Warga Pekalongan membersihkan lingkungan dari tempat-tempat potensial pengembangbiakkan nyamuk untuk mengurangi resiko penyebaran filariasis.

Nurul Huda (50), warga RT 02/ RW 09 Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan, keluar rumah sambil menenteng cangkul dan sabit, Jumat (21/1). Sebulan sekali setiap Jumat pahing (kalender Jawa), ia dan warga lainnya dijadwalkan  bergotong royong membersihkan daerah-daerah potensial perkembangbiakan nyamuk di sekitar mereka. 

“Warga bergotong royong membersihkan lingkungan merupakan kegiatan rutin yang kami lakukan sebulan sekali setiap hari Jumat. Kami membersihkan tempat-tempat yang berpotensi menjadi sarang nyamuk,” kata Huda yang menjabat sebagai Ketua RT 02/ RW 09 Kelurahan Jenggot.  

Ia dan para tetangganya mewaspadai penularan filariasis. Karena Kelurahan Jenggot merupakan salah satu dari dua belas kelurahan endemis filariasis di Kota Pekalongan.

Filariasis limfatik atau yang lebih dikenal dengan penyakit kaki gajah merupakan salah satu penyakit tropis yang terabaikan di Indonesia selain penyakit kusta, schistosomiasis dan visceral leishmaniasis. 

Menteri Kesehatan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 94 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Filariasis menguraikan, filariasis merupakan penyakit menular kronis yang disebabkan oleh cacing filaria yang menginfeksi kelenjar getah bening. Filariasis dapat merusak sistem limfatik, menyebabkan pembengkakan pada tangan, kaki, kelenjar susu, dan skrotum. Oleh karena itu, menyebabkan cacat seumur hidup. 

Kota Pekalongan merupakan salah satu dari sembilan kabupaten/kota endemis filariasis di Provinsi Jawa Tengah. Sejak ditemukan pada 2004 hingga 2020, terdapat 455 kasus klinis dan 41 kasus kronis filariasis di Kota Pekalongan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 94 Tahun 2014, kabupaten/kota dinyatakan endemis filariasis apabila angka mikrofilaria di daerah tersebut 1% atau lebih. 

Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekalongan Slamet Budiyanto mengatakan, seseorang dapat tertular filariasis jika digigit nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung jentik stadium tiga (L3). “Nyamuk terinfeksi mikrofilaria dengan menelan darah saat menggigit inang yang terinfeksi,” katanya. 

Filariasis juga digambarkan sebagai penyakit zoonosis yang ditularkan melalui vektor. Zoonosis adalah penyakit atau infeksi yang secara alami dapat ditularkan dari hewan vertebrata ke manusia. Patogen zoonosis mungkin bakteri, virus atau parasit, atau mungkin melibatkan agen yang tidak konvensional dan dapat menyebar ke manusia melalui kontak langsung atau melalui makanan, air atau lingkungan 

Filariasis disebabkan oleh infeksi parasit yang diklasifikasikan sebagai nematoda (cacing gelang) dari famili Filariodidea. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan ada tiga jenis cacing filaria penyebab filariasis: Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Infeksi terjadi ketika parasit filaria ditularkan ke manusia melalui nyamuk yang berperan sebagai vektor. 

Sudah jelas dan menjadi risiko sekarang, dengan perubahan iklim, jumlah nyamuk diperkirakan akan meningkat-dan dengan itu, timbulnya penyakit zoonosis ini. 

Perubahan iklim meningkatkan risiko  

Perubahan iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan masyarakat. Perubahan iklim berpotensi meningkatkan penularan penyakit tular vektor karena berkaitan dengan suhu, kelembaban, dan curah hujan yang semuanya mempengaruhi populasi nyamuk. 

Beberapa penelitian menunjukkan, perubahan iklim berpotensi meningkatkan penularan penyakit yang ditularkan nyamuk seperti filariasis. Salah satu penelitian tersebut dilakukan oleh Sudarso dari Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya.  

Penelitian yang berjudul “Perubahan Iklim dan Pengaruhnya terhadap Peningkatan Masalah Kesehatan” ini diterbitkan dalam Damianus Journal of Medicine pada Februari 2010. 

Hasil penelitian menemukan bahwa perubahan iklim seperti peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi yang mempengaruhi curah hujan dan tingkat kelembaban juga dapat mempengaruhi wabah penyakit tular vektor (vector-borne diseases). 

“Peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi hingga tahun 2100 berdampak pada peningkatan penularan penyakit tular vektor. Nyamuk merupakan vektor penyebab banyak penyakit di Indonesia, terutama malaria, demam berdarah, dan filariasis,” jelasnya. 

Menurut Sudarso, nyamuk cepat beradaptasi dengan perubahan iklim. Nyamuk dapat menyebar luas dan berkembang biak dengan relatif cepat, terutama di daerah baru (penyebaran aktif). Selain itu, nyamuk dapat menyebar luas melalui transportasi manusia, termasuk antar benua, seperti Ae. albopictus yang menempel di roda mobil (penyebaran pasif). Hal ini yang membuat area penyebaran filariasis meluas karena pergerakan Ae. Albopictus. 

Risqa Novita, peneliti dari Puslitbang Biomedik dan Teknologi Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan, menyampaikan hal yang sama dalam penelitiannya yang berjudul “Dampak Perubahan Iklim terhadap Munculnya Penyakit Tular Vektor Nyamuk, terutama Filariasis ”. Penelitian ini dipublikasikan dalam Journal of Health Epidemiology and Communicable Diseases pada Juni 2019. 

Studi ini menemukan bahwa perubahan iklim mempengaruhi siklus hidup nyamuk dan intensitas gigitan nyamuk. Ini karena nyamuk bersifat ektotermik, yang berarti suhu tubuhnya bergantung pada suhu lingkungan. 

“Kenaikan suhu akan mempercepat proses berkembangnya jentik nyamuk menjadi dewasa. Perubahan iklim juga akan mempercepat nyamuk betina dewasa mencerna darah yang dihisap sehingga intensitas gigitannya akan lebih tinggi. Hal ini meningkatkan frekuensi penularan penyakit,” jelasnya. 

Menurutnya, temperatur lingkungan yang dianggap kondusif berkisar antara 25-30 derajat celcius dan kelembaban udara 60-80 persen. Temperatur 33,5 derajat celcius dan presipitasi sebesar 650 mm optimal untuk peningkatan kasus penyakit infeksius yang ditularkan melalui nyamuk. Presipitasi adalah curah hujan yang jatuh ke bumi dan membentuk kubangan air.

Kubangan air dibutuhkan untuk tahapan perkembangan nyamuk yang berhubungan dengan kelembaban. Hal tersebut mempengaruhi daya tahan nyamuk. 

Risqa menjelaskan, perubahan iklim saat ini dapat meningkatkan kasus filariasis karena nyamuk yang berpotensi diidentifikasi sebagai vektor filariasis berasal dari empat genus yang berbeda, yaitu Aedes, Culex, Anopheles, dan Mansonia.  

“Perubahan iklim berdampak pada naiknya permukaan air laut yang dapat meningkatkan salinitas air. Beberapa nyamuk seperti Aedes sp dan Anopheles sp toleran terhadap air asin,” lanjutnya. 

Jenis nyamuk lainnya yang dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim adalah Culex sp. Menurutnya, perkembangbiakan Culex sp meningkat seiring dengan peningkatan temperatur air.

Temperatur yang tinggi di daerah perkotaan memacu musim perkembangbiakan nyamuk dengan meningkakan siklus reproduksi, memperpanjang musim kawin nyamuk dan berinteraksi dengan inangnya. Hal ini akan mempercepat terjadinya wabah penyakit. 

Peningkatan temperatur juga mempengaruhi perubahan bionomik atau perilaku menghisap dari populasi nyamuk. Angka hisapan rata-rata meningkat, kegiatan reproduksi nyamuk berubah ditandai dengan perkembangbiakan nyamuk yang semakin cepat dan masa kematangan parasit filaria dalam tubuh nyamuk akan semakin pendek. 

Risqa juga menyebutkan, terdapat hubungan antara tingginya curah hujan dengan daya tahan hidup nyamuk Mansonia yang juga berperan sebagai vektor Limfatik Filariasis. Spesies Mansonia terutama Ma. annulate memiliki peluang hidup yang lebih tinggi yaitu 37,23 hari pada Bulan Desember yang memiliki curah hujan tertinggi sepanjang tahun 119,00 mm/hari. 

Upaya komunitas 

Untuk saat ini, warga terus melakukan berbagai upaya yang bisa dilakukan untuk mengendalikan populasi nyamuk. Gotong royong membersihkan lingkungan merupakan salah satu upaya masyarakat untuk melindungi warga dari penularan filariasis. 

Berkat kader kesehatan dan petugas puskesmas, Huda dan tetangganya mengetahui perlunya pemberantasan sarang nyamuk untuk mencegah penyakit filariasis. Gotong royong membersihkan lingkungan dan pemberantasan sarang nyamuk telah dilakukan warga sejak 2015, saat Huda menjadi Ketua RT. Ketua RT sebelumnya juga melaksanakan hal yang sama. 

Menurut Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, perlu adanya pemutusan rantai penularan filariasis dan perbaikan lingkungan selain pemberian obat massal untuk eliminasi filariasis, terutama mengingat peningkatan risiko dengan suhu yang memanas.  

“Hilangkan sarang-sarang nyamuk di dalam rumah maupun di sekitar rumah. Limbah harus ditangani dengan benar, jangan sampai menimbulkan genangan. Buang genangan air tempat nyamuk bertelur karena genangan air bisa menjadi tempat berkembang biak nyamuk yang dapat meningkatkan populasi nyamuk,” kata dia. 

Menurut Tri Yunis, nyamuk diperkirakan meningkat 20 kali lipat akibat perubahan iklim. Untuk itu, kata dia, masyarakat dapat berperan dalam membersihkan lingkungan agar nyamuk tidak berkembang biak. “Jika tidak ada perbaikan lingkungan, dengan jumlah nyamuk yang meningkat dan nyamuk berkembang biak, maka dapat meningkatkan penularan filariasis,” tambahnya. 

Sementara itu, menurut Risqa, untuk mencegah meningkatnya jumlah kasus filariasis akibat perubahan iklim, masyarakat perlu mengembangkan pola hidup sehat dan membudayakan gerakan 3M (menguras, menutup dan mengubur) untuk menyingkirkan segala potensi yang ada sebagai tempat berkembang biak nyamuk seperti yang dilakukan Huda dan warga di lingkungan tempat tinggalnya.

Upaya tersebut antara lain menguras bak mandi, menutup tempat penampungan air, dan mengubur barang-barang bekas yang berpotensi menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk perantara penyakit filariasis. 

Pendekatan One Health 

Pemberian Obat Pencegahan secara Massal (POPM) Filariasis adalah pemberian obat secara serentak kepada seluruh populasi sasaran (usia 2 tahun sampai dengan 70 tahun) di daerah endemis filariasis.  

Berdasarkan Buku “Panduan POPM Filariasis” yang diterbitkan Kementerian Kesehatan tahun 2019, POPM filariasis bertujuan untuk memutus penularan dengan mengirimkan obat kombinasi kepada seluruh penduduk yang berisiko terkena filariasis. Selanjutnya, untuk mengelola morbiditas dan mencegah kecacatan.  

Baca juga: Bertahun-tahun pengobatan massal dijalankan, ‘Kaki Gajah’ di Pekalongan masih merajalela

Pada tahun 2021, sebanyak 201.253 penduduk Kota Pekalongan menjadi sasaran POPM Filariasis. Warga berusia 5 tahun-70 tahun menerima tiga jenis obat, ivermectin, diethylcarbamazine (DEC) dan albendazole. Sedangkan balita (usia 2 tahun-4 tahun) mendapat DEC dan albendazol. Anggaran yang dialokasikan untuk pelaksanaan MDA pada tahun 2021 adalah sebesar Rp861.607 juta. 

Tapi, itu saja tidak cukup. Untuk mengatasi penyakit ini diperlukan kerja sama multi sektor yang kuat dengan pendekatan One Health dari berbagai bidang terkait seperti kesehatan hewan, kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan. One Health adalah pendekatan koordinasi komunikasi, kolaboratif, multisektoral dan transdisipliner dengan tujuan untuk mencapai hasil kesehatan yang optimal dengan mengenali keterkaitan antara manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan secara bersama-sama. 

“Pemberantasan nyamuk dan pengendalian nyamuk merupakan upaya dengan konsep One Health. Konsepnya adalah kesehatan yang terintegrasi antara kesehatan manusia, kesehatan lingkungan, kesehatan flora, dan kesehatan fauna,” jelas Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.

Sementara itu, dalam buku “Filariasis Limfatik: Buku Pegangan Entomologi Praktis Program Nasional Eliminasi Filariasis Limfatik” yang diterbitkan WHO pada tahun 2013, dijelaskan bahwa pengendalian vektor dapat berperan penting dalam pemberantasan penyakit filariasis. 

Filariasis ditularkan ketika mikrofilaria beredar dalam darah manusia yang terinfeksi dihisap oleh nyamuk. Mikrofilaria berkembang menjadi stadium larva yang infektif. Ketika nyamuk menggigit manusia, larva infektif bermigrasi ke sistem getah bening dan cacing dewasa berkembang. Oleh karena itu, penularan dapat dihentikan dengan membunuh cacing dewasa, membunuh mikrofilaria atau dengan membunuh vektor nyamuk untuk mencegah mereka menggigit manusia. 

Pengendalian vektor dapat memainkan peran pelengkap dalam menghilangkan filariasis dalam dua tahap. Pertama, selama pemberian obat massal. Pengendalian vektor akan melengkapi pengurangan kepadatan dan prevalensi mikrofilaria dengan secara aktif mengurangi penularan oleh nyamuk. Kedua, selama surveilans, dengan mencegah kekambuhan atau infeksi baru setelah penularan terputus. 

WHO menyebutkan beberapa metode pengendalian vektor untuk eliminasi filariasis yang dapat mengurangi penularan filariasis dengan mengganggu tahapan siklus hidup nyamuk, termasuk penyemprotan residu di dalam ruangan. Selain itu, masyarakat dapat menggunakan pelindung di rumah, seperti tirai, penutup dinding, dan insektisida rumah tangga. 

Slamet Budiyanto mengatakan, selain POPM Filariasis, Dinas Kesehatan Kota Pekalongan juga melakukan fogging untuk pengendalian vektor. Fogging dilakukan di kelurahan-kelurahan endemis filariasis. Menurutnya, fogging yang dilakukan tidak akan membahayakan manusia. 

“Fogging dilakukan sebelum dan sesudah pelaksanaan pemberian obat massal filariasis. Pemberian obat massal untuk membunuh cacing di dalam tubuh manusia, sedangkan fogging dilakukan untuk membunuh vektor penular filariasis,” jelasnya.

Versi sebelumnya dari liputan ini terbit di Suara Merdeka pada tanggal 15 Februari 2022. Liputan ini didukung oleh Internews’ Earth Journalism Network.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.