Target emisi Indonesia yang telah diperbaharui masih jauh dari pencapaian menekan kenaikan suhu di 1,5 derajat Celcius. Baca liputan Caroline Bulolo.

Rencana Iklim Indonesia yang terbaru, yang dirilis menjelang KTT Iklim COP 27 masih tetap mengikutsertakan batubara dan gagal menyesuaikan perjalanan negeri ini menuju tercapainya pembatasan kenaikan suhu bumi  dibawah 1.5 derajat Celcius. 

Namun, sebuah investasi asing yang besar – Just Energy Transition Partnership (JTEP) – yang diumumkan di KTT G20 di Bali bahwa Indonesia dinilai akan mempercepat transisi jika saja pemerintah menciptakan kebijakan-kebijakan yang tepat, serta target penjualan 15,1 juta kendaraaan listrik dan 18,1 juta tungku listrik untuk tahun 2030.

Dalam rencana iklim nasional yang dikenal sebagai  Kontribusi Nasional yang Ditetapkan (enhanced nationally determined contribution /NDCs) yang diperbaharui, Indonesia hanya sedikit mengubah target gas rumah kaca sebelumnya yang dibuatnya menyusul ratifikasinya Perjanjian Paris tahun 2016. 

Pada tahun 2030, negeri ini sudah akan mengurangi emisinya sebesar 31,9 persen dibandingkan dengan kalau segalanya berjalan seperti biasa. Ini sedikit lebih tinggi dari 29 persen yang dicantumkan dalam rencana tahun 2016.

Apabila Indonesia menerima dukungan finansial internasional yang mencukupi, negeri ini akan mampu menurunkan emisinya sebesar 43, 2 persen dibandingkan dengan 41 persen dalam versi sebelumnya.

NDC tidak memberikan detail mengenai penghentian bertahap pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batubara (PLTU) seperti yang sudah dituntut para pegiat lingkungan selama bertahun-tahun.

Para pengkritik mengatakan bahwa rencana iklim baru ini ‘belum cukup efektif’. 

Menurut sebuah analisis oleh Climate Action Tracker (CAT), target penurunan emisi tanpa syarat Indonesia seharusnya 62 persen agar dapat mendukung pemenuhan target ambisius untuk menjaga kenaikan suhu bumi yang tidak melebihi 1,5 derajat Celcius seperti yang telah disetujui berbagai negara dalam Persetujuan Paris.

Namun, JETP diperkirakan akan memobilisasi dana publik maupun privat sebesar US$20 milyar dalam tiga sampai lima tahun, dan ini akan dapat mendorong Indonesia untuk mencapai target-target baru dan kebijakan-kebijakan yang akan dapat menurunkan emisi, terutama di bidang tenaga listrik.

JETP akan memungkinkan Indonesia untuk memajukan tanggal puncak emisi sektor kelistrikannya sekitar tujuh tahun menjadi ke 2030, dengan mengurangi emisi sebesar 300 megaton di tahun itu dan lebih dari 2.000 megaton di tahun 2060, dibandingkan dengan lintasannya saat ini.  Target Net Zero Indonesia bisa maju sekitar 10 tahun menjadi 2050.

Indonesia juga akan mampu mempercepat penggunaan energi terbarukan, yang akan mengambil porsi paling tidak 34 persen dari tenaga listrik yang dihasilkannya di tahun 2030 sehingga menggandakan target pemasangan energi terbarukannya dalam dasawarsa ini dibandingkan dengan rencana yang ada saat ini.

Penanaman modal JTEP ini akan berjalan cepat. Sebuah pernyataan tertulis bersama Indonesia dan mitra internasionalnya mengatakan mereka akan mengembangkan “rencana penanaman modal komprehensif” dalam waktu enam bulan. 

Andri Prasetiyo, program manager Trend Asia, mengatakan  JETP akan dapat mendorong transisi energi Indonesia tetapi pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang konkrit “karena saat ini kita masih sangat bergantung kepada batubara.”

Batubara masih mendominasi 

NDC Indonesia yang telah diperbaharui meningkatkan target penurunan emisi dari sektor energi menjadi 358 juta ton ekivalen CO2 (MTCO2e), dari target yang ditetapkan tahun 2021 sebesar 314 MTCO2e.

Pengurangan emisi yang lebih tinggi ini dikarenakan target yang lebih tinggi bagi penggunaan energi terbarukan: dari 7.4 GW di tahun 2016 menjadi 20.9 GW. 

Rencana itu juga termasuk memasang panel surya di atap perumahan, bangunan komersial dan industri.

Namun, para pengamat melihat bahwa batubara tetap ada di mana-mana dalam dokumen tersebut, dan menyatakan pemerintah gagal menyelesaikan masalah-masalah mendesak di negara ini. Indonesia masih sangat bergantung pada batubara sebagai sumber energi utama dan juga merupakan salah satu eksportir terbesar di dunia.

Adila Isfandiari, juru kampanye Greenpeace Indonesia untuk iklim dan energi, mengatakan NDC yang terbaru masih tetap memperbolehkan pembakaran batubara untuk membangkitkan paling tidak 30 persen dari kebutuhan listrik Indonesia di tahun 2025 dan 25 persen tahun 2050.

Sementara itu Badan Ilmu Iklim PBB merekomendasikan semua negara untuk mengurangi penggunaan batubara dalam sektor pembangkit tenaga listrik sebesar 80 persen dari tingkat di tahun 2010 pada tahun 2030 dan sama sekali menghilangkannya pada tahun 2040 agar dapat memenuhi target 1,5 derajat Celcius.

Pemerintah berencana menggunakan  “co-firing” atau penggunaan bahan bakar ganda yaitu batubara dan biomassa untuk pembangkit tenaga listriknya yang tadinya menggunakan batubara semata.  Untuk ini akan dibutuhkan sembilan juta ton biomassa per tahunnya,

Sebuah analisis dari IEEFA  menemukan bahwa rencana ini akan memerlukan industri biomassa yang besar dan ini merupakan tantangan besar secara keuangan maupun teknis, terutama dalam memperoleh bahan baku yang bermutu tinggi.

Mencampurkan lima persen biomass hanya akan menurunkan emisi CO2 dari pembangkit tenaga listrik batubara sebesar  3,2 persen menurut beberapa peneliti di Amerika Serikat.

Juga terdapat risiko meningkatnya emisi karbon karena pembukaan lahan untuk membudidayakan tanaman penghasil biomass, proses produksi pelet biomassa dan distribusinya.

Dalam rencana yang sudah diperbaharui itu juga masih terdapat rencana pembangunan sebuah pembangkit tenaga listrik batubara dengan kapasitas 13,8 GW yang akan selesai di tahun 2030.

“Penghentian penggunaan pembangkit tenaga listrik batubara seharusnya dilakukan sedini mungkin untuk memungkinkan pengembangan energi terbarukan. Kita tidak bisa lagi menunggu satu tahun lagi,” ujar Adila.

Penghentian penggunaan batu bara secara bertahap

Namun, NDC yang telah diperbaharui itu juga menyatakan bahwa ia merupakan batu loncatan untuk mencapai perjalanan yang mematuhi target 1,5 derajat Celcius. 

Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan dan Kehutanan, mengatakan: “Kita akan mengajukan NDC kedua di tahun 2024 dan penghentian penggunaan batubara secara bertahap akan kita masukkan ke dalamnya sebagai bagian dari pendekatan langkah kita dalam rangka transisi energi yang adil.”

 JETP nampaknya akan disertakan dalam NDC 2024 sehingga membuat rencana ini lebih ambisius lagi.

Sayangnya, Indonesia tidak banyak menggunakan diplomasinya untuk mendorong isu-isu seperti perubahan iklim atau komitmen iklim yang lebih kuat di negara-negara lainnya.

Yosi Amelia, peneliti hutan dan iklim, Madani Berkelanjutan

Sementara itu,  Laksmi Dhewanthi, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan dan Kehutanan, mengatakan target pengurangan emisi yang diperbaharui dalam NDC itu nanti, mencerminkan berkembangnya kebijakan maupun usaha dalam mengurangi emisi.

Termasuk ke dalamnya, adalah kebijakan domestik kementerian itu yaitu “Net Sink Hutan dan Penggunaan Lahan 2030” (FOLU) yang bertujuan untuk membuat penyerapan CO2 oleh hutan dan lahan melebihi emisi pada akhir dasawarsa ini.

Laksmi tidak memberikan detail mengenai bagaimana pemerintah menghitung angkanya dalam NDC yang diperbaharui itu. Sebaliknya, dalam sebuah pidatonya pada Festival Iklim Indonesia di bulan Oktober, ia merujuk kepada hutan dan penggunaan lahan, serta energi, yang merupakan sektor-sektor  yang mendominasi emisi karbon Indonesia.

Ia juga ikut mengelompokkan sektor limbah, industri dan pertanian ke dalam kelompok yang sama. ​​“Target yang baru juga mencerminkan komitmen kami semenjak COP 26 di Glasgow dan juga menunjukkan kepemimpinan terkait kepresidenan G20 Indonesia sekarang ini,” ujarnya.

Pengaruh global

Indonesia merupakan salah satu penghasil gas rumah kaca dan juga ekonomi berkembang yang terbesar di dunia. Ia menyumbangkan 602,6 juta ton CO2 di tahun 2021. Sebagai pembanding, Cina menghasilkan 11.9 miliar ton.

Adila mengatakan usaha Indonesia untuk meningkatkan target iklimnya memberikan secercah harapan bahwa ini akan dapat diikuti oleh ekonomi-ekonomi yang kuat dan sedang berkembang.

Indonesia merupakan satu dari hanya 24 negara yang telah mengajukan rencana iklim baru atau yang diperbaharui menjelang COP27. Pada COP 26, semua negara sebenarnya telah setuju untuk meninjau kembali dan memperkuat NDC mereka masing masing.

Di penghujung Oktober, Persatuan Bangsa Bangsa mengutuk kegagalan banyak negara beraksi dengan cepat terhadap perubahan iklim, dengan mengatakan bahwa  janji-janji yang ada masih belum mencukupi untuk menyelamatkan planet ini dari bencana iklim yang luar biasa.

Sementara dunia berusaha untuk menekan kurva emisi, diperlukan pengurangan emisi yang lebih banyak agar dapat membatasi kenaikan suhu rata-rata global pada 1,5 derajat Celcius.

Madani Berkelanjutan, sebuah lembaga nirlaba, menganggap target yang diperbaharui itu sebagai “suatu kemajuan” namun menyangsikan apakah ini dapat mempengaruhi negara-negara lainnya, apalagi ekonomi-ekonomi terbesar yang juga penghasil gas rumah kaca terbesar seperti Cina dan Amerika Serikat.

“Sayangnya, Indonesia tidak banyak menggunakan diplomasinya untuk mendorong isu-isu seperti perubahan iklim atau komitmen iklim yang lebih kuat di negara-negara lainnya,” ujar Yosi Amelia, Peneliti Hutan dan Iklim Madani Berkelanjutan.

Yang lebih penting sebenarnya adalah untuk negara-negara kaya memenuhi janji mereka yang belum direalisasikan, untuk memberikan bantuan keuangan sebesar $100 miliar per tahunnya kepada negara-negara miskin pada tahun 2020.

“Jangan kita lupakan bahwa negara-negara kaya juga harus memperkuat ambisi iklim mereka dan mempercepat transfer pengetahuan dan teknologi mereka kepada negara-negara miskin dan berkembang yang memiliki luasan hutan yang besar,” tekannya.

Pengurangan besar dari sektor kehutanan 

Salah satu target pengurangan emisi yang menjanjikan adalah yang terkait kehutanan dan penggunaan lahan. Dengan NDC yang telah diperbaharui, emisi dari sektor ini diharapkan dapat turun dari 647 MTCO2e di tahun 2010 menjadi 214 MTCO2e tahun 2030. 

Dengan bantuan internasional, pemerintah Indonesia percaya dapat membuat emisi yang bahkan negatif, mencapai -15 MTCO2e di tahun 2030. Restorasi lahan gambut dan pembatasan deforestasi diperlukan untuk mencapai tujuan ini.

Yosi menggarisbawahi, anehnya, kuota deforestasi malah ditingkatkan dalam NDC yang telah diperbaharui.  

Dokumen terbaru mengatakan bahwa pemerintah berencana membatasi kehilangan hutan per tahunnya ke 359.000 hektar (dibandingkan dengan 325.000 hektar di tahun 2021) dengan usaha sendiri dan menjadi 175.000 hektar per tahun jika dengan bantuan keuangan.

Diperlukan ambisi yang lebih besar

Adila mengatakan target iklim Indonesia dapat ditingkatkan lagi dan ia mendorong pemerintah agar melupakan batubara dan sebaliknya fokus kepada pengembangan energi terbarukan.

Sementara itu, Yosi mengatakan pengurangan emisi di sektor kehutanan dapat ditingkatkan lagi. “Indonesia harus lebih optimis mengenai pengurangan kuota deforestasinya, mengingat laju deforestasi sudah berhasil dikurangi dalam beberapa tahun belakangan.”

Yosi menambahkan bahwa pemerintah harus mampu memfokuskan upayanya pada pemenuhan target dengan dukungan berbagai kolaborasi internasional, termasuk REDD+ RBP, Dana BioCarbon Bank Dunia,  Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), dan dibuka kembalinya kerjasama bilateral dengan Norwegia.

Herry Purnomo, ilmuwan senior Center for International Forestry Research (CIFOR), mengatakan “Juga penting dicatat bahwa target-target ini dan realisasinya dimonitor secara tepat dan dapat diverifikasi dengan cara yang transparan.”

Liputan ini pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Inggris oleh China Dialogue pada tanggal 19 Desember 2022.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.