Uji mandiri air dari tujuh titik sungai di Jakarta menunjukkan logam berat seperti tembaga dan timbal ada di sedimen sungai dan ikan.

Tulisan ini bagian kedua dari seri liputan Kompas tentang cemaran logam berat di Jakarta yang didukung AJI Jakarta dan Internews EJN.

Cahaya matahari di tengah hari memantulkan warna abu kehijauan dari aliran air Drainase Cengkareng, di RT 007/008 Kelurahan Kedaung, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Permukaan air di drainase selebar sekitar 60 meter itu surut di tengah musim kemarau.

Namun, tidak dengan kesetiaan Firman bersama beberapa pria lainnya yang duduk berjam-jam di pinggir aliran air bersama alat pancing ikan mereka.

Aktivitas itu cukup sering Firman lakukan untuk mengisi waktu luangnya di antara pekerjaan harian yang serabutan. Jika beruntung, pria 42 tahun itu bisa mendapat ikan gabus atau ikan patin dari air sungai yang keruh. Ia pun sesekali membawa ikan hasil pancingannya untuk dimakan di rumah bersama istri dan anak.

Firman sebenarnya takut rezeki ikan itu membawa penyakit. Drainase Cengkareng, yang mempertemukan Sungai Pesanggrahan, Angke, dan Mookervaart, itu sudah lama berwarna kehitaman dan menjadi tempat perlintasan sampah rumah tangga. Di sisi lain, ia cemas limbah industri ikut mencemari air hingga ikan yang hidup di sana.

”Daerah sini, kan, banyak pabrik. Beberapa ratus meter dari sini ada pabrik baterai. Bisa jadi logam beratnya bocor ke sini,” ujarnya Selasa (15/8/2023).

Ia ingat, sekitar tahun 2015, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan Camat Cengkareng saat itu pernah mengecam pembuangan limbah berbahaya oleh industri-industri di sekitar sungai di kawasan tersebut. Tidak hanya industri besar, tetapi juga industri rumahan tak berizin yang eksis di pinggiran Jakarta tersebut.

Firman dan warga di kawasan bantaran sungai itu menduga polusi sungai mengotori sumur yang dulu menjadi sumber air bersih mereka. Sumur yang masih ada pun sudah mengeruh sehingga tidak lagi digunakan, sekalipun untuk mandi. Kini, warga memilih menggunakan air perpipaan dari perusahaan daerah air minum (PDAM).

Baca bagian pertama: Menguji kandungan logam berat air sungai Jakarta

Kekhawatiran warga itu diantisipasi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta melalui pemantauan kualitas air sungai secara rutin. Perlu diketahui, Jakarta memiliki 13 aliran sungai serta empat saluran buatan, drainase, dan kanal. Sebanyak 12 dari total 17 aliran di antaranya dimanfaatkan oleh masyarakat maupun dalam skala kota, misalnya sebagai bagian dari pengendalian banjir dan saluran pembuangan.

Sebagian warga masih memakainya untuk keperluan mandi, cuci, kakus (MCK).

Pemantauan dilakukan di 120 titik dari 23 ruas sungai empat kali setahun. Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemantauan itu mengukur baku mutu atau kadar aman lebih dari 20 parameter fisika, kimia, dan biologi di setiap sampel air sungai.

Di antara unsur yang diteliti adalah logam berat. Logam berat adalah logam yang memiliki berat jenis lebih besar dari 5 gram per sentimeter kubik. Logam yang berasal dari alam ini biasa dipakai atau dihasilkan dari proses industri. Logam berat yang dipantau DLH di air sungai adalah merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), tembaga (Cu), timbal (Pb), nikel (Ni), dan krom heksavalen.

Koordinator Sub-kelompok Pemantau Kualitas Lingkungan DLH DKI Jakarta Rahmawati mengatakan, di Jakarta, unsur-unsur itu umumnya muncul dari aktivitas manusia. Aktivitas yang dimaksud, antara lain, penggunaan barang-barang yang bisa melepas logam berat, kegiatan industri logam, elektromagnetik, tekstil, atau pengecatan yang melakukan peleburan atau pencucian hasil produksi yang dibuang ke badan air.

”Logam berat di air sungai hanya ditemukan di sebagian kecil dari lokasi kami yang kami teliti, dan spesifik hanya Cu, Zn, dan Pb,” katanya di Jakarta, Selasa (8/8/2023).

Hasil pemantauan air sungai Jakarta tahun 2018-2022 menunjukkan, unsur seng, tembaga, dan timbal cukup sering muncul di titik dan periode tertentu. Secara persentase, logam berat seng yang melebihi baku mutu 0,05 miligram per liter (mg/l) maksimal ditemukan di 16 persen sungai yang dipantau. Persentase kualitas baku mutu seng terendah ini terjadi pada musim kemarau 2018.

Tembaga yang tidak memenuhi baku mutu 0,02 mg/l ditemukan pada maksimal 4 persen sungai pada periode musim hujan pada 2021 dan 2022. Untuk timbal yang melebihi baku mutu 0,03 mg/l ada pelonjakan tahun 2022 hingga 14 persen dari seluruh titik sungai yang diteliti sampelnya.

Sulit terdeteksi

Untuk memperbarui data itu, Kompas melakukan uji mandiri di tujuh titik sungai, yaitu Drainase Cengkareng, Sungai Cipinang, Sungai Buaran, dua lokasi Sungai Ciliwung, Kali Item, dan Sungai Grogol. Sampel air sungai diambil dalam kurun waktu 25 Juli-15 Agustus 2023.

Titik itu tersebar di Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat. Kepadatan permukiman dan keberadaan industri yang diduga dapat membuang limbah logam berat ke sungai menjadi salah satu pertimbangan pemilihan lokasi. Hal ini karena limbah logam berat di air cenderung tidak bisa mengalir jauh dari sumber.

Kompas juga meneliti air tanah di tujuh lokasi sungai. Ini bertujuan untuk menemukan kesamaan kualitas air sungai dan air tanah bantaran kali. Menurut riset Peneliti Hidrogeologi Institut Teknologi Bandung, Dasapta Erwin, aliran sungai perkotaan bisa mengintrusi air tanah di sekitarnya karena proses meresapnya air sungai ke akuifer ditambah dengan masifnya penyedotan air tanah.

Sampel air tanah diambil pada jarak maksimal 10 meter dari pinggir sungai. Air tanah itu berasal dari sumur bor dengan kedalaman 13 meter hingga 30 meter. Adapun satu sampel air tanah di dekat Drainase Cengkareng diambil dari sumur gali dengan kedalaman kurang dari 10 meter. Sebagian kecil warga menggunakan air tanah itu untuk minum, tetapi mayoritas hanya untuk keperluan cuci dan mandi.

Logam berat ini kalau di air cenderung di bawah hingga tersedimentasi, bisa juga dimakan ikan-ikan. Dalam penelitian-penelitian kami, kadar logam berat lebih tinggi di sedimentasi sungai atau ikan.

Mia Azizah, Dosen Biologi Lingkungan, Univesitas Nusa Bangsa

Di setiap lokasi, Kompas mengambil masing-masing satu liter sampel air sungai dan tanah antara pukul 10.00 dan pukul 13.00. Kemudian, keseluruhan sampel itu diteliti di laboratorium Adhikari, Cibubur, Jakarta Timur.

Hasilnya menunjukkan, logam berat seng, tembaga, dan timbal nyaris tidak terdeteksi di air sungai maupun air tanah di tujuh lokasi di atas. Hanya ada satu sampel air tanah di dekat Sungai Cipinang yang memiliki kandungan seng 0,0215 mg/l yang di bawah baku mutu, sesuai ukuran parameter air sanitasi di Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 32 Tahun 2017.

Dosen Biologi Lingkungan Universitas Nusa Bangsa, Mia Azizah, yang sering melakukan penelitan logam berat di ekosistem sungai, menilai, ini bisa mengindikasikan air sungai di Jakarta masih memenuhi baku mutu logam berat. Akan tetapi, logam berat kemungkinannya lebih banyak mengendap di sedimen sungai dan ikan yang hidup di sungai.

”Logam berat ini kalau di air cenderung di bawah hingga tersedimentasi, bisa juga dimakan ikan-ikan. Dalam penelitian-penelitian kami, kadar logam berat lebih tinggi di sedimentasi sungai atau ikan,” kata Mia, Minggu (16/7/2023).

Logam berat yang terkandung dalam air atau makanan seperti ikan bisa berisiko bagi kesehatan manusia. Dosen Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia, Dewi Sumaryani Soemarko, menjelaskan, logam berat, seperti seng, tembaga, dan timbal, berbahaya jika terakumulasi sedikit demi sedikit di dalam tubuh.

”Logam berat ini akan mengendap dulu sebelum dikeluarkan tubuh pelan-pelan. Tergantung jenisnya, logam yang tidak bisa dicerna ini bisa bertahan bulanan sampai puluhan tahun di tubuh manusia,” katanya saat dihubungi pada Kamis (7/9/2023).

Kadar logam berat di tubuh bisa diukur, antara lain, lewat tes darah atau urine. Sayangnya, kata dokter spesialis okupasi itu, kontaminasi logam berat sulit dideteksi jika tubuh tidak terpapar dalam jumlah besar hingga menimbulkan gejala kesehatan akut, seperti keracunan.

Bergantung target organ yang dihinggapi, dampak kesehatan dari akumulasi logam berat bisa beragam. Contohnya, timbal yang terakumulasi di otak bisa menghambat perkembangan kognitif. Lalu, seng yang terkumpul di ginjal melampau ambang batas bisa mengakibatkan kerusakan ginjal. ”Intoksikasi logam berat umumnya berefek kronik. Sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit,” ujarnya.

Perkuat pengawasan

Pemantauan logam berat di air sungai Jakarta sampai saat ini masih dijalankan sesuai PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Adapun mulai tahun 2023, DLH DKI turut mengukur logam berat di sedimentasi sungai. Hasilnya akan keluar tahun depan, pada 2024.

”Berdasarkan hasil pemantauan kita dari tahun ke tahun, untuk parameter logam berat di air selalu di bawah baku mutu atau tidak terdeteksi. Maka, kali ini kita ambil sampel di sedimen untuk kita bandingkan dengan air yang kita ambil. Kalau cukup signifikan, berarti logam itu memang larut di air, tetapi terendapkan di sedimen,” kata Rahmawati.

Hasil dari pengecekan logam berat di sedimen ini, katanya, akan berguna untuk memperketat prosedur pengerukan dan pemindahan sedimen sungai. ”Tentunya perlu lokasi khusus untuk menaruh sedimen yang ada logam beratnya supaya enggak mengontaminasi di tempat lain,” katanya.

Kita selalu bilang perlu kolaborasi, baik antar institusi di pemerintahan maupun masyarakat di tingkat kelurahan hingga kecamatan, untuk minimal paham tentang pengelolaan limbah agar tidak mencemari sungai kita.

Rachmat Fajar Lubis, BRIN

DLH DKI juga akan terus melakukan evaluasi jika ada logam berat yang kadarnya tinggi di wilayah yang mereka pantau. Mereka akan mengintervensi dengan mengidentifikasi sumber pencemaran, lalu melibatkan instansi terkait dan masyarakat untuk menanggulanginya.

”Kalau itu dari pemukiman, kita harus berkoordinasi dengan Dinas Sumber Daya Air yang berfungsi membuat IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) Komunal sehingga IPAL tidak langsung ke badan air. Ketika sumber utamanya kegiatan usaha, itu juga jadi tupoksi DLH, kami harus memperketat pengawasan kepada industri yang mencemari badan air,” ujar Rahmawati.

Ketua Kelompok Riset Interaksi Air Tanah Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air (PRLSDA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Rachmat Fajar Lubis mengatakan, Pemerintah Daerah Jakarta sayangnya belum bisa secara intensif mengawasi pembuangan limbah industri rumahan. Hal ini berpotensi menimbulkan cemaran berbahaya, seperti logam berat.

”Industri besar rajin melaporkan dan mudah dipantau. Tapi, pengawasan serupa belum intensif dilakukan untuk pembuangan limbah industri rumahan. Baru setahun sekali yang saya tahu. Idealnya sebulan sekali,” katanya.

Bagaimanapun, tanggung jawab menjaga lingkungan sungai dari logam berat utamanya juga di masyarakat tidak hanya ada di industri dan pemerintah. Dewi Soemarko mengatakan, kolaborasi masyarakat, pemerintah, dan swasta penting untuk menjaga lingkungan dari limbah berbahaya.

”Kita selalu bilang perlu kolaborasi, baik antar institusi di pemerintahan maupun masyarakat di tingkat kelurahan hingga kecamatan, untuk minimal paham tentang pengelolaan limbah agar tidak mencemari sungai kita,” katanya.


Liputan ini merupakan bagian dari program fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta atas dukungan Earth Journalism Network (EJN) dan pertama kali terbit di Kompas pada tanggal 23 September.
About the writer

Erika Kurnia is a dynamic journalist based in Jakarta, with more than five years of experience in online and daily newspaper media. She is experienced in writing about health, economic and metropolitan...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.