Penangkapan lobster menggunakan kompresor berbahaya bagi penyelam, tetapi nelayan Sinakak tak punya pilihan.

Sebuah perahu bermesin tempel 15 PK datang dari arah laut untuk merapat ke dermaga kayu di Pulau Matapi. Empat awaknya, nelayan Dusun Sinakak (Sinaka), Kepulauan Mentawai, turun dengan tergesa.

Tiga di antara mereka berusia muda. Pakaian mereka basah dan tampak lelah usai menyelam. Hanya Jertianus, pemilik perahu itu, yang pakaiannya kering.

Jertianus, lelaki tertua di perahu tersebut, terlihat senang. Ia mengambil kantong dari jaring yang berisi lobster. Kantong itu sengaja disangkutkan di ujung perahu agar terendam air untuk menjaga agar lobster tetap hidup. Ketika jaring itu ia angkat, tampak puluhan lobster bergerak berdesakan di dalamnya.

Sebelumnya, sudah beberapa hari Jerti, begitu ia biasa disapa, tampak murung di depan pondok gurita miliknya, yang berdiri tak jauh dari dermaga. Penyebabnya, ia dan nelayan lain di Sinakak semakin sulit menangkap gurita, komoditas laut andalan mereka.

Ya, dusun di Kecamatan Pagai Selatan itu adalah penghasil gurita terbesar di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Kawasannya berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, dengan garis pantai 199,7 km. Populasi gurita tersebar di 20 pulau kecil dan 100 gosong (pulau pasir), di wilayah tersebut.

Namun belakangan ini gurita semakin sulit ditemukan. Tangkapan mereka jauh menurun. Dari ratusan kilogram per hari menjadi hanya satu-dua ekor, menurut Jerti.

Hal tersebut tentu saja berpengaruh besar kepada dompet Jerti yang profesi utamanya adalah pengepul gurita tangkapan para nelayan Sinakak.

Biasanya dia menjual gurita hasil tangkapan di Sinakak ke Sikakap, kecamatan teramai di Pulau Pagai Utara. Di sana sudah menunggu para makelar yang akan membawa gurita tersebut ke Padang, ibu kota Sumatra Barat.

“Dulu saya pernah menampung satu ton gurita dalam sehari, saat gurita masih sangat banyak, sekarang tidak lagi. Sekarang saya mau cari lobster dan teripang lagi,” kata Jerti, yang setiap harinya memodali tujuh atau delapan nelayan dengan perahu mesin tempel dan bahan bakar untuk melaut.

Karena itulah, Jerti amat sumringah ketika hari itu mereka berhasil membawa pulang puluhan lobster. Hasil tangkapan tersebut dibawanya ke depan pondok, dimasukkan ke keranjang plastik, lalu ditimbang. Sebagian besar adalah jenis lobster bambu (Panulirus versicolor) dan beberapa lobster pasir (Panulirus homarus). Semua berukuran sebesar telapak tangan.

Seekor lobster bambu, yang berwarna hijau berkilat dengan garis hitam seperti ruas bambu, beratnya bisa mencapai 1 kilogram. Tangkapan yang lumayan, karena pedagang di Sikakap bisa membelinya Rp320 ribu per kg. Harga lobster pasir sedikit lebih murah.

Selesai ditimbang, puluhan lobster itu dimasukkan kembali ke dalam jaring untuk dibawa ke keramba apung milik kelompok nelayan Sinakak. Mereka lantas dibenamkan lagi ke air laut agar tetap hidup dan segar saat dibawa ke Sikakap esok hari.

Sulit tanpa kompresor

Bayangan keuntungan dari hasil tangkapan lobster tersebut, ternyata dibarengi besarnya risiko yang harus dihadapi para nelayan. Pasalnya, untuk menangkap lobster, para nelayan itu mesti menyelam dan mereka menggunakan kompresor, yang biasa digunakan penambal ban di pinggir jalan, untuk mengalirkan oksigen kepada para penyelam.

Lobster tak bisa ditangkap dengan cara dipancing. Hewan tersebut hidup di lubang-lubang batu karang, sehingga harus menyelam untuk menangkapnya.

Menurut Jertianus, tanpa kompresor sulit bagi mereka untuk menangkap lebih banyak lobster dan teripang. Mereka akan cepat lelah karena mesti sering bolak-balik ke permukaan laut untuk bernapas.

Sedangkan, lanjutnya, alat selam berstandar scuba diving terlalu mahal untuk para nelayan tersebut.

Jerti memiliki tiga kompresor yang dilengkapi selang, peralatan selang ke hidung, dan kacamata selam yang ia beli di Padang seharga total Rp15 juta. Sementara harga perlengkapan scuba diving plus tabung oksigen bisa lebih dari Rp10 juta per unitnya.

“Sebenarnya dengan peralatan scuba diving itu lebih enak, oksigennya bersih. Tetapi itu sangat mahal, tidak terjangkau oleh saya,” katanya.

Jerti berdalih mereka tidak pernah menyelam terlalu dalam dan lama. “Hanya di tepi-tepi pulau yang dangkal saja, kedalaman 10 hingga 15 meter,” ujarnya.

Dia bercerita pada tahun 1999 pernah menjadi penyelam dengan kompresor untuk menangkap teripang, yang harganya saat itu bisa mencapai Rp800 ribu/kg tergantung jenisnya. Kompresor membantunya untuk bertahan di dalam laut hingga tiga jam.

“Saya menyelam cari swalo (teripang) gajah ke tempat yang dalamnya 50 hingga 60 meter. Sampai heran orang dari Padang, yang juga menyelam mencari teripang, melihatnya. ‘Kenapa orang pulau lama sekali menyelam?’” kisah Jerti.

Bahaya penggunaan kompresor

Penggunaan kompresor untuk menyelam memang berbahaya. Oksigen yang dihasilkan kompresor tidak 100% murni, bisa tercampur gas CO2 hasil pembuangan mesin diesel penggerak kompresor itu sendiri. Selain membahayakan penyelam, asap kompresor juga merusak ekosistem laut tersebut.

Nelayan tradisional yang menyelam itu juga tidak melengkapi diri dengan perlengkapan standar menyelam, termasuk alat petunjuk kedalaman. Oleh karena itu mereka rentan terkena decompression stop saat menuju ke permukaan laut, yang bisa berujung pada kematian.

Sebab itulah pemerintah melarang penggunaannya, seperti termaktub dalam pasal 9 UU No 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

Jerti mengakui bahwa para nelayan sebenarnya memahami risiko penggunaan kompresor. Sejak tahun 2000, menurut dia, sudah banyak nelayan yang meninggal dunia akibat penggunaan kompresor.

“Ada dua sampai tiga dalam setahun. Tidak hanya penyelam dari Sinakak, tapi juga yang dari Sibolga, juga orang Madura. Mereka dikubur di pulau-pulau kecil di depan sana,” kata Jerti.

“Walau dapat uang banyak, tapi seperti uang panas, uangnya menghilang, entah untuk apa saja. Akhirnya saya dan banyak orang di Sinakak berhenti menyelam dalam mencari teripang gajah, ngeri karena sudah banyak yang meninggal, ada yang lumpuh juga,” sambungnya.

Walau demikian, hingga saat ini para nelayan tak kapok menggunakan kompresor. Mereka berdalih, kompresor aman digunakan karena hanya untuk mencari lobster yang lokasi hidupnya tidak terlalu dalam.

“Kalau hanya di dekat-dekat sini, tidak lebih dari 15 meter, itu masih aman. Saya menyelam dari dulu dan sekarang masih tidak ada efeknya, tidak sesak napas,” kata Jerti.

Tak kuasa melarang

Penyuluh Perikanan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan di Pagai Selatan, Bayu Sisyara mengatakan, sering menyaksikan nelayan di Sinakak menyelam menggunakan kompresor. Namun ia tidak kuasa untuk tegas melarang mereka.

“Kompresor itu sudah dilarang oleh pemerintah, tapi di lapangan kita sulit melarangnya, karena itu menyangkut hidup mereka. Paling caranya cuma memberikan penyuluhan ke masyarakat bahayanya kompresor,” kata Bayu.

Menurut dia, nelayan di Sinakak sebenarnya sudah tahu dan mengerti bahaya menggunakan kompresor untuk menyelam. Sebab mereka sudah menyaksikan banyak nelayan yang meninggal karena menyelam menggunakan kompresor.

Kompresor sudah dilarang pemerintah, tapi di lapangan kita sulit melarangnya

Bayu Sisyara, Penyuluh Perikanan Pagai Selatan

Bayu mengaku kerap mengingatkan kembali akan bahaya tersebut kepada para nelayan. Namun, menurutnya, jawaban yang kerap muncul adalah “Itu puri, Pak Bayu.”

Puri adalah kependekaan dari “purimanuaijat“, sebuah kata dalam bahasa Mentawai yang berarti “kehidupan” atau “sumber pendapatan”.

Sementara itu, Penjabat Bupati Mentawai Fernando Jongguran Simanjuntak menyatakan akan lebih giat mensosialisasikan bahaya penggunaan kompresor dan mempromosikan cara menangkap ikan dan lobster yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

“Nelayan melakukan itu untuk bertahan hidup sehingga sering kali mengabaikan semuanya. Ini memang tak bisa dibiarkan,” kata Fernando saat diwawancarai pada 27 Juli 2023 di Tuapeijat, Pulau Sipora.

“Kita harus memberikan metoda penangkapan alternatif ke teman-teman nelayan.”


Liputan ini didukung oleh Pulitzer Center.

Baca juga:

About the writer

Febrianti

Febrianti is a journalist who lives in Padang, West Sumatra. Currently, Febrianti is a contributor for Tempo in West Sumatra and the Editor-in-Chief of an online environmental and travel site, Jurnalistravel.Com....

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.