Kepulauan Aru kaya akan budaya dan keanekaragaman hayati. Masyarakat Adat Aru mengkhawatirkan tradisinya, flora dan fauna serta hubungan keduanya terancam oleh peternakan sapi secara besar-besaran.

Silas Apalem, dipanggil Johan Gonga, Bupati Kepulauan Aru, 12 Juli 2019. Sore itu, bersama marga dari desa lain, dia mendengar sosialisasi mengenai investasi  peternakan sapi yang akan masuk di Aru Selatan.

“Di situ dijelaskan tindak lanjut kepastian proses perolehan lahan,” katanya kepada tim kolaborasi, Juni lalu.

Seorang yang mengenalkan diri bernama Haji Bambang, memberikan sosialisasi rencana empat perusahaan masuk ke Aru Selatan. Saat itu, kapasitas Silas sebagai Ketua Marga Apalem di Desa Popjetur.

Dalam sosialisasi itu Bambang, kata Silas, menjanjikan ada beasiswa sekolah anak dan perumahan kalau warga menerima usaha peternakan sapi itu.

“Apabila ada satu marga dari Desa Popjetur yang terima usaha peternakan empat perusahan ini maka jaminannya, saya akan kontrak 60 tahun dengan jaminan biaya anak akan sekolah dari SD sampai perguruan tinggi,” begitu kira-kira janji yang ditawarkan kepada warga di ruangan bupati.

Kemudian, rumah-rumah di desa akan diperbaiki termasuk rumah ibadah, dan sarana pendidikan. Juga, akan bangun jalan, air bersih, dan listrik akan masuk.

Setiap keluarga akan dapat bantuan sepasang sapi. Warga bisa tanam pakan ternak, lalu jual ke perusahaan. “Itu penjelasan yang saat itu kami terima.”

Perwakilan perusahaan itu, kata Silas, juga menjanjikan posisi manajer kepada marga yang setuju peternakan sapi masuk.

Kala itu, warga tak tahu luasan lahan yang akan dipakai. Pasca sosialisasi itu, Silas tak pernah lagi mendengar kehadiran perusahaan di desa mereka. Bahkan, sejumlah bantuan yang dijanjikan mereka, tak satu pun terealisasi.

Empat hari selang bupati memanggil ketua-ketua marga itu, tepatnya, 16 Juli 2019, izin peternakan sapi di Kepulauan Aru, kepada empat perusahaan keluar seluas 61. 567 hektar.

Perusahaan-perusahaan itu adalah, PT Kuasa Alam Gemilang (KAG),  PT Bintang Kurnia Raya (BKR), PT Cakra  Bumi Lestari (CBL) dan PT Ternak Indah Sejahtera (TIS).


Masyarakat adat menolak

“Dilarang memasuki kawasan masyarakat hukum adat berdasarkan….”  Begitu sebagian tulisan spanduk penolakan terhadap rencana investasi peternakan sapi oleh Marga Siarukin.

Mereka cantumkan berbagai aturan dari UUD’45 sampai putusan Mahkamah Konstitusi dalam spanduk penolakan itu.

“Tanah kami tidak akan diserahkan, karena tanah itu merupakan titipan leluhur,” kata  Ribka Siarukin (56) perempuan adat dari Desa Popjetur.

Ribka Siarukin, bersama perempuan adat Aru yang lain, tak rela tanah leluhur mereka hilang dan masuk penguasaan PT Ternak Indah Sejahtera (TIS), salah satu dari empat perusahaan yang mendapatkan izin.

Bersama kerabatnya, almarhum Anace Siarukin dan sahabatnya, Dolfince Gaelogoy, asal Desa Marfenfen, Ribka berada di garis depan, menolak kehadiran peternakan sapi. Ribka adalah istri Obaja Siarukin, tetua adat Popjetur.

“Almarhum Mama Anace dan Mama Do, punya pengalaman memperjuangkan begitu panjang mengusir korporasi besar, mulai dari Menara Grup, Nusa Ina, TNI Angkatan Laut, dan sekarang perusahaan peternakan.”

Mereka, kata Ribka, yang memotivasinya berjuang menolak perusahaan peternakan masuk di Desa Popjetur. “Kenapa mau takut? Kita punya kehidupan di sini. Kalau mati, kuburkan saya di sini, depan rumah saya,” kata Ribka.


Kekhawatiran Masyarakat Adat  di Kepulauan Aru ini sangat beralasan. Mia Siscawati, antropolog juga Ketua Program Studi Kajian Gender, Universitas Indonesia mengatakan, hilangnya akses masyarakat adat terhadap kekayaan alam ketika masuk usaha skala besar seperti perkebunan atau peternakan sapi ini, bisa berdampak besar bagi masyarakat adat. Ia bisa berpotensi memutus hubungan mereka dengan ruang hidupnya.

Bicara ruang hidup masyarakat adat, katanya, tak hanya lahan tetapi suatu ekosistem—antara lain,  lahan tempat tinggal, hutan, kebun, sumber air, pesisir, laut–dengan berbagai fungsi yang melingkupi, seperti fungsi ekonomi, ekologi, sosial, budaya dan lain-lain.

Mia ambil spesifik dampak terhadap perempuan adat yang biasa memiliki pengetahuan mengenai pangan dan obat-obatan. Pengetahuan-pengetahuan perempuan adat ini, katanya, selain berguna bagi kelestarian alam, juga sebagai posisi tawar di komunitasnya.


Ritual adat terancam

Kalau sampai peternakan sapi terlaksana, kata Yosias, tradisi adat tordauk bisa hilang. “Itu nilainya sangat besar karena dari leluhur itu dorang sudah jadikan sebagai tradisi. Dari tahun ke tahun, turunan ke turunan tradisi itu tetap jalan.”

Dia bilang, tordauk tidak hanya dilakukan masyarakat adat Popjetur, tetapi beberapa desa juga lakukan ritual ini. Dalam ritual itu, biasa mereka berburu rusa, babi, dan pelanduk.

Data Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan, sekitar 10 desa melakukan ritual tordauk, yang menggunakan savana sebagai tempat berburu kolektif. Mereka dipimpin orang-orang yang memiliki petuanan—tradisi sosial lokal Aru. Di pulau-pulau itu, area savana sekitar 22.000 hektar. Pada savana ini merupakan habitat satwa seperti rusa, babi dan lain-lain sumber protein bagi masyarakat.

Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, tordauk ini, ritual adat berburu bersama setahun sekali.  Ritual ini, katanya, bukan sekadar berburu, bukan hanya mencari daging.

Tordauk itu paling penting ajang pengenalan bagi generasi selanjutnya agar mengetahui di mana wilayah mereka,” kata Ode, sapaan akrab Mufti.

Saat ritual tordouk itu, semua warga adat dari orangtua sampai anak-anak ikut serta. “Lintas generasi, berburu. Yang tak bisa jalan, dipapah. Ini bukan sekadar berburu, ini ritual bentuk pembelajaran generasi selanjutnya. Kalau itu hilang, selesai itu.”

Kalau ada peternakan sapi di savana, katanya, area itu akan dipagari. “Praktis tordauk tak ada lagi. Ketika upacara itu tak terlaksana, budaya perkenalkan adat ke generasi selanjutnya akan hilang. Sistem pembelajaran terputus.”


Persaudaraan terkoyak

Izin lokasi peternakan sapi sudah Johan Gonga,  Bupati Kepulauan Aru,  keluarkan lebih 61.000 hektar kepada empat perusahaan.

Johan  benarkan, dalam prosesnya mendapat penolakan dari sebagian warga, walau sebagian menerima.

“Bagi kami mereka belum paham terkait investasi itu hingga mereka menolak. akibatnya kelanjutan investasi ini tidak ada,” katanya.

Kini, bupati sudah tak  mendengar perkembangan dari rencana peternakan sapi ini. “Karena memang ada dari tokoh-tokoh juga ada menyurati ke kementerian hingga sampai sekarang kementerian juga tidak menindaklanjuti terkait izin usaha dari pada investasi peternakan ini. Jadi sampai sekarang belum ada izin [lanjutan],” kata Johan.

Izin lokasi bupati berada di kawasan hutan, hingga perlu izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, agar lahan bisa dipakai untuk usaha.

Sejak izin lokasi keluar di Desa Popjetur, dampak secara sosial mulai terasa. Warga terpecah, pro dan kontra peternakan sapi. Hubungan persaudaraan yang berjalan baik selama ini, renggang dan bermusuhan.

Di desa ini, ada sekitar delapan marga, yakni Marga  Apalem, Siarukin, Payansian, Gurgurem, Pulamajen, Bothmir, Garlora, dan Kailem.

Yang pro sebagian bersedia menyerahkan lahan mereka untuk jadi peternakan sapi.

“Tak hanya dapat intimidasi dari aparat saat itu, juga harus berhadapan antar sesama warga. Gara-gara peternakan ini, hubungan keluarga hingga urusan keagamaan jadi ikut renggang,” kata Yosias.

Dia bilang, sejak membentangkan spanduk penolakan peternakan sapi, sebagian warga sudah menaruh dendam. Dia nilai, warga menerima mungkin terbuai janji-janji.

“Kehidupan kami tak seperti dulu lagi. Bayangkan, kakak beradik atau sepupu bisa saling adu ke polisi,” sebut Yosias.

Baca liputan selengkapnya disini.

Liputan ini merupakan bagian terakhir dari serial liputan khusus tentang investasi peternakan sapi di Kepulauan Aru. Baca liputan-liputan sebelumnya:


Reporter: Chist Belseran, Della Syahni, dan Indra Nugraha

Kurasi foto: Ridzki R. Sigit

Editor: Sapariah Saturi

Kolaborasi antara Mongabay Indonesia, Metro Maluku, Titastory.id, dan Forest Watch Indonesia didukung oleh Internews Earth Journalism Network melalui proyek khusus tentang One Health dan daging yang berjudul ‘More Than Meats the Eye‘ yang menyatukan delapan outlet media dari berbagai negara dan lebih dari selusin reporter untuk meliput dampak daging pada kesehatan hewan, manusia dan lingkungan di kawasan Asia Pasifik. Liputan ini pertama kali terbit di Mongabay Indonesia pada tanggal 13 Oktober 2022.

‘More Than Meats the Eye’, yang menyatukan delapan outlet media dari berbagai negara dan lebih dari selusin reporter untuk meliput dampak daging pada kesehatan hewan, manusia dan lingkungan di kawasan Asia Pasifik.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.