Pekalongan akan kehilangan 5.271 hektar wilayah pada 2035. Industri batik sudah merasakan dampak nya. Para pelaku industri berbagi cerita.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah nasib yang menimpa para perajin dan buruh batik yang terdampak pasang air laut (rob) di Pekalongan, Jawa Tengah. Seperti Lukni Maulana, harus berpindah rumah berkali-kali dan kehidupan ekonomi pun terimbas. Dulu, dia juragan batik, kini jadi buruh yang menerima pesanan pewarnaan batik.
Pewarnaan dia kerjakan dari rumahnya di Desa Karangjompo, Kabupaten Pekalongan. “Kami di sini fokus pada pewarnaan saja,” katanya kepada Mongabay, tahun lalu.
Lukni mengubah pekarangan samping rumah jadi area kerja. Gubuk darurat dengan dinding dan atap dari terpal dibangun membalut rangka kayu untuk ruangan 4×5 meter.
Di ruangan itu, bapak dua orang anak ini leluasa bekerja.
Untuk pekerjaan ini, Lukni biasa mendapat upah bersih Rp500.000 per pekan, sudah dikurangi kebutuhan obat pewarna dan beberapa orang yang dia minta membantu. Tak pasti berapa jumlahnya, tergantung pekerjaan.
Pendapatan ini sangat kecil dibanding dulu saat dia bisa mengantongi Rp700.000-Rp1 juta setiap pekan. Di rumah lama, Lukni adalah juragan batik. Untuk produksinya, tidak jarang dia berikan kerjaan ke buruh batik untuk proses seperti nyanting, nglorod, hingga mewarnai.
“Kalau sekarang saya cuma jadi buruh saja seperti ini,” katanya.
Lukni memutuskan pindah ke rumah yang sekarang, Juni 2022 lalu karena banjir rob.
Naiknya air laut ke daratan ini membuat Lukni dua kali pindah rumah. Awal mula, Lukni tinggal di Tegaldowo Wetan, jarak sekitar dua km sebelah utara rumahnya saat ini.
Di sana, Lukni bersama keluarga tinggal hanya satu tahun. Banjir rob yang kerap datang sampai menjebol rumah. Dia pun memutuskan pindah ke lokasi tak jauh dari sana, dan berhasil bertahan lebih dari dua tahun.
Rumah pertama Lukni di Tegaldowo, saat ini sudah tidak berbentuk. Bangunan kini tinggal puing menjadi saksi perjuangan Lukni saat membatik di sana.
Rumah kedua saat disambangi Mongabay tenggelam sampai selutut orang dewasa. Akses ke rumah keduanya pun sulit. Air menggenang bukan hanya dari laut, juga dari kali kecil yang memisahkan Desa Tegaldowo dengan Karangjompo.
“Kalau musim penghujan, air di sana jadi dobel. Kalau banjir tinggi bisa sampai perut,” kata Lukni.
Masih terang dalam ingatannya ketika banjir parah terjadi dua tahun lalu. Saat itu, air bahkan sampai ke Jalan Raya Pantura (Pantai Utara) dengan jarak sekitar satu km sebelah selatan rumahnya saat ini.
Banjir membuat arus listrik terputus dan masyarakat terpaksa mengungsi ke dapur umum yang disediakan di wilayah yang aman dari banjir. Lukni harus mengungsi ke Kedungwuni berjarak 10 Km ke arah selatan dari kediamannya.
“Air mengendap di rumah warga hingga satu bulan. Kami pasrah, tidak kepikiran bagaimana makan, apalagi kerja,” katanya lirih.
Terpaan banjir terus menerus membuat Lukni membulatkan tekad pindah ke arah selatan. Di rumahnya yang sekarang, banjir hanya menggenangi jalan, tak sampai masuk ke rumah. Dia sengaja membuat dasar rumah lebih tinggi dari jalan.
Semua itu menghabiskan sumber daya Lukni. Modal untuk bisnis batik tersedot untuk pindah. Buntutnya, dia kini hanya bisa jadi buruh pewarnaan batik. Itu pun masih harus merogoh kocek sekitar Rp10 juta-Rp15 juta.
“Kalau mau seperti dulu minimal Rp20 juta. Itu pun kalau sudah punya tempat sendiri,” katanya.
Meskipun rumah sekarang terlihat aman dari ancaman rob, Lukni masih waswas. Pasalnya, rumah berukuran 3X13 meter ini justru terkepung tiga kali dan sungai yang sewaktu-waktu bisa meluap.
Sekitar 30 meter di sebelah barat rumahnya sudah ada Sungai Pencongan. Sungai lain berada di sebelah timur dan selatan.
Lukni tidak bisa berbuat banyak. Pindah rumah bukan opsi. “Mata pencaharian saya di sini. Banyak orang sudah pindah ke selatan, tapi mereka tetap kerja ke sini.”
Harus pindah karena terdampak rob juga dialami Nur Afidatul Azimah, bedanya di tempat baru bisnis lebih lancar. Pemilik Toko Grosir Mukena Zialova ini kini pindah ke Jl Pelita III, Pekalongan, Jawa Tengah. Rumahnya dia sulap jadi toko. Awalnya, dia tinggal di Pabean, sekitar empat km arah utara.
Dia terpaksa pindah ke jantung Kota Pekalongan karena area Pabean kerap banjir rob. Air laut merendam daratan itu membuat bisnis batik tidak berjalan lancar.
Sejak 2014, banjir datang dengan intensitas beragam. Dalam kondisi normal, perempuan asli Pekalongan ini masih bisa mengantar pesanan kain dan pakaian dari rumah ke toko atau kota-kota besar yang memesan secara daring.
Saat banjir dengan intensitas sedang datang, biasan dia akan memanfaatkan usaha perahu yang diinisiasi masyarakat untuk mengantar orang atau barang keluar kawasan yang terdampak banjir. Tidak jarang juga layanan ekspedisi kepercayaannya jemput bola ke rumah karena barang mesti diantar bisa lebih dari lima karung atau sekitar 100 pakaian.
Sekitar Januri-Februari 2020, banjir rob sempat membuat kurir tidak bisa menjemput pakaian yang hendak diantar. “Pernah pembeli minta diantar hari itu juga. Kata mereka, kalau tidak diantar mereka minta refund. Kurir tidak ada yang mau jemput kalau banjir seperti itu,” kata Afida, sapaan akrabnya.
Beberapa pelanggan ada yang mengerti, namun tak sedikit acuh akan musibah yang Afida alami. Akibatnya, pengembalian dana harus dia lakukan.
Kondisi ini memantapkan tekad Afida pindah ke tokonya sekarang di Kelurahan Jenggot. Dia merasa lebih untung di tempat baru.
Di tempat lama omzet per bulan Rp50 juta-Rp70 juta, itu pun kalau sedang tak banjir. Banjir jelas mengurangi pendapatan karena harus keluar biaya ekstra untuk sewa perahu ataupun membayar kurir yang mau menerobos rob.
Di kios baru, Afida tidak pernah lagi mengalami banjir dan tak ada lagi pengeluaran ekstra harus dia siapkan ketika bencana datang.
Dia bisa meraup minimal Rp70 juta dalam sebulan. Tidak jarang pendapatan mencapai Rp100 juta karena banyak pedagang lain yang tak memiliki toko, menitipkan barang ke Afida. Dagangannya pun jadi lebih beragam.
“Saya pikir di sini lebih pas dan aman juga dari banjir. Kalaupun banjir, paling dari hujan dan 1-2 hari surut,” katanya tersenyum.
***
Banjir rob merupakan masalah menahun di Pekalongan. Heri Andreas, ahli Geodesi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menyebut, perubahan iklim dan penurunan tanah di Pekalongan memicu banjir pasang di Pesisir Utara Jawa ini.
Sudah banyak penelitian menunjukkan penurunan tanah di kota berjulukan Kota Batik ini. Heri menyebut, kecepatan penurunan tanah di Pekalongan bervariasi antara 1-20 cm per tahun.
Galdita Chulafak, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga mengatakan, angka tak jauh berbeda, sekitar 10-11 cm per tahun.
Kecepatan penurunan tanah yang berbeda itu tidak menguburkan fakta ada kerusakan lingkungan di Pekalongan. Kondisi ini, akan makin parah pada 2030. Heri memperkirakan, setengah Kota Pekalongan akan berada di bawah laut.
Sebuah penelitian Mercy Corps Indonesia (MCI) bersama Akademisi dari Institut Pertanian Bogor dan Universitas Diponegoro, memproyeksikan Kabupatan dan Kota Pekalongan akan kehilangan 5.271 hektar wilayah pada 2035 karena kenaikan permukaan air laut dan penurunan tanah.
Kondisi bisa memukul banyak sektor. Secara ekonomi, misal, MCI memperkirakan kerugian pada 2035 bisa mencapai US$2,15 miliar, lima kali lipat dari kerugian 2020 mencapai US$474,4 juta.
“Kondisi 2020 sudah dua kali lipat dari APBD (anggaran pendapatan dan belanja Daerad) Kota dan Kabupaten Pekalongan,” kata Denia Syam, Program Manager and Advocacy Specialist Mercy Corps Indonesia kepada Mongabay Oktober lalu.
Secara spasial, katanya, paling terdampak tentu saja kawasan pesisir. Kawasan ini, dihuni masyarakat dengan ekonomi dan sosial rentan hingga akses sumber daya dan fasilitas sangat minim.
Di Pekalongan, pembatik, hampir dapat ditemukan di setiap wilayah terdampak banjir. Mereka, katanya, kebanyakan masuk dalam kategori itu.
Kartini dan Faizyah, ibu dan anak yang tinggal di Kelurahan Degayu, contoh buruh batik yang miskin.
‘Kami Keluarga Miskin Penerima Bantuan Sosial Program Keluarga Harapan (PKH).” Kalimat ini yang terpampang di dinding depan rumah mereka yang berwarna merah jambu.
Potret ini makin memperkuat laporan penilaian ketiga Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang menyebutkan, masyarakat miskin merupakan kelompok paling terdampak perubahan iklim, dan aktivitas ekonomi mereka pun akan terus terganggu.
Untuk mempertahankan ruang hidup, masyarakat yang terdampak banjir di Pekalongan biasa harus mengeluarkan uang dari kocek mereka untuk meninggikan rumah. Mereka yang mampu akan meninggikan tiap ruang dalam rumah. Ada juga yang meninggikan atap hingga rumah tampak seperti bangunan baru.
Kartini dan Faizyah juga pernah meninggikan rumah mereka. Sekitar Juni 2022, mereka meninggikan permukaan ruang keluarga dan dapur, tetapi tidak kamar tidur hingga beda tinggi permukaan kedua ruangan ini bisa mencapai paha orang dewasa.
Keterbatasan sumber daya membuat Kartini dan Faizyah terpaksa menerima kamarnya terendam kala banjir. Untuk meninggikan lantai dua ruang itu saja mereka harus mengeluarkan uang sekitar Rp2 juta.
Biaya terbesar membeli pasir dan batu (sirtu) dan ongkos kuli angkut dari titik bongkar ke rumah mereka. Satu truk sirtu Rp450.000, dan upah kuli Rp200.000.
Dalam beberapa kasus, upah kuli bahkan bisa sama dengan harga sirtu yang mereka angkut ikarena jarak dari titik bongkar muat dengan rumah pembeli cukup jauh. Kesulitan akses karena banjir biasa menjadi kendala pembongkaran sirtu.
“Kemarin habis dua truk sirtu,” kata Faizyah.
Tak ada bantuan yang diterima dari pemerintah daerah maupun juragan pengguna jasa pengerjaan batik mereka, sekalipun masuk kategori miskin.
MCI menyebut, kondisi ini sebagai lingkaran setan kemiskinan. “Karena mereka bekerja untuk survive, bukan untuk meningkatkan kualitas hidup,” kata Denia.
Dinas Perdagangan dan Koperasi Kota Pekalongan menilai banjir rob sebagai bencana yang mengancam eksistensi pembatik. Meskipun demikian, tak ada program khusus dari dinas ini pada penggerak perekonomian lokal itu.
Menurut Nugroho Hepi Kuncoro, Kabid Koperasi Dindangkop Pekalongan, yang bisa mereka lakukan hanya menelurkan regulasi yang mengimbau para juragan memerhatikan kesejahteraan pembatik, terutama di bagian utara yang terkena banjir rob.
“Kami atur supaya ada BPJS Ketenagakerjaan untuk mereka. Tapi tidak semua bisa. Memang sektor informal ini susah ya, tergantung dari juragannya,” kata Hepi.
Alokasi dana atau bantuan dari pemerintah bagi perajin atau warga dengan lahan terendam rob pun belum ada. HA Afzan Arslan Djunaid, Walikota Pekalongan mengatakan, sampai saat ini tak ada mekanisme ganti rugi yang diberikan Pemerintah Pekalongan terhadap lahan-lahan yang hilang ditelan air laut. Afzan hanya bilang, lahan yang hilang tidak bisa lagi kembali ke daratan.
“Tidak ada (ganti rugi). Kecuali, mereka pembebasan lahan untuk dibikin tanggul.”
***
Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (Dinparbudpora) Kota Pekalongan menyebut, batik sebagai budaya dan ekonomi di Pekalongan. Batik juga identitas yang melekat di masyarakat.
“Secara budaya, batik sudah diakui oleh UNESCO. Dari sisi ekonomi, Kota Pekalongan dan batiknya diberi penghargaan sebagai kota kreatif pada 2021,” kata Dede Umi Hani, Sekretaris Dinparbudpora kepada Mongabay Oktober lalu.
Pengakuan UNESCO terhadap batik sebagai warisan budaya tak benda pada 20 Oktober 2009, sementara pengukuhan Kota Pekalongan sebagai kota kreatif pada 30 November 2021.
Melihat pentingnya batik secara budaya, banyak program sudah mereka jalankan untuk mengawetkan identitas ini. Mulai dari perayaan hari batik setiap 2 Oktober, memakai batik tiap Jumat hingga pelatihan dan kurikulum batik di sekolah-sekolah.
Cara-cara yang diharapkan pemerintah akan efektif dalam menjaga batik sebagai budaya di Pekalongan.
Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Pekalongan, ada sekitar 1.300 pembatik di terdaftar kota itu. “Banyak juga industri batik di pesisir, seperti Pasir Sari, Kelurahan Panjang, Kelurahan Bandengan dan Krapyak. Mereka ini yang produksinya terpengaruh oleh banjir rob,” katanya.
Hepi mengatakan, pembatik tersebar di setiap jengkal kota karena para pekerja kerap membawa pekerjaan ke rumah mereka. Tak ada ikatan antara buruh dan juragan.
Di kota lain, katanya, ada kecenderungan industri batik tersentralisasi dan para pekerja harus beraktivitas di lokasi pembuatan batik para juragan.
“Di sinilah kearifan lokal kami, ini yang membuat batik Pekalongan lebih murah,” kata Hepi.
Terkait harga, kain batik tulis Pekalongan biasa Rp100.000-Rp250.000, ada juga Rp350.000. Motif dan jenis kain, katanya, jadi pembeda dari masing-masing harga produsen.
Batik Pekalongan murah secara tak langsung berimbas pada upah buruh. Pada beberapa kasus, seperti Lukni, Kartini dan Faizyah, pendapatan sebagai buruh batik habis tersedot untuk bertahan hidup dari serangan banjir rob.
“Ini sudah kita diskusikan dengan pengusaha batik. Kami sudah tekankan kalau mereka tidak boleh untung besar tapi buruh hanya dibayar Rp50.000 atau Rp60.000,” kata Hepi.
Industri batik informal dan tak ada ikatan kerja antara juragan dengan buruh, katanya, jadi satu alasan sulit menerapkan skema kesejahteraan seperti melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
“Semua tergantung juragannya.”
Laporan bertajuk Kajian Perumusan Kebijakan Rencana dan Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal melalui Pemetaan Rantai Nilai Usaha Batik Pekalongan terbit 2017 menunjukkan, kalau batik memiliki margin keuntungan tak sedikit. Untuk kain batik jenis mori (katun) saja, misal, margin keuntungan bisa 47,58%-68,71%.
Laporan yang digarap Bappeda Kota Pekalongan bekerjasama dengan Pusat Pelayanan Perencanaan Pembangunan Partisipatif Universitas Diponegoro ini menyebutkan, dari satu kain batik Rp350.000, penjual biasa menarik keuntungan Rp165.500 sedang upah pembatik Rp80.000 per kain.
Sodikin, Ketua Paguyuban Serikat Perajin Batik Pasir Sari (Serba Pas) saat ditemui mengaku tak ada kesenjangan terlalu jauh antara buruh dan juragan batik pada industri kecil dan menengah.
Hal ini, katanya, terlihat dari masih ada kemampuan buruh memenuhi kebutuhan pangan dan sandang mereka setiap hari.
“Sekalipun ada banjir tiga minggu, masih tetap ada uang. Kesenjangan tidak jauh,” katanya, memberi contoh acak.
Sodikin seakan tak melihat rob itu ancaman bagi keberlangsungan para pembatik di Pekalongan. Bahkan, ada prediksi Pekalongan tenggelam 2035, dia tak ambil pusing.
Dia hanya berpikir kalau juragan punya kemampuan dan ada rumah di tempat lain. Buruh pun dia pukul rata masih bisa beli tanah untuk meninggikan rumah.
“Kita happy-happy saja, memang geografis kita seperti ini, mau apa lagi. Sudah kehendak takdir, jadi tidak mumet lah,” katanya.
Dia tak memperhitungkan perajin yang terpaksa pindah rumah atau buruh yang tak punya uang untuk meninggikan rumah seperti Lukni, Faizyah dan Kartini. Mereka justru mengharapkan penyelesaian dari kondisi mereka ini.
Banjir rob seharusnya bisa ada mitigasi, dan warga bisa beradaptasi untuk meneruskan roda ekonomi demi memenuhi kebutuhan pokok mereka. .
“Inginnya kami tidak banjir lagi di sini. Jalan dibenerin, dan jalan bisa kering lagi,” ucap Kartini.
Lukni was-was. Dia tak ingin banjir kembali memaksanya pindah. Dia khawatir proyeksi tenggelamnya Pekalongan pada 2035.
“Saya ingin bisnis ramai lagi. Tapi kalau tidak ada penanganan banjir, saya takut.”