selain itu, katanya, drainase yang tersedia berkualitas buruk. “Pemerintah gagal mengontrolnya,” sambungnya.
Tommy juga menyoroti penyakit ikutan pasca-banjir dan musim penghujan yang biasa bermunculan. Kasus DBD (demam berdarah dengue) biasa muncul karena penyebaran jentik nyamuk makin luas.
“Yang kita khawatirkan ada peningkatan laju DBD di musim penghujan seperti sekarang. Risiko peningkatan penyakit ini harus diatasi pemerintah dan masyarakat.”
Bagaimana aksi pemerintah?
Tri Hadiyanto, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Padang bilang, kalau mereka punya rencana bangun kolam retensi di daerah rawan banjir. Karena kondisi pandemi, pembangunan kolam itu pun tertunda. Ketika Mongabay ingin menggali informasi lebih banyak lagi, Tri sulit ditemui, via telepon pun sulit dihubungi.
Yenni Yuliza dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Padang mengatakan, semua desain untuk antisipasi banjir dari sisi pembangunan fisik ada di PUPR Kota Padang. Saat diminta untuk menjelaskan lebih lanjut, Yenni tak merespons.
Sementara, Dinas Lingkungan Hidup Kota Padang enggan menjawab pertanyaan mengenai hal di luar bidang yang mereka tangani. Saat ditemui Mongabay, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Padang, Mairizon, mengatakan bahwa banjir punya banyak faktor dan variabel.
“Bukan cuma curah hujan, juga topografi, curah hujan ekstrem, dan perilaku masyarakat,” katanya.
Kalau topografi suatu daerah rendah harus ada mitigasi. “Misal, membuat embung. Seperti daerah Khatib Sulaiman ada genangan setiap hujan, itu memang harus ada upaya pembesaran drainase. Juga (mengawasi) perilaku masyarakat yang seenaknya membuang sampah di drainase.”