Peningkatan suhu akibat perubahan iklim dapat memicu kerusakan kulit hingga masalah kesehatan lainnya yang membahayakan seperti kanker kulit.

Sejak duduk di bangku kelas 9, Surianto (22), sudah menggunakan tabir surya (sunscreen) untuk menghindari efek negatif akibat terpapar sinar matahari secara langsung. Rian, panggilan sapaan nya, lahir dan besar di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Namun, sejak 4 tahun terakhir ia mulai tinggal di Pontianak karena harus melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Kesadaran tersebut muncul dari inisiatifnya sendiri, karena merasa cuaca semakin panas dan jika beraktivitas terlalu lama di luar ruangan, kulitnya menjadi terbakar dan belang. Mahasiswa Fakultas Hukum ini mengaku sejak saat itu ia mulai terbiasa memakai sunscreen untuk kebutuhan sehari-hari. 

Cerita lainnya datang dari Aulia Griselda Maryam (15). Remaja yang sekarang duduk di bangku kelas 10 dan tinggal di Pontianak ini mengaku mulai menggunakan sunscreen sejak pandemi Covid-19. Suatu hari Aulia yang terbiasa bermain aplikasi TikTok melihat sebuah video seorang dokter yang mewajibkan anak usia 13 tahun ke atas memakai sunscreen untuk melindungi kulit dari paparan sinar ultraviolet. 

Sama halnya dengan Rian, Aulia juga pernah mengeluhkan kulitnya terbakar serta belang akibat terapar sinar matahari sebelum memakai sunscreen. Baginya, kini menggunakan sunscreen adalah kebutuhan.

“Kebutuhan. Soalnya kalo tanpa sunscreen muka saya kusam,” jelasnya saat dihubungi melalui aplikasi WhatsApp pada Senin (15/11/2021)

Peningkatan suhu picu masalah kulit hingga kesehatan

Kalimantan Barat sebagai wilayah yang dilewati oleh garis khatulistiwa umumnya memperoleh pancaran sinar matahari lebih panas dan lebih banyak dibanding wilayah lain. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Stasiun Klimatologi Mempawah pada tahun 2021 yang dilakukan pada 6 lokasi penelitian yaitu Kabupaten Ketapang, Kubu Raya, Sambas, Melawi, Sintang dan Mempawah menunjukan bahwa suhu di Kalimantan Barat mengalami peningkatan selama periode 1990-2019, dengan rata-rata indeks panas (humidex) bulanan berkisar antara 37,5°C hingga 39,2°C.

Penelitian tersebut menyatakan index tersebut menunjukkan kondisi tidak nyaman akibat panas, sangat umum dirasakan di Kalimantan Barat. Peningkatan suhu yang terjadi dari tahun 1990-2019 mengindikasikan telah terjadi perubahan iklim di Kalimantan Barat, lanjut penelitian tersebut.

Hal senada juga disampaikan oleh Koordinator Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kelas I Supadio Pontianak, Sutikno. Peningkatan suhu ungkapnya juga diikuti oleh Lama Penyinaran Matahari (LPM) yang lebih panjang dari biasanya dengan rata-rata 4 jam sampai 4,5 jam perhari.

Tak hanya Rian dan Aulia, dalam sebuah survei yang penulis lakukan melalui Google Form baru-baru ini, untuk mengetahui sejauh mana pemahaman masyarakat tentang hubungan pentingnya penggunaan sunscreen dan perubahan iklim yang diikuti oleh 50 responden, menunjukkan bahwa 38% alasan responden menggunakan sunscreen adalah karena kondisi cuaca yang semakin panas. Kondisi cuaca panas tersebut memicu masalah pada kulit mulai dari terbakar, kusam hingga belang serta mengganggu aktivitas sehari-hari. 

Lantas, bagaimana perubahan iklim bisa terjadi? Dalam buku berjudul “Perubahan Iklim dan Kesehatan Masyarakat” yang ditulis oleh Oksfriani J. Sumampouw menguak fakta jika perubahan iklim adalah dampak paling nyata dari industrialisasi.

Gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan oleh aktivitas industri selama berabad-abad lamanya memenuhi atmosfer sehingga memicu peningkatan suhu secara signifikan. Efek GRK sendiri dipicu oleh berbagai aktivitas manusia lainnya seperti alih fungsi hutan menjadi pemukiman, pertambangan, maupun perkebunan, kebakaran hutan dan lahan, hingga menurunnya tingkat keanekaragaman hayati. 

Perubahan iklim sendiri tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga kesehatan manusia. Eko Cahyono dalam jurnalnya yang berjudul “Pengaruh Penipisan Ozon terhadap Kesehatan Manusia” menjelaskan ketika lapisan ozon menipis akibat efek GRK, akan terjadi peningkatan radiasi sinar ultraviolet (UV) ke bumi. Kondisi ini akan memicu berbagai masalah kesehatan mulai dari kanker kulit, katarak, penurunan sistem kekebalan tubuh dan kulit.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Harry Slaper dkk pada tahun 1992 menyebutkan, United Nation Environment Programme (UNEP) memperkirakan jika lapisan ozon berkurang 10 persen, angka kejadian kanker kulit di seluruh dunia akan meningkat 26 persen. Untuk Amerika Serikat saja dalam 50 tahun mendatang (sejak 1992) ada tambahan korban sebanyak 200.000 jiwa, demikian prediksi dari para ahli epidemiologi.

Di Indonesia sendiri berdasar laporan Indonesia Cancer Care Community  terdapat sekitar 6.170 kasus kanker kulit non-melanoma dan 1.392 kasus kanker kulit melanoma pada tahun 2018.

Memahami perubahan iklim adalah upaya mitigasi

Kejadian cuaca ekstrem di tahun-tahun mendatang diprediksi akan terus meningkat diikuti dengan kenaikan temperatur suhu minimal yang lebih tinggi. Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) Gita Syahrani mengungkap alasan pentingnya memiliki pengetahuan tentang sejauh mana dampak perubahan iklim terhadap kesehatan manusia, yang kemudian dapat membantu mengenal upaya mitigasi (pencegahan) seperti apa yang diperlukan.

Menurutnya, penting memahami isu perubahan iklim sebagai upaya mitigasi agar kita dapat membantu kulit beradaptasi di tengah kondisi cuaca ekstrem yang semakin sulit untuk diprediksi. 

“Semakin paham kita terhadap apa yang akan dihadapi  ke depan, baik itu sifatnya gejala-gejala cuaca maupun polusi, debu, dan lain-lain, maka kita akan bisa mengantisipasi tipe produk seperti apa yang kita butuhkan,” terangnya saat diwawancarai melalui Google Meet pada Selasa (26/10/2021).

Hal senada juga disampaikan oleh Ambar, seorang Dermatolog dan Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura. Menurutnya dengan mengenal lebih jauh soal perubahan iklim dan dampaknya terhadap kesehatan pribadi, masyarakat akan semakin memahami perlindungan dan perawatan yang perlu dilakukan.

“Lebih sering mungkin membersihkan wajahnya, tabir surya tetap harus pake. Tapi perawatannya lebih ekstra dibanding tempat yang normal,” ujarnya kala ditemui di Erha Klinik pada Kamis (28/20/2021).

Dalam survei yang penulis lakukan pada Oktober-November 2021 melalui Google Form berhasil menjaring 50 responden anak muda yang terdiri atas 80% perempuan dan 20% laki-laki dengan kelompok usia 15-24 tahun menunjukkan bahwa sebanyak 64% responden mengaku setuju jika perubahan iklim dan penggunaan sunscreen memiliki hubungan yang erat.

Namun, hanya 44% responden yang mampu menjelaskan hubungan seperti apa yang terjadi diantara keduanya. Berdasarkan survei tersebut diketahui jika peningkatan suhu yang terjadi sebagai imbas dari perubahan iklim memaksa mereka untuk selalu menggunakan sunscreen agar terlindung dari bahaya radiasi sinar UV yang dapat merusak kulit. 

Perubahan iklim yang dipicu oleh aktivitas manusia tersebut, dirasakan oleh sebagian besar anak muda dapat mengganggu kenyamanan mereka beraktivitas harian di luar rumah. Apabila suhu semakin meningkat, maka akan semakin mudah mengeluarkan keringat sehingga sunscreen yang digunakan akan luntur.

SPF (Sun Protector Factor) 30 adalah jumlah SPF yang paling banyak digunakan oleh anak muda dengan persentase mencapai 44%. Akan tetapi, di sisi lain peningkatan suhu diterjemahkan oleh anak muda menjadi peningkatan jumlah SPF yang harus mereka gunakan untuk memproteksi kulit. Banyak pula yang mengkhawatirkan biaya skincare yang membengkak akibat cuaca yang semakin ekstrem. 

Namun, penggunaan sunscreen menghadapi dilema lainnya. Kandungan zat kimia serta limbah kemasan menurut mereka berpotensi mencemari lingkungan khususnya ekosistem laut. 

“Saya pernah baca di beberapa artikel kalau beberapa jenis sunscreen memiliki kandungan kimia yang tidak ramah lingkungan dan dapat merusak terumbu karang,” tambah Rian. 

Meski sudah banyak yang sadar pentingnya sunscreen sebagai pelindung di tengah kondisi cuaca yang semakin ekstrem, ada 36% responden yang menjawab tidak mengetahui hubungan dari pentingnya menggunakan sunscreen dan perubahan iklim.

Pentingnya sunscreen untuk melindungi kulit

Penelitian yang dilakukan Willy Eka Prasetya dari Universitas Ngudi Waluyo mengutip rekomendasi World Health Organization (WHO) tentang penggunaan tabir surya sebagai salah satu upaya memproteksi kulit dari paparan sinar matahari.

Berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh Skin Cancer Foundation (2019) juga menunjukkan bahwa penggunaan tabir surya (Sunscreen) adalah metode perlindungan diri dari sinar UV yang paling banyak dicari dan terbukti efektif.

Penggunaan tabir surya secara rutin dapat melindungi kulit dari dampak paparan sinar matahari yang bisa merusak jaringan kulit. Menurut penjelasan Ambar sinar matahari umumnya mengandung radiasi sinar UV A dan UV B yang apabila terkena langsung ke tubuh dalam jangka waktu tertentu dapat memicu kerusakan pada kulit mulai dari kulit terbakar, kemerahan, keriput, flek hitam, penuaan dini, hingga kanker kulit. 

Sinar UV bahkan bisa menembus kaca jendela. Itu sebabnya, penggunaan tabir surya harus rutin dilakukan baik di luar maupun di dalam ruang. Merespon kondisi cuaca ekstrem yang terjadi di Kalimantan Barat, Ambar mengingatkan agar masyarakat jangan sampai lalai dalam menggunakan sunscreen. Sebab, sunscreen bukan hanya diperlukan pada saat cuaca panas saja, tetapi harus tetap rutin digunakan sekalipun di musim penghujan. 

“Harus rutin dipakai sekalipun musim hujan. Karena kalau tidak kulit akan menjadi kusam,” ujarnya.

Untuk pemilihan SPF (Sun Protector Factor), Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura ini  merekomendasikan penggunaan SPF 15 atau 30 bagi masyarakat Asia. Jumlah SPF tersebut sudah cukup untuk melindungi diri dari radiasi sinar UV. Namun, apabila aktivitas di luar ruangan tinggi dianjurkan untuk menggunakan SPF 50 karena lebih mampu melindungi diri. 

Di samping itu, hindari berjemur di bawah sinar matahari terlalu lama. Masyarakat diperbolehkan berjemur 10-15 menit pada pukul 09.00-11.00 dan maksimal 5 menit pada pukul 12.00-14.00. “Itu (berjemur pukul 12.00-14.00) sangat terik sekali, sehingga kalo mau berjemur usahakan jangan jam itu karena efek buruknya lebih banyak,” tambah Ambar.

Artikel ini merupakan bagian dari “Story Grant Peliputan Lingkungan Hidup” yang diadakan Ekuatorial dan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), serta terbit pertama kali di Pontianak Post pada 19 Desember 2021.

About the writer

Mita Anggraini

Native of Ketapang, West Kalimantan, Mita Anggraini became interested in environmental issues in 2015 when forest fire and smog wrought havoc in her neighborhood. Mita is still studying at the Department...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.