Lily Mangundap cemas. Langkah kakinya terasa diimpit. Tiap kali keluar rumah dan melihat ke bukit di belakang permukimannya, amarahnya terus membatin. Bukit yang dulu lebat dengan tanaman kelapa dan jambu monyet, kini terkelupas, berganti dengan bangunan megah beserta sarana pendukung industri tambang.
Sudah tiga tahun Lily tak lagi berkebun. Lahan yang jadi sumber penghidupannya lenyap, dan berubah menjadi Kawasan Industri Pulau Obi yang mengelola bijih nikel sebagai bahan baku baterai untuk kendaraan listrik.
“Kelapa itu baru pica daun, dong [perusahaan] so gusur,” kata Lily, matanya berkaca, “Sejak [lahan kebun] digusur, saya rasa tara berdaya. Pahit model makan salak mantah. Sakit. Hati sakit.”
Perempuan 46 tahun ini geram, tapi tak bisa berbuat banyak. Disakiti, tapi tak berdaya. Semua ia serahkan kepada Tuhan: jalan iman yang ia yakini bisa memulihkan batin yang perih dan mencerahkan yang musyrik.
Lily lahir di Wayaloar, tapi besar di Ocimaloleo, salah satu desa di Pulau Obi bagian selatan, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Orang tuanya berdarah campuran. Ibunya etnis Tobelo-Galela di Halmahera. Sedang bapaknya berasal dari Manado, Sulawesi Utara, tapi peranakan China.
Lily telah menikah dua kali. Suami pertamanya dari Manado. Anak mereka tiga. Setelah pisah ranjang, tahun 2010, ia lalu menikah dengan Andrias Datang, warga Desa Kawasi, Kecamatan Obi. Dengan Andrias, keduanya dikarunia seorang anak perempuan. Agnes namanya.
Di Kawasi, Andrias punya lahan waris yang diolah sejak tahun 1982, tapi ditinggalkan sejak kekerasan sektarian pada medio 1999-2000.
Pasca-konflik, Andrias mengajak Lily menggarap kembali lahan seluas 33 hektare di belakang permukiman itu. Keduanya banting tulang mengumpulkan uang. Mengupah tenaga warga untuk membersihkan lahan, membeli bibit, dan sedikit demi sedikit menanam 4 ribu kelapa dan 20 ribu jambu monyet.
Tanah di sana tidak cocok ditanami pala dan cengkeh, dua rempah yang lazim ditemui di wilayah Kepulauan Maluku lainnya. Tekstur tanahnya berwarna cokelat kemerah-merahan. Andrias sudah pernah mencoba menanam, tapi gagal.
Dari kebun itu mereka berharap kebutuhan hidup sehari-hari dan masa depan anak-anak bisa terpenuhi. Apa daya, harapan sirna. Yang ditanam kelapa dan jambu, yang dituai justru kepedihan. Ekskavator perusahaan melahap habis lahan kebun di medio 2017-2018 tanpa ganti rugi.
Lily menghela napas panjang. Walau emosi, nada bicaranya tetap datar.
Penggusuran paksa lahan Lily dan warga bermula dari perluasan konsesi PT Trimegah Bangun Persada, anak usaha Harita Group untuk pembangunan pabrik pengolahan (smelter) nikel. Lima warga lain pemilik lahan di sekitar kebun Lily juga ikut tergusur.
Setelah digusur, baru negosiasi harga. Begitu pola perusahaan menyerobot lahan warga, kata Lily.
Sementara, tanah tidak diakui sebagai hak kepemilikan atas lahan, melainkan diklaim sebagai tanah milik negara. Imbasnya, perusahaan hanya ganti rugi tanaman jambu berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Halmahera Selatan Nomor 117 Tahun 2017.
SK hanya mengatur harga untuk tanaman jambu, dengan perincian: per satu pohon jambu berbuah dihargai Rp75.000, tidak berbuah Rp35.000, dan yang kecil atau anakan seharga Rp6.000. Tanaman lain, seperti kelapa, tidak diatur.
Dari luas lahan yang dimiliki Lily, perusahaan hanya menawarkan penggantian senilai Rp129,7 juta–sebuah harga yang menurutnya tak sepadan dengan keringat yang selama ini ia dan suaminya kuras.
Warga lain juga bersepakat menyatakan SK Bupati Halmahera Selatan hanya menguntungkan satu pihak. Mereka menolak menandatangani kesepakatan penawaran harga dari perusahaan dan memutuskan membawa persoalan ini ke meja hijau.
“Kitorang masyarakat tidak pernah tahu. Tidak pernah setuju dengan SK Bupati,” kata Lily.
Mempertahankan tanah menjadi harga yang harus dibayar mahal. Lily dan warga yang menolak kerap diintimidasi, bahkan diancam penjara.
Dominggus Johanis, warga lain di sana, pernah dibui enam bulan pada 2019, karena mempertahankan lahan.
Andrias, suami Lily, pernah dipukul dengan popor senjata di rumah Sekretaris Desa, Frans Datang, yang tak lain saudara kandungnya, karena bersikukuh tidak terima tanahnya diambil tanpa penggantian yang adil.
Tapi di tengah beragam penolakan dan perjuangan, ekskavator perusahaan terus melaju, menerobos lahan-lahan milik warga yang masih disengketakan.
Ditipu LSM, wartawan
Suatu siang empat tahun lalu, warga pernah memblokir aktivitas perusahaan. Buldoser dan ekskavator dipaksa berhenti. Para pekerjanya disuruh pulang. Lily menuliskan peringatan di karung bekas tepung terigu dan dipatok menghadap ke proyek pertambangan, “Lahan ini belum ada penyelesaian dari perusahaan, jadi dilarang gusur.”
Setelah pemblokiran, rumah warga kembali didatangi kepolisian, camat, pemerintah desa, dan aparat lain. Lily dan Andrias diinterogasi dan diancam.
“Tadi bapak pigi cegah penggusuran?”
“Sebelumnya bapak rapat di mana?”
“Di rumah siapa?”
“Dengan siapa?” tanya Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Obi AKP. Abd. Halim Rangkuti, seperti diceritakan Lily.
“Tidak rapat di mana-mana, Pak, langsung naik cegah,” Lily lantang jawab.
“Bapak tahu tidak, UU Minerba itu dikatakan ‘siapa yang menghalang-halangi kegiatan di areal pertambangan akan ditindak pidana lima tahun penjara’,” Kapolsek kembali bertanya sambil menatap Andrias dan terus mengulang-ulang kalimat itu.
“Bapak mau saya proses bapak lima tahun penjara? Mau?”
Andrias gemetar. Bergeming. Dia tak bisa bicara sepatah kata pun. Lily yang berdiri di belakang Andrias naik pitam.
“Pak, maaf, torang ini masyarakat biasa. Torang tidak tahu apa itu UU Minerba. Saya pe umur ini baru dengar itu UU Minerba. Sampai hari ini, sampe saya pe rambu putih ini, baru dengar UU Minerba itu apa, saya juga tara tau,” Lily menyanggah.
“Yang torang tahu itu, berdasarkan masuk akal dan tidak masuk akal. Itu saja. Masuk akal saya pe tanah belum ada penyelesaian kong bisa masuk penjara?”
Perdebatan berlangsung alot. Kapolsek geram. Camat menarik Andrias ke dapur sambil membujuk agar tawaran mereka diindahkan, Rp160 juta bagi masing-masing enam keluarga pemilik lahan. Andrias bersikukuh menolak penetapan harga di bawah intimidasi itu.
“Kalau oleh karena torang cegah itu [penggusuran] torang dianggap bersalah dan mau kase penjara, proses sudah la kase penjara torang!” kata Lily, geram.
“Masa torang pe lahan belum ada sepakat harga kong perusahaan barani datang gusur suka-suka taru harga.”
Masalah sengketa lahan Lily dan warga sampai di telinga lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan para pendamping hukum, baik di daerah maupun nasional. Beberapa LSM menawarkan pendampingan untuk penyelesaian masalah. Sayangnya, warga seperti diakali demi meraup untung lain.
Warga juga punya resistensi dengan kehadiran wartawan. Beberapa kali warga didatangi wartawan lokal, tapi kasusnya tak pernah diberitakan.
Ada kecurigaan wartawan bekerja sama dengan perusahaan menutupi segala kasus di Kawasi, baik soal kerusakan terhadap lingkungan, pencemaran sumber air bersih, maupun kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan tanah mereka dari ancaman industri.
Lily dan warga sudah habis ratusan juta membiayai lembaga-lembaga yang tidak kredibel itu mengurusi kasus mereka di pengadilan daerah. Ia dan warga lantas pesimistis dengan kinerja mereka, berujung pada hilangnya kepercayaan kepada LSM maupun institusi terkait.
Serangkaian kekecewaan membuat Lily dan warga membawa kasus ini ke pengadilan di Jakarta. Harapannya, supaya tidak ada intervensi dan kasus bisa diputus dengan adil.
Sayang, di Jakarta, perkara itu juga masih mangkrak meski telah didaftarkan sejak pertengahan 2018.
Lili kehilangan daya dan modal. Dagangan minyak dan sembako telah terkuras untuk membayar perjuangan mencari keadilan. Di warungnya, kini hanya tersisa rak dan drum kosong.
Keruhnya mata air cermin
Guk, guk, guk.
Anak anjing peliharaan Magdalena Johanes menyambut saya dan Susi lewat pintu belakang. Susi, teman saya dari Ternate, sedikit sungkan. Yoksan Jurumudi, suami Magdalena, menengok. Ia memangil istrinya keluar untuk menemui kami dan mempersilakan duduk di bangku.
Senyum Yoksan datar. Ia mengepul sebatang kretek. Saya lihat ada kecurigaan yang sama dengan kekhawatiran Lily, “Kalau bukan lembaga swadaya, ya, wartawan abal-abal yang mau cari uang.”
Saya duduk di bangku panjang berdekatan dengan Yoksan. Magdalena duduk di kursi plastik bersebelahan dengan Susi. Ia menghadap ke saya. Sejarak dua meter.
Suasana perlahan-lahan cair. Yoksan mulai bicara. Istrinya turut serta.
Sejak puluhan tahun menetap di Kawasi, Tanta Magda, begitu orang-orang menyapa istri Yoksan, tak pernah berpikir sebelumnya bila mudarat hadirnya perusahaan tambang di desanya cukup besar. Ada perubahan yang ia sebut “penderitaan” lebih dekat dari kemakmuran. Sumber-sumber kehidupan warga rusak bahkan lenyap.
Akses ke lahan garapan makin susah. Jalan menuju kebun di daerah Sungai Ake Lamo telah diprivatisasi perusahaan. Tiap hari alat berat lalu-lalang. Kalau mau ke kebun harus pakai kendaraan pribadi, sepeda motor atau sewa pikap. Bila hujan, jalanan becek. Bila panas, berdebu. Mau lewat pesisir pantai, perjalanan menjadi semakin jauh.
Yoksan berkata, kehidupan di Kawasi makin sempit. Langkah kaki terasa pendek. Mau menjelajahi hutan, tapi semua sudah masuk areal perusahaan. Ambil kayu bakar untuk keperluan dapur selalu diadang satpam. Susah. Harus pakai surat izin dan banyak embel-embel. Izin sana, izin sini.
Sumber-sumber air warga juga tercemar, tak lagi bisa dikonsumsi. Ake Lamo, Danau Karo atau warga menyebutnya Talaga, Sungai Loji, Sungai Toduku, mata air Cermin dan air terjun; semuanya sudah masuk dalam areal konsesi tambang. Bahkan, mata air Cermin kini telah hilang.
Sungai Toduku di belakang permukiman, yang biasa dimanfaatkan warga untuk kebutuhan minum, mandi, bermain dan cuci pakaian, kini telah dipenuhi sedimentasi limbah ore nikel. Ekosistem hutan dan biota di sekitarnya rusak.
Magda mengingat, Sungai Toduku adalah salah satu sumber air paling jernih. Ada ikan segar. Benda-benda yang jatuh di dalamnya, sekecil anting pun, masih bisa terlihat, katanya.
“Sekarang, so tara bisa [minum]. Aer itu so kotor.”
Untuk minum dan keperluan mandi, warga juga terpaksa pakai air keran bersumber dari air terjun di bukit sisi kiri belakang perkampungan. Kondisi airnya pun miris.
Jarak mata air terjun dengan tambang dan kawasan industri beserta pabrik kurang dari 50 meter. Kondisinya terbuka. Bila hujan deras, keruh hingga tidak bisa digunakan.
“Minum pake air terjun, cuman di atas itu dong [perusahaan] so gusur. Jadi limbah akan turun kabawa [di air terjun]. Tapi kitong tetap minum itu. Mau minum dari mana?” ungkap Magda.
“Kalu tong tara mau minum, mau minum aqua hari-hari?”
Harga air per galon Rp10 ribu. Biasanya warga pakai satu galon untuk satu-dua hari. Adakalanya dalam satu hari menghabiskan dua galon.
Di sisi lain, kebutuhan hidup semakin meningkat. Sayur, ikan, kayu bakar, dan kebutuhan pangan yang semula didapat cuma-cuma dari alam, kini harus dibeli.
“Ada perusahaan ini (jadi) banyak kebutuhan. Semua serba beli,” kata perempuan paruh baya ini.
“Kitong bilang dengan [kehadiran] perusahaan ini kitong tambah menderita. Tapi, kitong manahan saja,” kata Magda.
Magda tercenung sejenak. Ia sepertinya mengingat sesuatu. Yoksan memecah keheningan, “Dari tadi dudu-dudu bagini, kalu bikin kopi, enak,” tawanya pecah.
“Tidak perlu repot-repot,” sahut saya.
Malam semakin larut. Jarum jam menunjuk pukul 23.10 Waktu Indonesia Timur. Bunyi mesin dari pabrik pertambangan terdengar pelan.
Suara mesin pabrik bisa langsung terdengar nyaring ketika tiba di Kawasi. Jeda suara mereda biasanya singkat. Alhasil, bicara harus sedikit keras. Warga lama-kelamaan terbiasa dengan kebisingan macam ini. Tapi, Magda tetap merasa terganggu, apalagi saat menonton televisi atau ada acara di kampung.
“Tara bisa tidor,” kata Magda, seraya melanjutkan, “Jadi kalau tong pigi di kobong, tong rasa aman. Di kampong baribut, cerobong dari perusahaan itu.”
Cerobong yang Magda maksud adalah pembangkit listrik berbahan bakar batubara (PLTU) di kawasan industri. Permukiman warga berada cukup dekat dengan sumber polusi udara itu, hanya berkisar 200 meter.
Kebisingan dan debu sekarang jadi teman sehari-hari warga. Sebagai perempuan yang memikul beban ganda, pekerjaan domestik mereka bertambah: melawan debu dari aktivitas pertambangan yang menyasar tiap hari ke dalam rumah.
Kalau musim panas, setiap hari Magda dan para perempuan di Kawasi perlu membersihkan peralatan dapur, meja makan, dan kursi. Makanan pun harus ditutup rapat. Sore lantai dibersihkan, pagi sudah kotor lagi. Begitu seterusnya. Kalau musim hujan, musuh warga berbeda lagi, yaitu serangan nyamuk-nyamuk gatal.
Hilangnya memori
Cerobong pabrik terus menyemburkan uap cokelat kehitaman dan sebagian putih ke langit biru. Alat-alat berat mengeruk bukit-bukit. Mencemari sungai. Pepohonan tumbang. Pesisir dan laut merah pekat. Sampah berserakan di mana-mana.
Satu dekade lebih pertambangan mengeruk hasil bumi di Kawasi. Selama itu pula, kehidupan tradisional warga berubah drastis. Hutan dan lahah perkebunan digusur. Lingkungan terancam. Laju kerusakan dan ancaman ruang hidup tak terkendali.
Sebagian dari petani juga beralih profesi, kerja ke dunia industri.
Anak muda kelahiran 2000-an terpaksa ikut bekerja mencari nafkah di tambang. Sementara, anak-anak yang lahir setelah tambang tak punya memori kecil seperti yang dirasakan orang-orang tua mereka.
Abadan Nomor, imam kampung Kawasi, mencoba mengingat memori lamanya. Ia bercerita Kawasi merupakan kampung yang dikenal sebagai daerah penghasil sagu di Pulau Obi. Warga di kampung-kampung lain bahkan turut datang untuk mengolah sagu.
Tidak ada kepemilikan pribadi terhadap hasil alam ini. Warga berswadaya demi memenuhi kebutuhan pangan.
Para perempuan dan laki-laki biasa bekerja sama mengolah sagu. Lelaki menebang pohon sagu berusia 8-10 tahun, lalu dipotong-potong kurang dari satu meter. Sementara, para perempuan membuat sagu menjadi ragam makanan seperti sagu lempeng, popeda, krepek, dan bahan kue.
Namun, sejak industri pertambangan diberi restu pemerintah mengeruk daerah ini, semuanya hilang. Pohon-pohon sagu digusur perusahaan, sebagian dijadikan alas timbunan. Yang tersisa tinggal sedikit, tapi sudah tidak diolah lagi.
Abadan makin cemas melihat rupa sumber-sumber kehidupan mereka yang perlahan-lahan dilenyapkan.
Anie Rahmi, humas korporat Harita Nickel, seperti dikutip oleh Mongabay, mengatakan perusahaan berupaya memitigasi dampak pembukaan lahan untuk penambangan yang bersesuaian dengan kajian lingkungan.
Ia mengatakan perusahaan hanya membuka lahan yang dibutuhkan untuk keperluan penambangan, termasuk melakukan pengaliran air dari hulu ke hilir. Perusahaan juga akan menanam kembali vegetasi yang rusak karena penambangan, katanya.
“Pemantauan kualitas air di hilir dilakukan untuk memastikan perusahaan mengikuti peraturan yang berlaku,” kata Anie.
Lenyapnya permukiman nelayan
Suatu sore awal Januari 2022, Riko, pemuda di Desa Kawasi, mengajak saya mengambil kelapa muda di kawasan perkebunan warga di daerah Sungai Ake Lamo. (Nama Ake Lamo diambil dari bahasa lokal, ake artinya air, lamo artinya besar.)
Ake Lamo menjadi sungai terluas di Pulau Obi yang keberlangsungannya kini terancam.
Jalanan menuju permukiman yang baru dibangun perusahaan itu licin dan becek akibat guyuran hujan pada hari sebelumnya. Kami sempat terjatuh. Riko hilang kendali. Ban motor tergelincir. Beruntung, motor melaju pelan. Saya dan Riko tidak terluka. Ini kali kedua kepergian saya setelah September 2021.
Permukiman ini lokasinya cukup jauh; sekira 5 km dari kampung dan 1 km dari bibir pantai. Kawasan ini tampak rapi, tapi belum rampung. Ia berpijak di atas timbunan lahan seluas 80-an hektare.
Dulu, lahan itu biasa digunakan warga untuk menanam sagu.
Sudah lahan hilang, permukiman yang dibangun itu juga dipandang tak layak huni. Bangunan rumahnya kecil, hanya terdiri dari dua kamar. Konstruksinya tidak kuat. Alasnya mudah ambruk bila suatu saat terjadi hujan atau guncangan yang membuat tanah bergeser.
Tapi, cepat atau lambat, mau tidak mau, sebagian warga di Pulau Obi akan dipaksa pindah ke permukiman itu.
Kesepakatan itu bisa dilihat dari penandatanganan nota kesepahaman antara Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan dan Harita Group pada 2019. Rencana ini tidak pernah disosialisasikan kepada warga. Padahal, keputusan ini berkaitan dengan masa depan dan hak masyarakat.
Jarak antara permukiman dan laut yang cukup jauh membuat warga Obi, yang terbiasa hidup di pesisir, menjadi resah.
Yoksan, suami Tanta Magda, misalnya. Nelayan ini khawatir akan kehilangan salah satu ruang hidupnya yang ia geluti puluhan tahun.
September tahun lalu, saya pernah mewawancarai Ridwan la Tjadi, Kepala Seksi Perencanaan & Pengkajian Dampak Lingkungan (Kasi PPLH) Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Selatan untuk Mongabay. Ia mengungkapkan beberapa pertimbangan untuk “merelokasi” warga.
Pertama, hunian saat ini sudah kumuh, sampah berserakan, dan tidak beraturan. Kedua, permukiman dekat pantai, pemerintah khawatir gelombang pasang dan tsunami. Ketiga, kampung dekat dengan kawasan industri, warga rentan diserang penyakit, terganggu lalu lalang alat berat dan uap cerobong PLTU batubara.
Alasan lain, permukiman yang dipindahkan sudah disusun rencana strategis agar “masyarakat sejahtera.”
Menanggapi alasan-alasan itu, Yoksan berkata dengan kesal: “Torang tara mau pindah. Tong pe kampung ada, mau pindah di mana? Yang mau pindah silahkan pindah. Torang [tetap] di sini.”
Yoksan menolak bila direlokasi, yang baginya adalah pengusiran dari kampung.
“Kita pe mama lahir di sini. Masa perusahaan [seenaknya] parenta tong pindah,” tukas Yoksan.
Sementara, pihak perusahaan mengaku pembangunan permukiman baru bagi warga sebagai “upaya melindungi mereka dari tsunami”, juga untuk menata ulang kawasan agar lebih baik dan sehat.
“Harita Nickel juga menjadi bagian dari solusi atas permasalahan infrastruktur di wilayah operasional di antaranya kelistrikan, telekomunikasi, sarana prasarana, dan fasum-fasos,” tulis pernyataan perwakilan perusahaan.
Mengisap sisa batu bara
Industri nikel telah menjepit kampung Kawasi di Pulau Obi sejak 2007. Ketika itu izin usaha pertambangan (IUP) diberikan Muhammad Kasuba, Bupati Halmahera Selatan, kepada PT Gane Permai Sentosa dan PT Trimegah Bangun Persada seluas konsesi 5.424 hektare.
Kedua perusahaan ini anak usaha Harita Group, korporasi raksasa yang dimiliki pengusaha Lim Gunawan Hariyanto.
Indonesia adalah negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Sebaran penghasil nikel terbesar di Indonesia berada di wilayah Timur, seperti Morowali di Sulawesi Tengah, Halmahera di Maluku Utara, Kolaka di Sulawesi Tenggara, dan Luwu Timur di Sulawesi Selatan.
Dengan modal itu, pemerintah berambisi menjadikan Indonesia sebagai negara produsen baterai untuk mendukung kemajuan industri kendaraan listrik di dunia.
Sayangnya, ambisi itu tidak dibarengi keadilan bagi warga. Pengerjaan proyek bukan hanya merampas lahan perkebunan, tetapi turut mencemari sumber air, mengusir habitat flora dan satwa, mengupas bentang alam, dan mengusir warga dari tanah kelahiran mereka.
Lahan Lily dan warga digusur paksa dan dibangun pabrik berteknologi high pressure acid leach (HPAL) yang dioperasikan PT Halmahera Persada Lygend dengan modal patungan antara Zhejiang Lygend Investment Co., Ltd. dan Harita Group senilai 1,5 miliar dolar Amerika Serikat, atau setara Rp21,5 triliun.
Zhejiang Lygend adalah perusahaan pertambangan asal China, yang melalui anak perusahaannya, Ningbo Lygend Mining Co., menguasai 36,9 persen saham di pabrik itu. Sementara sisanya, dikuasai Harita Group melalui anak usahanya PT Trimegah Bangun Persada.
Pabrik diresmikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada 23 Juni 2021. Saat peresmian, Luhut berbicara tentang pentingnya mendukung pabrik pertama bahan baku kendaraan listrik di Indonesia ini. Ia mengklaim industri ini akan ikut berkontribusi dalam upaya menurunkan kadar emisi dari penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil.
“Ini adalah aset bangsa. Kita harus lindungi. Namun lingkungan harus dijaga,” kata Luhut.
Kendati diklaim ramah lingkungan, pabrik ini sejatinya masih menggunakan pembangkit listrik tenaga batu bara untuk meleburkan bijih nikel berteknologi RKEF (Rotary Kiln Electric Furnace) untuk menghasilkan feronikel berkadar 10-12% Ni, dengan kapasitas 240.000 ton per tahun.
Feronikel adalah logam paduan antara besi dan nikel yang digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan baja.
Terdapat empat unit PLTU berkapasitas 3×40 Megawatt dan 1×50 MW untuk mendukung proses itu.
Penggunaan bahan bakar yang bersumber dari energi kotor ini sejatinya turut menghasilkan slag nikel, fly ash, dan bottom ash atau limbah dari produksi feronikel dan sisa pembakaran batu bara.
Dengan kata lain, warga bakal menghadapi ancaman kesehatan yang ditimbulkan dari operasionalisasi pabrik, serta berkurangnya kawasan hutan dan lahan sebagai penyerap karbondioksida.
Laporan Polindes Desa Kawasi pada Januari-Juni 2021 memperlihatkan ada peningkatan keluhan kesehatan warga setempat. Selama 6 bulan itu, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) berada di puncak dengan 326 kasus, diikuti demam 276 kasus. Diare sempat melonjak pada Februari sebanyak 118 dan mulai melandai perlahan.
Perusahaan, dalam Laporan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan PT TBP Semester 1/2021, mengakui penyebab tingginya angka penyakit disebabkan oleh lingkungan yang kotor. Akan tetapi, mereka menuding balik bahwa lingkungan yang kotor itu akibat pola masyarakat yang sembarang membuang sampah.
Ia juga turut mengklaim, dari hasil pemantauan kualitas udara ambien dan tingkat kebisingan, perusahaan dalam kondisi baik, tidak ada perubahan yang signifikan.
Saat saya memperlihatkan data ini kepada Lily, ia geleng-geleng kepala sambil merangkul Agnes, anaknya. Hari itu kondisi Agnes kurang fit. Alih-alih memperbaiki, keberadaan pertambangan dan pabrik “membunuh” warga perlahan-lahan.
Agnes, 6 tahun, sudah berulang kali diserang ISPA. Tiap kali musim panas, Lily selalu membawanya ke Polindes atau klinik perusahaan. Obat di Polindes desa tidak ada. Sementara, akses ke rumah sakit jauh. Butuh biaya besar.
Lily pernah cekcok dengan dokter di klinik perusahaan. Petugas klinik mempertanyakan kenapa ia membawa anaknya berobat di sana, padahal sang suami bukan karyawan perusahaan.
Lily tarik napas berusaha sabar asal anaknya bisa ditolong.
“Tuhan… dorang [perusahaan] ambe kita pe tanah macam itu, dong gusur, dong bawa tanah deng kapal, ekspor kasana, dong dapa deng triliun. Kong kita pe ana sake bawa klinik, kong dong bicara kita bagitu.” Hati Lily tersayat.
Setelah ditolong, Lily pulang. Ia kemudian berpikir harus punya alat medis sendiri untuk keperluan merawat anaknya.
Lily membeli pelaratan medis sendiri. Di dalam rumah ada nebulizer, infus, suntik, dan obat-obat yang bisa meredakan sesak napas. Nebulizer merupakan alat bantu pernapasan untuk sesak napas, khususnya yang disebabkan oleh asma.
Lily belajar cara pakai alat medis ini dari dokter dan bidan. Ia menjadi dokter di dalam rumah bagi keluarganya.
Ongkos kesehatan dan kebutuhan hidup semakin tak mudah. Dampak lingkungan yang kotor dari aktivitas operasi produksi pertambangan, membuatnya kewalahan. Sementara, Andrias, suaminya, tak bisa bekerja karena terserang stroke ringan.
“Torang ini hidup lebih tambah susah lagi di daerah tambang. Hasil alam banyak, tapi torang tambah menderita,” kata Lily.
“Sepertinya torang ini memang dibuat mati perlahan-lahan.”
Dikepung korporasi
Selasa sore, 11 Januari 2022. Speedboat yang saya tumpangi dari Jikotamo-Laiwui berjalan menyusuri perairan laut Pulau Obi. Melewati beberapa pulau rimbun, meski di bagian lain bukit-bukitnya terkelupas dan telah dikeruk.
Pulau Obi memang telah lama jadi rebutan pengusaha tambang. Pemerintah memperlakukan pulau ini sebagai salah satu tumpuan industri di Kabupaten Halmahera Selatan. Bahkan, sampai terjadi sengketa konsesi antara Harita dan perusahaan tambang pelat merah, PT Aneka Tambang (Antam).
Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara menunjukkan, pemerintah kabupaten, provinsi, maupun pusat, memberikan 12 izin pertambangan dengan konsesi seluas 35.510,70 ha kepada korporasi.
Lima izin tambang di antaranya di wilayah kawasan hutan dan perkebunan Desa Kawasi dengan total konsesi 10.769,53 ha. Mereka adalah PT Trimegah Bangun Persada dan PT Gane Permai Sentosa di bawah Group Harita.
Kemudian, PT Algifari Wildan dan PT Wanatiara Persada yang beroperasi di bagian utara blok Harita. Ada PT Rimba Kurnia Alam yang mengeruk Pulau Malamala depan permukiman.
Nurhayati Jumadi, warga Obi lain yang saya temui, tidak kaget saat membaca laporan yang menunjukkan data-data di atas. Skala kerusakan di desanya sudah cukup jadi gambaran utuh bagaimana eksploitasi dan penguasaan ruang hidup besar-besaran berada di tangan korporasi.
Nurhayati adalah keponakan Dominggus, lelaki yang pernah dipenjara. Perempuan dua anak ini tidak lagi berkebun. Waktunya dihabiskan mengurus anak dan suami. Lagi pula, kebun mereka sudah tidak ada.
Sama seperti yang dialami Lily, acapkali Nurhayati membuka pintu dapur di bagian belakang rumahnya, bentang pabrik dan sarana pertambangan menancap megah. Kalau malam, cahaya lampu dari pabrik menembus langit biru dan dapur rumah.
Kadang, ingatannya kembali ke masa ketika ia masih kanak-kanak. Pohon-pohon dan tanaman buah berjejeran di sepanjang jalan. Tidak ada kebisingan. Air sungai dan pesisir bersih dan indah.
Sekarang, memori itu sekadar jadi cerita, yang mungkin saja sebelum lenyap, ia akan bagikan kepada anak-anaknya kelak.
Reportase oleh Rabul Sawal ini adalah kerja sama Project Multatuli dengan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), Ekuatorial, dan Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM). Hibah tidak memengaruhi independensi redaksi Project Multatuli.
Artikel ini pertama terbit di Project Multatuli pada 31 Januari 2022 dan direpublikasi Ekuatorial dibawah lisensi Creative Commons.
- Melihat pengalaman Australia di fase transisi energi
- Trend Asia: politik kebijakan cenderung koruptif jadi penyebab melambat transisi energi di Indonesia
- Pemberitaan transisi energi masih didominasi elite
- Greenpeace beberkan pengalaman buruk perdagangan karbon di Indonesia
- Air mata bahagia Awane Theovilla, ingin mengabdikan ilmunya di Papua
- Kolaborasi ilmuwan dan media untuk meningkatkan pemberitaan krisis iklim di Indonesia