Perubahan iklim dan penurunan tanah menjadikan rob ancaman serius yang bisa membuat Pekalongan tenggelam di tahun 2035.

Kain putih lebar menyelimuti Kartini yang duduk di dingklik ruang tamu berukuran 3×3 meter di Kelurahan Degayu, Pekalongan, Jawa Tengah. Tangan perempuan 67 tahun ini memainkan canting,  alat tradisional membatik, mengikuti pola yang sudah  digambarkan dengan pensil.

Laiknya kereta yang bergerak di atas rel, ujung canting Kartini pun menyusur rel hitam tipis hasil goresan pensil pelahan. Sesekali, dia melakukan gerakan menotol untuk menimbulkan titik-titik cokelat pada pola berbentuk naga itu. Ini untuk bikin sisik naga lebih hidup.

Kartini kemudian meniup hasil bubuhan canting agar cepat kering. Tangan bergerak turun, menciduk cairan kecokelatan panas di dekat kakinya.

Ngerjain ini harus sabar dan pelan,” katanya saat saya sambangi beberapa bulan lalu.

Proses pembuatan batik Kartini ini disebut nyanting. Cairan panas yang diciduk Kartini adalah lelehan malam atau lilin yang sepanjang waktu dipanaskan hingga pembubuhan lebih mudah.

Bersama dengan anak perempuannya, Faizyah, Kartini biasa mencanting malam hari saat keluarga sudah terlelap.

“Karena malam hari lebih sepi, tidak banyak gangguan. Lebih mudah bekerja,” kata Faizyah.

Sebenarnya, membatik bisa dilihat hampir setiap sudut dan gang Pekalongan. Lembaran kain dijemur di depan rumah sampai permukaan jalan lumrah di kota ini.

Laman resmi Pemerintah Kota Pekalongan menyebut,  produksi batik salah satu pendorong ekonomi kota, sekaligus membuat Pekalongan dijuluki Kota Batik.

Berdasarkan data Dinas Perdagangan, Koperasi dan UKM Kota Pekalongan, industri batik menyumbang 37% ekspor pada 2021. Angka ini naik dari 26% dari keseluruhan ekspor 2020.

Permintaan batik tak pernah berhenti. Hampir tak ada hari libur bagi kedua perempuan ini. Kerajinan tangan ini tetap mereka lakukan bahkan ketika Degayu disinggahi tamu rutin – banjir rob.

Naiknya air laut ke daratan ini kerap melanda Degayu,  kelurahan paling utara Pekalongan dan paling parah terdampak.

Citra satelit pesisir Pekalongan 2000-2021
Sumber: Yayasan Auriga

Analisis Yayasan Auriga Nusantara memperlihatkan, ada perubahan signifikan pada daratan di Degayu dari 2000-2021. Berdasarkan citra satelit awal 2020, daratan di Degayu masih belum terendam air karena laut masih jauh dari pemukiman.

Citra satelit 2021 memperlihatkan bibir pantai tergerus dan air laut yang membasahi hampir 50% daratan di ujung utara Kota Pekalongan.  Terutama,  di sebelah timur yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Batang.

Terendamnya Degayu sudah terlihat ketika memasuki kelurahan ini. Bau amis dan lembap yang kuat jadi penanda kalau daerah ini lama terendam.

Menuju Degayu dengan melewati sisi utara Jalan Ki Mangunsarkoro, akan terlihat air merendam persawahan lebih dari lapangan sepak bola.

Genangan itu terlihat di sisi kiri dan kanan jalan hingga jalan yang membatasi Kelurahan Gamer dengan Degayu itu seperti memisahkan air yang seharusnya tersambung.

Air laut juga merendam beberapa ruas jalan di Degayu. Yakhoni, Ketua RW 8, Kelurahan Degayu, menyebut, beberapa jalan ada yang terendam sampai tiga, dari 2019 hingga 2022. Salah satu terlihat di depan jalan masuk menuju rumah Kartini dan Faizyah.

Oktober tahun lalu Yakhoni mengunjungi rumah warganya ini harus pakai sepatu boots agar bisa menerobos genangan air semata kaki di jalanan sepanjang 20 meter itu.

Pada Mei tahun lalu pun terjadi banjir rob besar. Kala itu, ratusan jiwa di Degayu harus mengungsi ke wilayah aman. Masjid RW jadi satu lokasi pengungsian.

Warga ada yang memilih mengungsi ke rumah keluarga yang aman banjir, seperti dilakukan Faizyah. Dia mengungsi ke rumah mertuanya berjarak lebih 10 KM dari rumahnya.

“Biar bisa tetap kerja. Saya bawa batik saat ngungsi. Kalau ngungsi di kelurahan angel (susah) kerja,” katanya.

Waktu itu dia harus tinggal 40 hari di rumah mertua hingga banjir surut.

Ibunya, Kartini, mengungsi di mushala dekat rumah. Pada banjir sebelumnya dia memilih tinggal di rumah. Kartini lebih nyaman bekerja di rumah, walaupun banjir membatasi gerakan.

Yo pasrah. Yo sampai nangis, bingung piye,” katanya.

Kartini tak sendirian. Yakhoni bilang, beberapa warga RW 8 banyak seperti Kartini dengan alasan lebih nyaman di rumah dan bisa membatik atau pekerjaan rumah lain lebih mudah kalau tak mengungsi.

***

Fenomena kenaikan air laut ini menjadi masalah menahun di Pekalongan sejak 2007. Heri Andreas, ahli Geodesi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menyebut,  Pekalongan bernasib sama seperti kota-kota di pesisir utara Jawa lainnya.

Ada dua faktor yang menyebabkan kota batik ini merasakan dampak parah banjir rob, yakni, perubahan iklim dan eksploitasi air tanah masif.

Terkait perubahan iklim, kata Heri, muka air laut meninggi karena es di Kutub Utara dan Selatan mencair. Faktor ini disebut Heri masih kurang signifikan karena angka kenaikan air laut umumnya kurang dari satu cm per tahun.

Yang membuat Pekalongan berbeda dari daerah pesisir utara Jawa lainnya adalah penurunan tanah yang tinggi. “Bisa lebih dari 10 cm per tahun. Ketika tanah turun sementara air laut naik terus, maka dataran suatu waktu akan lebih rendah dari laut itu sendiri,” katanya saat berdiskusi daring dengan Mongabay.

Mongabay melihat kondisi lapangan langsung. Ritoni, petambak di Jeruk Sari, Pekalongan, mengatakan, perjalanan menuju tambak dulu seperti menuruni bukit, terjal dan jauh dari jalanan utama yang tinggi. Kondisi itu berlangsung sekitar 1980-an hingga menjelang tahun 2000.

“Dulu,  di sini tambak bagus-bagus. Pantai besar. Kalau mau ke tambak, kami harus turun dulu, seperti dari bukit,” katanya.

Sekarang, tambak yang dimaksud telah dilalap air laut. Beruntung, pria berusia 53 tahun itu masih memiliki tambak lain berjarak hampir satu km di sebelah selatan tambak lama. Tinggi jalan dengan permukaan air tambak sangat dekat, tidak lebih dari 50 cm.

Pada dasarnya, penurunan tanah di pesisir merupakan keniscayaan. Heri menyebut,  hal ini terjadi karena jenis tanah di kawasan ini merupakan aluvial muda, atau sedimen muda. Tanah jenis ini lunak dan memiliki kandungan mineral tinggi hingga mudah menyerap air.

Berbeda dengan tanah di dekat gunung, ditandai dengan kipas aluvial dan cenderung keras.

“Kalau di pantura (pantai utara Jawa), tanah lunak semua.”

Sejalan dengan itu, eksploitasi air tanah di Pekalongan tergolong tinggi.

Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pekalongan mencatat,  pertumbuhan penduduk hampir 40.000 jiwa selama 2000-2021. Data terakhir 2021 mencatat,  penduduk Kota Pekalongan mencapai 308.310 jiwa.

Pertumbuhan penduduk, industri dan perkantoran membuat kebutuhan air tanah meningkat.  Mayoritas penduduk kota, katanya,  masih mengandalkan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari.

Pesisir utara Kota dan Kab. Pekalongan
Citra satelit perbandingan pesisir utara Kota dan Kabupaten Pekalongan tahun 2000 dan 2021. Sumber: Yayasan Auriga Nusantara.

Cayekti Widigdo, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Kota Pekalongan, mengatakan, kebutuhan air penduduk Pekalongan 550 liter per detik. Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Regional Kota Pekalongan, Batang, dan kabupaten Pekalongan hanya mampu menyediakan 150 liter per detik untuk Kota Pekalongan.

“Itu pun baru 80 (liter per detik) yang baru terserap. Masih ada 70 (liter per detik) yang harus tersalurkan,” katanya.

Dia bilang, kendala utama terletak pada jaringan pendistribusian air yang belum siap. Beberapa bahkan harus rekonstruksi karena masih pakai desain lawas yang tak kuat kalau dialiri debit besar.

Selain itu, ketersediaan air permukaan untuk kebutuhan masyarakat pun tidak tersedia terus menerus. Menurut Cayekti, sejak dibangun pada 2019, dalam setahun PDAM Kota Pekalongan ada empat bulan alami kekosongan air permukaan.

“Jadi, kami belum bisa menargetkan kapan bisa realisasikan 100% pipanisasi air bagi Pekalongan,” katanya.

Inilah salah satu alasan trus ada eksploitasi air tanah di Pekalongan. Sekarang, kata Cayekti, air tanah di Pekalongan baru bisa ditemukan saat menggali hingga 40 meter. Tidak seperti dahulu,  air tanah bisa didapat pada pengeboran 25 meter.

Eksploitasi air tanah di Pekalongan juga terjadi secara legal dengan marak program penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (pamsimas) di pesisir Pekalongan mulai 2009.

Kegiatan ini satu cara pemerintah daerah memastikan ketersediaan air minum dan sanitasi. Sayangnya, sumber dari air tanah dalam.

Secara teknis, pamsimas menggali tanah dan mendistribusikan air ke masyarakat. Di Pekalongan, masyarakat memilih air pamsimas dibanding PDAM karena harga lebih terjangkau.

Kartini dan Faizyah, misal, hanya membayar Rp40.000 setiap bulan untuk kebutuhan air mereka. Mereka yang memasang PDAM biasa harus menghabiskan Rp90.000-Rp100.000 per bulan, tergantung pemakaian.

Setidaknya 2-3 pamsimas untuk memenuhi kebutuhan satu desa/ kelurahan.

Menurut Heri, setidaknya ada 400 titik bor air tanah pamsimas di Pekalongan.

“Rakyat senang, sebenarnya itu mencelakai.’

Mercy Corps Indonesia, organisasi dengan program flood reslilience di Pekalongan pun menemukan hal sama. Penelitian bersamanya dengan Akademisi dari Institut Pertanian Bogor dan Universitas Diponegoro, memproyeksikan,  sekitar 5.271 hektar kabupaten dan Kota Pekalongan hilang karena kenaikan permukaan air laut dan penurunan tanah pada 2035.

Dengan kondisi ini berarti, daratan Pekalongan tenggelam empat kali lipat dibandingkan 1.478 hektar area yang dilahap air laut hingga 2020. Air pun diperkirakan masuk antara 8,5 km sampai 9,4 km dari garis pantai pada 2035.

“Menurut kami, fakta Kota Pekalongan ini akan kehilangan 80% wilayah pada 2035 jika tidak melakukan sesuatu adalah hal yang signifikan,” ucap Denia Syam, Program Manager and Advocacy Specialist Mercy Corps Indonesia kepada Mongabay.

Pemerintah Kota Pekalongan bukan tidak tahu mengenai masalah perubahan iklim dan penurunan muka tanah di wilayah mereka. Namun, kata Heri, penanganan masih kurang tepat.

Menurut Cayekti,  Badan Geologi pusat di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga pernah memasang enam patok pantau untuk membuktikan penurunan tanah di Pekalongan pada 2020. Hasilnya, penurunan tanah terjadi dengan kecepatan 5,7 cm-5,8 cm per tahun.

Temuan ini berbeda dengan hasil penelitian Heri Andreas yang menyebut rata-rata penurunan tanah di Kota Batik ini 10 cm per tahun dan beberapa wilayah ada mencapai 15 cm-20 cm per tahun.

“Apapun metode dan alat yang digunakan, kenyataannya (tanah) Pekalongan turun,” ucap Cayekti.

***

Penurunan tanah di Pekalongan disebut Cayekti memperparah kenaikan muka air laut karena perubahan iklim. “Kalau yang terjadi di sini karena naiknya muka air laut, mestinya semua pantura dampaknya sama,” katanya.

Karena itu, katanya, Pemkot Pekalongan sudah memandang banjir rob sebagai bencana jangka panjang dan mengancam eksistensi kota mereka.

Untuk memitigasinya, ada tiga pendekatan mereka lakukan, pertama,  melindungi dataran dari luapan air laut, kedua, melindungi kawasan pemukiman dari luapan air sungai, dan, ketiga, pembangunan rumah pompa.

Pada dasarnya, kata Cayekti, proteksi dalam bentuk tanggul dan parapet. Kedua konstruksi yang dipercaya anti banjir rob ini dapat ditemukan di beberapa titik di kota dan Kabupaten Pekalongan.

Bentuk tanggul bukan sekadar tembok raksasa pemisah air laut dengan daratan. Secara teknis, konstruksi berupa dua tembok beton panjang membentang secara horizontal. Jarak kedua tembok mencapai 15 meter, rongga antara tembok ini terisi air oleh drainase dari warga dan akan memerangkap air yang datang dari laut di utaranya.

Tanggul yang menyerupai selokan raksasa dengan rumah pompa di kedua ujungnya untuk mengontrol air supaya tidak melimpas ke selatan. Air dibuang ke sungai di timur atau barat, Kali Banger dan Kali Bremi.

Cayekti menyebut, pembangunan tanggul pertama di Kota Pekalongan mulai dari sisi barat pada 2017. Tanggul yang rampung pada 2019 ini satu kesatuan dengan di Kabupaten Pekalongan.

Biar bisa tetap kerja. Saya bawa batik saat ngungsi. Kalau ngungsi di kelurahan angel (susah) kerja

Faizyah

Laman resmi Pemerintah Jawa Tengah menyatakan, proyek tanggul yang memakan biaya hingga Rp514 miliar ini dalam tiga paket. Dua paket di Kabupaten Pekalongan, dan satu di Kota Pekalongan.

Di Kabupaten Pekalongan, tanggul sepanjang lima kilometer, membentang dari Kecamatan Siwalan hingga Wonokerto. Tanggul ini dipisahkan Kali Sragi Baru, lalu lanjut memanjang dari Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan hingga Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan.

Untuk parapet atau dinding pelindung, merupakan konstruksi untuk melindungi daratan pinggir laut atau sungai. Bentuknya seperti dinding yang dibangun tinggi, hingga daratan dan permukaan laut atau sungai lebih rendah daripada permukaan atas parapet.

Bangunan yang menggantikan bibir sungai atau laut ini, kata Cayekti,  pertama kali dibangun sekitar 2015. Konstruksi membentang di Jalan Samudra dan Jalan Kunti Utara, sepanjang dua km dari Krematorium sampai Taman Wisata Pasir Kencana ini rampung pada 2018.

Parapet juga dibangun di beberapa kali besar, seperti Kali Loji tiga km dan Kali Banger sekitar 3,4 km.

Sebagian warga Kota Pekalongan menyebut dampak rob berkurang sejak tanggul dan parapet dibangun, seperti dikatakan Kusriana dan Muhammad Yusuf, pasangan perajin batik di Kelurahan Pabean, sekitar 4,5 Km dari Degayu.

“Biasa banjir suka datang tinggi, sekarang tidak masuk. Jadi efek tanggul sudah berasa,” ucap Kusriana.

Sebelum ada tanggul air laut sering masuk ke rumah dan membuat aktivitas ekonomi terganggu. Biasanya, Kusriana nglorod atau pelelehan lilin sampai 120 kain per minggu, tetapi banjir rob kerap masuk ke rumah sebelum ada tanggul. Nglorod pun hanya bisa 60 potong kain.

“Setelah ada tanggul dan peninggian jalan, alhamdulillah, air tidak lagi masuk ke rumah.”

Meskipun begitu, tanggul dan parapet hanya penanganan sementara. Heri katakan, konstruksi ini sebagai ‘pereda nyeri’ belaka karena fenomena penurunan tanah yang memperparah dampak perubahan iklim di Pekalongan tidak selesai dari akarnya. Tanggul dan parapet, katanya,  akan ikut turun seiring waktu hingga diperkirakan tidak akan lama.

Hal ini terlihat pada tanggul yang membentang dari Jeruk Sari, Kabupaten Pekalongan, hingga Kandang Panjang, Kota Pekalongan. Beberapa kali air laut melimpasi tanggul sepanjang sekitar 2,3 km ini.

Pada 11 Oktober tahun lalu, sekalipun sudah lebih tiga jam setelah air laut melimpas, bagian utara tanggul masih sulit dilewati motor karena abrasi banyak melahap tanah di sana.

Di hari sama, air tidak hanya limpas, juga menjebol satu titik di parapet yang dibangun di Kali Sragi Baru itu. Permukaan air lebih tinggi dari daratan menciptakan genangan luas di sebelah barat Rumah Pompa Pabean, sisi Jeruk Sari, Kabupaten Pekalongan.

Dampaknya, jalan yang biasa dilewati warga tergenang dengan ketinggian beragam. Di beberapa titik, kendaraan bermotor bahkan tak bisa melintas karena air hampir menenggelamkan ban.

Menurut Cayekti, parapet yang dibangun untuk menahan air laut di sekitar kawasan krematorium pada 2016 menunjukkan penurunan tanah dengan kecepatan yang mengkhawatirkan.

Awalnya, permukaan laut dengan permukaan jalan berbeda  sekitar 15 cm. Kemudian, dibangun parapet ketinggian 70 cm dari permukaan jalan pada 2018, hingga jarak permukaan laut dengan puncak parapet 85 cm.

Kemudian jarak keduanya mengecil jadi hanya 15 cm pada 2020. “Ini berarti naiknya air laut setinggi 70 cm dalam waktu 2,5 tahun. Cepat sekali.”

Pemerintah tampaknya tak kapok untuk terus pakai ‘solusi’ dengan bangun infrastruktur fisik. Parapet kembali ditinggikan pada 2018 dan rampung pada 2022.

Ada juga pembangunan tanggul di timur Kota Pekalongan sejak 2021, membentang dari Kali Loji hingga Kali Gabus yang berbatasan dengan Batang, diperkirakan rampung tahun ini.

Sejauh ini, Pemerintah Kota Pekalongan, Jawa Tengah dan pusat sudah menggelontorkan dana lebih Rp1,2 triliun untuk mengatasi banjir rob. Angka ini akan masih terus bertambah. Cayekti bilang, akan ada pembangunan parapet di pinggir sungai lain dalam 2-3 tahun mendatang.

Selain itu, dalam waktu 4-5 tahun mendatang perlu upaya peninggian tanggul di Jeruk Sari. “Iya, kata Pak Heri Andreas memang begitu, ini hanya pain killer,” kata Cayekti.

Pemerintah menyadari, penanganan mereka hanya bersifat sementara dan berpeluang buang-buang anggaran. Namun, ini dinilai cara cepat dan terlihat masyarakat.

Achmad Afzan Arslan Djunaid, Walikota Pekalongan kepada Mongabay mengatakan, fenomena banjir rob sebagai hal yang tidak bisa dilawan.

“Penanganan yang kita lakukan memang semua bersifat sementara. Apapun, sebetulnya kita lawan alam sangat sulit. Yang bisa kita lakukan adalah mencegah, bukan mengatasi,” katanya.

Ucapan Achmad bertentangan dengan Heri. Pakar Geodesi ini mengatakan, banjir rob di Pekalongan bisa selesai dengan kemauan kuat.

Yang paling utama, kata Heri, menghentikan eksploitasi air tanah. Banyak kota di dunia sudah setop penggunaan air tanah dengan tegas dan berhasil.

Dalam sebuah penelitian 2013, Tokyo berhasil menekan penggunaan air tanah sejak awal 1960 dan berhasil menghentikan penurunan tanah dalam waktu 10 tahun setelah itu.

Ibu Kota Thailand, Bangkok, pun menghentikan penggunaan air tanah dengan cara menarik pajak tinggi pada aktivitas itu dibandingkan menggunakan air yang disediakan pemerintah. Peraturan ini didorong Thailand sejak 1985 dan penurunan tanah di Bangkok dikatakan dalam penelitian itu mengalami perlambatan.

Heri menyadari ini mungkin sulit diterapkan di Kota Pekalongan. Kalau berkaca dari pengalaman Jakarta dalam menangani masalah sama, perlu dana sampai Rp20 triliun untuk pipanisasi.

Jumlah ini masih tergolong kecil dibandingkan anggaran membuat tanggul dan giant sea wall yang berkisar antara Rp400 triliun-Rp600 triliun.

“Pekalongan bisa lakukan ini kalau memang ada kemauan. Pemerintah kota dan provinsi harus memiliki visi sama.”

Selain itu, cara penanggulangan lain adalah relokasi masyarakat terdampak. Hal ini disebut Heri lebih murah. Berdasarkan perhitungannya, menghabiskan Rp16 triliun untuk relokasi.

Setelah relokasi, eksploitasi air tanah bisa setop di wilayah pesisir dan memperlambat penurunan tanah. Kawasan yang ditinggalkan pun bisa diubah untuk pelestarian mangrove guna menahan terjangan air laut yang meninggi setiap tahun karena perubahan iklim.

Ide untuk memindahkan masyarakat terdampak perubahan iklim sebetulnya sudah pernah disuarakan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Hal ini dia lontarkan saat berbicara dalam dialog yang bertajuk ‘Masa Depan Pekalongan, Konsekuensi dari Setiap Kebijakan dan Aksi’ September lalu.

Menurut dia, komunikasi untuk memindahkan masyarakat terdampak sudah mulai dilakukan di Jawa Tengah lain seperti Demak. “Kami lagi dekati masyarakat, kalau mau (pindah), kami bangunkan rumah.”

Untuk Pekalongan, kata Achmad, wacana relokasi serupa pernah disosialisasikan pada masyarakat terdampak. “Pernah kita sosialisasikan, tapi masyarakat tidak mau.”

Padahal,  katanya, sosialisasi di Kelurahan Panjang, Panjang Baru, Bandengan hingga Pabean, merupakan daerah langganan banjir menahun. Wacana ini pun menguap seiring efek temporer konstruksi penahan banjir yang sudah dibangun.

Sisi lain, kata  Cayekti, keterbatasan ruang jadi tantangan tersendiri bagi rencana relokasi di Pekalongan.

Sisa ruang yang ada berupa sawah. “Secara aturan tata ruang, ini tidak boleh dialihfungsikan,” katanya.

Dengan kata lain, pilihan memindahkan masyarakat terdampak ke luar Kota Pekalongan. Untuk melakukan ini, Pemerintah Kota Pekalongan harus berkoordinasi dengan pemerintah di kota atau kabupaten lain yang hendak jadi lokasi relokasi.

Opsi itu pun, katanya, tak mudah, karena keberlanjutan hidup masyarakat harus tetap dipastikan di wilayah baru. “Mereka harus dipastikan dapat memiliki mata pencaharian, akses pelayanan pendidikan, kesehatan, dan lain-lain,” kata Cayekti.


Liputan ini didukung oleh Internews’ Earth Journalism Network dan pertama kali terbit di Mongabay Indonesia pada 30 April 2023.
About the writer

Richaldo Hariandja

Richaldo Y. Hariandja or Rico started his journalism career in 2013 at Media Indonesia. For the past five years, the 33-year-old has worked as a freelance journalist for several media outlets, most notably...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.