Ekosistem karst, savana, dan mangrove pesisir Aru sangat penting untuk menjaga ketersediaan sumber air bersih. Namun kini terancam oleh peternakan sapi skala besar.

Pulau Trangan, merupakan pulau terbesar di Kecamatan Aru Selatan dengan luas 2.300 kilometer persegi. Pulau ini  terbentuk dari batu gamping dan napal yang menunjukan bentukan bentang alam karst, dengan puncak tertinggi sekitar 10 mdpl.

Tim kolaborasi menelusuri bentang karst Aru Selatan bersama Aziz Fardhani Jaya , periset Forest Watch Indonesia juga penelusur dan peminat gua, anggota Indonesia Speleogical Society, serta Sammy Kamsy, tokoh agama Desa Popjetur.

Kami melihat  kolam Air Ilar Popjetur,  yang biasa digunakan warga sebagai sumber air minum, keperluan rumah tangga sampai buat mandi.

Air tawar ini begitu jernih dengan warga berkilau kebiru-biruan berasal dari resapan karang dan pohon sekitar.

Sammy bilang, kolam air Ilar ini satu-satunya sumber air bersih buat konsumsi warga selama ini. Rencana peternakan sapi skala besar, katanya, sangat mengkhawatirkan mereka karena rawan mengancam sumber air bersih ini.

Aziz mengatakan, karst merupakan suatu bentang alam khusus, berkembang pada batuan gamping yang mudah larut, karena ada proses pelarutan karstifikasi.

Batu gamping di Aru, katanya, merupakan hasil pengendapan material (fosil) hewan bercangkang dan mengandung kapur (CaCo3) yang terbentuk pada massa Miosen awal akhir atau sekitar 15-23 juta tahun lalu.

Dia bilang, dari hasil kajian FWI dan Lawalata IPB pada 2016 mengidentifikasi ada sekitar 37 gua di Kepulauan Aru. “Itupun belum mencakup seluruhnya, karena waktu eksplorasi terbatas dan akses sulit,” katanya.

Saat eksplorasi di tiga desa yaitu Marfenfen, Lorang, dan Popjetur itu, mereka temukan sekitar 14 mata air berupa sumur, telaga, dan mata air dari gua.

Di Popjetur, Pulau Trangan, misal, bentang karst dan gua memiliki keunikan tersendiri. Kalau dilihat dari peta citra satelit atau foto udara berupa savana, sebagian tertutup hutan rapat.

Gua Kokoyar, misal, di Pulau Kobror, Petuanan Desa Lorang. Dari pemantauan mereka, gua ini memiliki lorong berhias ornamen seperti stalaktit, stalakmit, sodarstraw, pilar, flowstone. Pada ornamen-ornamen ini masih meneteskan air.

Aziz bilang, tidak sedikit dari gua-gua itu memiliki aliran bawah tanah.

Di Pulau Trangan, dengan tutupan lahan dan padang savana, gua memiliki lorong panjang dan bercabang, dengan sedikit dijumpai ornamen dan lorong gua.

“Perbedaan ini mungkin dipengaruhi struktur batuan penyusun dan ekosistem di atasnya.”

Ada Gua Marfenfen. Gua ini berada di hulu sungai yang masih digenangi oleh pasang surut air. Lorong gua itu menurut Aziz hingga 300 meter panjangnya.

Bentang karst lagi di Telaga Karst Kongan, Desa Marfenfen. Telaga ini berada di tengah padang savana. Menurut Aziz, telaga ini terbentuk karena atap gua runtuh kemudian lorong gua tergenang air. Air pun pasang surut. Berarti, katanya, Ekosistem karst ini mempunyai keterikatan dengan hulu-hulu sungai sekitar.

“Jadi, memang karst itu adalah batuan berpori ibarat spons. Ia menyerap air. Kalau di sini air asin atau payau, sampai ke telaga sudah tawar.”

Proses terbentuknya karst, katanya,  bukan dalam waktu cepat karena perlu proses pelarutan air dan batuan.

Batuan karst dengan topografinya, kata Aziz, turut menjaga ketersediaan air tawar. Daerah tangkapan air yang tak luas dan jumlah simpanan lensa air tanah sedikit, katanya, jadikan tutupan hutan karst berperan penting dalam menyerap air dan menahan laju erosi hujan.

Sementara gua, berfungsi sebagai drainase alami guna membantu memanifestasikan air lewat tetesan perkolasi yang makin lama makin membesar membentuk aliran sungai bawah tanah. Lebih dari itu,  kata Aziz, fungsi karst sebagai tandon air alami karena sistem akuifer khas berperan penting dalam menjaga ketersediaan air.

Keberadaan karst dan gua, kata peneliti FWI ini memiliki nilai penting bagi masyarakat Aru. Jika itu hilang, sudah barang tentu dampak akan dirasakan masyarakat.

Lingkungan termasuk hutan dan mangrove pesisir Aru sangat penting, kata Aziz, antara lain untuk menjaga ketersediaan sumber air bersih atau air tawar.  Sumber Air ini, katanya, sangat krusial di Aru.

Saat ini saja, dalam kondisi lngkungan masih terjaga, hutan bertutupan rapat, sudah ada masyarakat sulit dapatkan air bersih. “Isu besar di Aru Selatan itu ketersediaan air,” kata Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI).

Di kampung-kampung di Aru, katanya, ada beberapa sumber air bersih/tawar masyarakat, seperti dari sumber mata air, pakai sumur bahkan ada yang air tadah hujan.

“Sumur dan mata air sangat tergantung kondisi lingkungan,” kata Ode, sapaan akrabnya.

Kala lingkungan seperti hutan hilang maka rawan krisis air bersih.

“Saat ini saja, kalau musim kering, ya kering. Bagaimana kalau ditambah sampai terkonversi [dengan masuk peternakan sapi skala besar].”

Jadi, kata Ode, salah satu yang mengkhawatirkan kalau sampai peternakan sapi skala besar masuk, bakal mempengaruhi persediaan air bersih.

“Air ini sumber minum air kami. Untuk berbagai keperluan sehari-hari, bagaimana kalau sampai tercemar? Dari mana kami dapat air bersih lagi?” kata Sammy.

Penelitian-penelitian pun memperlihatkan betapa peternakan sapi bisa menyebabkan persoalan lingkungan maupun tercemarnya  sumber air bersih.  Sebuah kajian di sciencedirect.com, sama seperti  Kepulauan Aru, peternakan di ekosistem karst bisa  menyebabkan cemaran mikroba pada akuifer karst. Studi hampir sama pada 1991-1992 di ekosistem  karst di tenggara Virginia Barat untuk menentukan dampak pertanian terhadap kualitas air tanah.

Area itu  jadi tempat penggembalaan ternak musiman.  Hasilnya, mata air karst yang dipakai peternakan paling intensif terkontaminasi bakteri tinja.

Baca liputan selengkapnya disini.

Liputan ini merupakan bagian ketiga dari serial liputan khusus tentang investasi peternakan sapi di Kepulauan Aru. Baca bagian pertama dan kedua.

***

Reporter: Chist Belseran, Della Syahni, dan Indra Nugraha

Kurasi foto: Ridzki R. Sigit

Editor: Sapariah Saturi

Kolaborasi antara Mongabay Indonesia, Metro Maluku, Titastory.id, dan Forest Watch Indonesia didukung oleh Internews Earth Journalism Network melalui proyek khusus tentang One Health dan daging yang berjudul ‘More Than Meats the Eye‘ yang menyatukan delapan outlet media dari berbagai negara dan lebih dari selusin reporter untuk meliput dampak daging pada kesehatan hewan, manusia dan lingkungan di kawasan Asia Pasifik. Liputan ini pertama kali terbit di Mongabay Indonesia pada tanggal 12 Oktober 2022.

‘More Than Meats the Eye’, yang menyatukan delapan outlet media dari berbagai negara dan lebih dari selusin reporter untuk meliput dampak daging pada kesehatan hewan, manusia dan lingkungan di kawasan Asia Pasifik.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.