Kota Pekalongan merupakan satu dari sembilan kabupaten/kota endemis filariasis di Jawa Tengah. Kepatuhan warga serta faktor lingkungan berperan besar dalam upaya pencegahan penularan penyakit ini.

Haryanto (67), bukan nama sebenarnya, seorang petani di Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan, tidak menyangka jika ia terjangkit filariasis atau penyakit kaki gajah. Ia tidak pernah merasakan gejala apapun. Sehingga setiap hari, ia berangkat ke Kelurahan Kuripan Kertoharjo untuk menggarap sawahnya. 

Hingga suatu hari pada 2019,  Haryanto beserta istri, anaknya dan warga lainnya harus menjalani tes darah jari yang dilaksanakan oleh Puskesmas Jenggot. Hasilnya, dalam darah Haryanto mengandung anak cacing filaria (microfilaria). Sementara, istri dan anaknya hasilnya negatif.  

“Petugas mengatakan kalau saya bergejala kaki gajah. Kata petugas, agar kaki saya tidak membesar, bisa diobati selama sepuluh hari. ‘Bapak mau apa tidak diberi obat?’ Karena hanya minum obat ya saya mau,” kata Haryanto didampingi istrinya. 

Selama sepuluh hari, Haryanto rutin minum obat yang diberikan petugas puskesmas, yakni diethylcarbamazine (DEC). Setiap hari, petugas datang ke rumahnya mengantarkan obat. “Meskipun saya tidak merasakan gejala apa-apa, namun saya selalu minum obat yang diberikan petugas. Karena saya tidak ingin kaki saya membesar,” sambungnya. 

Sementara itu, Rochmat (57, bukan nama sebenarnya), belum pernah sekalipun minum obat pencegahan filariasis. Padahal, berdasarkan hasil tes darah jari yang dilakukan padanya, di dalam darahnya juga mengandung microfilaria. 

Di sela-sela menyiapkan minuman yang akan dijualnya, Rochmat mengatakan beberapa kali petugas Puskesmas Jenggot datang ke rumahnya mengantarkan obat untuk diminumnya. Namun, ia selalu menolak minum obat yang diberikan dengan alasan tidak merasakan sakit atau gejala apapun. 

“Saya tidak merasa sakit, kok disuruh minum obat. Saya tidak mau. Saya selalu menjaga kesehatan dengan rutin minum jamu setiap hari. Bahan-bahannya saya beli di pasar,” ujarnya.  

Kepala Puskesmas Jenggot Dian Hatmitasari mengatakan, pengobatan bagi pasien filariasis bertujuan untuk mencegah infeksi bertambah buruk dan menghindari komplikasi filariasis. Dengan minum obat-obatan, cacing penyebab kaki gajah akan mati. Sehingga pembengkakan kelenjar getah bening mereda dan aliran getah bening kembali lancar. 

Filariasis limfatik, umumnya dikenal sebagai kaki gajah, adalah salah satu penyakit tropis terabaikan (neglected tropical disease) yang ada di Indonesia, selain kusta, skistosomiasis dan leishmaniasis viseral.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 94 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Filariasis, filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit ini dapat merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae, scrotum dan menimbulkan cacat seumur hidup. 

Filariasis juga merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular dengan perantaraan nyamuk. Zoonosis adalah penyakit menular yang berpindah dari hewan, bukan manusia ke manusia. Patogen zoonosis mungkin bakteri, virus atau parasit, atau mungkin melibatkan agen yang tidak konvensional dan dapat menyebar ke manusia melalui kontak langsung atau melalui makanan, air atau lingkungan. 

Penyakit kaki gajah disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Infeksi terjadi ketika parasit filaria ditularkan ke manusia melalui nyamuk. World Health Organization (WHO) menyebutkan ada tiga jenis cacing filaria yang menyebabkan filariasis. Yakni Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori.  

Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono menjelaskan jenis nyamuk yang dapat menularkan filariasis. “Semua jenis nyamuk bisa menularkan filariasis,  aedes, anopheles, culex, mansonia, dan armigeres,” terangnya. 

Terdapat 23 spesies nyamuk dari lima genus yang menjadi vektor filariasis. Tempat-tempat yang dapat menjadi perindukan nyamuk penular filariasis di antaranya tempat-tempat teduh, seperti semak-semak dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang gelap. Selain itu genangan air kotor. “Di wilayah pantai juga banyak nyamuk anopheles dan aedes,” sambung Tri Yunis. 

Seseorang dapat tertular filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan  nyamuk yang mengandung larva stadium tiga (L3). Larva L3 berkembang menjadi cacing dewasa (makrofilaria). Cacing dewasa hidup dalam sistem limfatik manusia dan menghasilkan ribuan anak cacing (mikrofilaria).  

Anak cacing yang berada di peredaran darah tepi akan terhisap oleh nyamuk. Mikrofilaria masuk ke dalam tubuh nyamuk selama proses menghisap darah, berkembang di dalam tubuh nyamuk, dan ditularkan ketika nyamuk yang terinfeksi menggigit inang manusia lain. 

Infeksi penyakit kaki gajah dapat menimbulkan gejala klinis, tanpa gejala klinis ataupun muncul sebagai satu atau lebih manifestasi akut seperti demam, pembengkakan pada tungkai atau lengan, sindrom eosinofilia paru tropis dan limfangitis. Sebagian besar infeksi tidak menunjukkan gejala dan tidak menunjukkan tanda-tanda eksternal infeksi.  

Apabila tidak mendapat pengobatan, penyakit kaki gajah dapat menjadi kronis dan menyebabkan lymphoedema (elephantiasis) pada anggota badan tertentu, kerusakan pada skrotum pada pria, kerusakan pada ginjal dan kerusakan pada sistem limfatik.  

Baca juga: Perubahan iklim berpotensi meningkatkan risiko dan penyebaran penyakit kaki gajah

Eendemis filariasis 

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, di Indonesia terdapat  236 kabupaten/ kota endemis filariasis yang tersebar di 28 provinsi. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, jumlah kasus kronis kaki gajah di Indonesia cenderung turun. Tahun 2014 sebanyak 14.932, 2015 sebanyak 13.032, 2016 sebanyak 13.009, tahun 2017 12.667 dan 2018 sebanyak 10.681.

Kota Pekalongan merupakan satu dari sembilan kabupaten/ kota endemis filariasis di Provinsi Jawa Tengah. Dari 27 kelurahan di Kota Pekalongan, 12 di antaranya endemis filariasis. Sejak ditemukan tahun 2004 hingga 2020, tercatat ada 455 kasus klinis dan 41 kasus kronis filariasis. Berdasarkan keterangan kader kesehatan di kelurahan-kelurahan endemis filariasis, hingga saat ini sudah tidak ada kasus kronis karena penderita kronis filariasis sudah meninggal. 

Untuk menghentikan penularan filariasis, Kota Pekalongan melaksanakan Pemberian Obat Pencegahan secara Massal (POPM) Filariasis. POPM Filariasis adalah pemberian obat secara serentak kepada semua penduduk sasaran (usia 2 tahun hingga 70 tahun) di wilayah endemis filariasis.

Mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 94 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Filariasis, kabupaten/kota dinyatakan endemis filariasis apabila angka mikrofilaria di daerah tersebut sebesar 1 persen atau lebih.  

POPM Filariasis bertujuan untuk menginterupsi transmisi dengan mengirimkan kombinasi  obat-obatan untuk seluruh populasi berisiko. Selain itu juga untuk mengelola morbiditas dan mencegah kecacatan.  

Dalam buku Panduan POPM Filariasis dijelaskan, pemberian obat massal bersamaan dapat mematikan semua mikrofilaria yang ada di dalam darah setiap penduduk dalam waktu bersamaan. Selain itu dapat mencegah makrofilaria (cacing filaria dewasa) menghasilkan mikrofilaria baru, sehingga rantai penularan filariasis dapat diputus. 

Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekalongan Slamet Budiyanto mengatakan, Kota Pekalongan telah melaksanakan POPM filariasis selama tujuh tahun. Yaitu tahun 2011 hingga 2015, kemudian diulang pada tahun 2017 dan 2018.  

Namun, POPM selama tujuh tahun tersebut dianggap gagal karena berdasarkan evaluasi  WHO dan Kementerian Kesehatan, angka microfilaria (microfilaria rate) di Kota Pekalongan masih lebih dari 1 persen. Sehingga Kota Pekalongan masih endemis filariasis. “Kota Pekalongan harus mengulangi lagi POPM Filariasis dua tahun berturut-turut, tahun 2021 dan 2022,” jelas Slamet. 

Slamet melanjutkan, pada tahun 2014, Kementerian Kesehatan melakukan survei darah jari terhadap 381 warga Kertoharjo,  Kelurahan Kuripan Kertoharjo. Survei ini untuk mendeteksi cacing filaria pada warga. “Hasilnya, microfilaria rate mencapai 9,71 persen. Dari 381 orang yang disurvei, 37 orang positif microfilaria,” terangnya. 

Setahun kemudian dilakukan survei darah jari lagi di empat kelurahan. Dua kelurahan masih menunjukkan angka microfilaria lebih dari 1 persen. Di Kelurahan Kuripan Kertoharjo, dari 210 orang yang disurvei, empat orang positif microfilaria (1,9 persen), dan di Kelurahan Jenggot, dari 300 orang, tiga di antaranya positif microfilaria (1 persen).  

Kota Pekalongan harus mengulang POPM Filariasis selama dua tahun, 2017 dan 2018 karena masih ada kelurahan yang endemis. Namun, pengulangan POPM Filariasis selama dua tahun tersebut masih belum bisa memusnahkan filariasis. Kota Pekalongan masih berada dalam kategori endemis filariasis karena berdasarkan survei darah jari di sejumlah kelurahan pada tahun 2018, angka microfilaria masih lebih dari 1 persen.  

Di Kelurahan Kuripan Kertoharjo, dari 49 orang yang dilakukan survei darah jari, tujuh di antaranya positif microfilaria (14,28 persen), di Kelurahan Jenggot ada lima orang positif microfilaria dari 315 yang disurvei (1,58 persen). Sedangkan di Kelurahan Sapuro Kebulen, dari 332 orang yang disurvei, satu orang positif filaria (0,3 persen). Karena masih ada kelurahan yang angka microfilarianya di atas 1 persen, Kota Pekalongan harus mengulangi lagi pengobatan massal selama dua tahun, 2021 dan 2022.  

POPM Filariasis tahun ini sudah dimulai sejak Jumat (12/11). Menurut Budiyanto, POPM tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena menggunakan tiga jenis obat, Ivermectin, DEC dan albendazole (IDA). Sementara POPM sebelumnya hanya menggunakan DEC dan albendazole. Pada POPM Filariasis tahun ini, sebanyak 201.253 warga menjadi sasaran pemberian obat. Anggaran yang dialokasikan untuk pelaksanaan POPM sebesar Rp 861,607 juta. 

Kepatuhan warga 

Efektivitas pemberian obat massal dalam mengurangi prevalensi mikrofilaria di masyarakat berhubungan langsung dengan cakupan pengobatan. Menurut Budiyanto, selama tujuh tahun pelaksanaaan POPM Filariasis, cakupan warga yang minum obat masih rendah, hanya 60 persen hingga 63 persen. Sementara berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 94 Tahun 2014, cakupan minum obat minimal 65 persen dari penduduk sasaran. 

Beberapa warga yang tinggal di kelurahan endemis filariasis patuh minum obat untuk mencegah penularan. “Saya selalu minum obat yang diberikan. Semoga tidak tertular penyakit kaki gajah,” kata Umi Hani (48), warga Kuripan Kertoharjo saat mendatangi pos pelayanan POPM filariasis di Posyandu Melati IV Kertoharjo, Kelurahan Kuripan Kertoharjo, Jumat (12/11). 

Siti Solikhah (40), warga Kuripan Kertoharjo, mengatakan, ia dan anak-anaknya juga selalu minum obat pencegahan filariasis pada pengobatan massal pencegahan filariasis. “Saya selalu minum obat yang diberikan karena lingkungan sini endemis,” kata dia. 

Senada disampaikan Casmurah (55). Ia juga selalu minum obat pada pengobatan massal pencegahan filariasis. “Penyakit ini bisa membuat kaki membesar seperti kaki gajah. Saya tidak ingin keluarga saya seperti itu. Untuk mencegahnya, saya sekeluarga selalu minum obat agar terhindar dari penyakit ini,” terangnya. 

Solikhah dan Casmurah menerima informasi tentang filariasis dari kader kesehatan di Kuripan Kertoharjo. Menurut Casmurah, sosialisasi tentang filariasis biasanya disampaikan kader kesehatan pada perkumpulan dan arisan rutin warga yang digelar sebulan sekali. Kemudian menjelang pelaksanaan POPM Filariasis, kader kesehatan maupun kader filariasis akan mendatangi rumah warga untuk pendataan sekaligus sosialisasi. 

Selain informasi tentang bahaya filariasis, mereka juga mendapatkan informasi tentang pencegahannya. “Untuk mencegah penularan, selain minum obat, juga harus rajin membersihkan rumah dan lingkungan sekitar. Kaleng-kaleng yang ada di luar rumah jangan sampai digenangi air. Kemudian bak kamar mandi harus sering dikuras agar tidak ada jentik nyamuk,” papar Casmurah. 

Namun, beberapa warga menolak minum obat pencegahan filariasis. “Saya tidak terbiasa minum obat. Lagipula, saya tidak sakit. Kalau pun saya sakit, saya minum jamu,” kata Slamet, warga Kelurahan Kuripan Kertoharjo. 

Para kader kesehatan melakukan berbagai upaya agar warga mau minum obat yang dibagikan. Di Kota Pekalongan terdapat 340 RW. Di masing-masing RW terdapat lima hingga enam orang kader kesehatan. 

Musarotun, salah seorang kader kesehatan di Kelurahan Kuripan Kertoharjo mengatakan, ia dan kader kesehatan di RW 09 Kuripan Kertoharjo selalu menyosialisasikan tentang filariasis kepada warga. “Saat kami melakukan pendataan, kami datangi rumah-rumah warga. Kami menyosialisasikan tentang filariasis dan upaya pencegahannya, salah satunya dengan minum obat,” terangnya. 

Upaya lainnya dilakukan dengan mendatangi kelompok pengajian. “Saya melakukan sosialisasi dan membagikan obat untuk diminum bersama-sama. Kalau minumnya bersama-sama, warga mau minum obat,” kata Izzati, kader kesehatan Kelurahan Jenggot.   

Penyakit ini bisa membuat kaki membesar seperti kaki gajah. Saya tidak ingin keluarga saya seperti itu. Untuk mencegahnya, saya sekeluarga selalu minum obat agar terhindari dari penyakit ini.

Casmurah, warga Kuripan Kertoharjo

Tri Yunis mengatakan, satu-satunya cara untuk memutus rantai penularan filariasis adalah minum obat pencegahan filariasis. “Minum obat tiga kali saja, orang yang dalam darahnya mengandung parasit, sudah hilang parasitnya. Kalau tidak minum obat, dia akan mengandung parasit seumur hidup dan akan menularkannya kepada orang lain sehingga akan bertambah orang yang terinfeksi filariasis,” paparnya. 

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Anies mengatakan, rendahnya tingkat kepatuhan warga minum obat pencegahan filariasis dikarenakan ketidaktahuan dan ketidakpedulian warga terhadap penyakit ini.  

“Filariasis bukanlah penyakit yang akut yang langsung bisa dirasakan. Sehingga masyarakat tidak takut dan tidak peduli. Berbeda dengan Covid-19 yang langsung bisa dirasakan. Kalau filariasis ini kronis (bersifat menahun), tahu-tahu, kakinya seperti kaki gajah,” terangnya. 

Menurutnya, perlu dilakukan sosialisasi dan advokasi terus menerus kepada warga yang tidak mengerti maupun warga yang mengerti, namun tidak peduli. Sosialisasi tidak hanya dilakukan oleh petugas kesehatan, tetapi bisa melibatkan tokoh masyarakat maupun tokoh agama. Sosialisasi bisa dilakukan melalui majelis taklim ataupun ceramah-ceramah keagamaan. 

Anies mengatakan, untuk mencegah penularan, dapat dilakukan dengan menghindari faktor pemicu, seperti menghindari gigitan nyamuk dengan menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal. Selain itu membersihkan genangan air atau pot-pot yang berpotensi menjadi sarang nyamuk.  

“Mengenakan pakaian yang tertutup ketika melakukan aktivitas pada daerah endemik atau di luar ruangan yang berisiko terpapar gigitan nyamuk. Tidak ada salahnya untuk rajin mengoleskan lotion anti nyamuk ketika melakukan kegiatan di luar ruangan,” paparnya.

Versi sebelumnya dari liputan ini terbit di Suara Merdeka pada tanggal 3 Februari 2022. Liputan ini didukung oleh Internews’ Earth Journalism Network.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.