Praktik buruk pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup, khususnya perkebunan sawit, semakin nyata. Berbagai kebijakan disusun untuk memuluskan serangkaian aktivitas yang ilegal menjadi legal hingga tampak seperti menyokong kejahatan lingkungan.
Demikian kesimpulan dari Policy Brief “Fakta di Balik Pemutihan Sawit Ilegal dalam Kawasan Hutan” hasil kerja bersama Tranformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Pantau Gambut, dan Greenpeace Indonesia yang dirilis pada Rabu (25/10/2023).
Dalam policy brief tersebut dipaparkan bahwa agenda pemutihan kebun kelapa sawit, yang terlanjur ditanam di dalam kawasan hutan seluas 3,3 juta hektare (ha) di seluruh Indonesia, menunjukkan betapa minimnya komitmen negara untuk “melindungi lingkungan hidup, memberantas kejahatan lingkungan hidup, memberantas korupsi, dan menempatkan keberpihakannya kepada rakyat.”
Kebijakan tersebut bahkan, tulis mereka, melindungi kejahatan lingkungan berulang yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Menurut Greenpeace dan TheTreeMap (2019) terdapat total luas sekitar 3.118.804 ha kebun kelapa sawit di dalam kawasan hutan di Indonesia. Setengahnya merupakan milik lebih dari 600 perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang masing-masing mengusahakan lebih dari 10 ha di dalam kawasan hutan.
Sawit tersebut ditanam di atas hutan yang berfungsi sebagai hutan konservasi dan lindung dengan luas masing-masing 90.200 ha dan 146.871 ha. Data tersebut turut mengidentifikasi 25 besar grup anggota RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) berdasarkan total luas kelapa sawit yang ditanam di kawasan hutan.
Sepuluh grup teratas yang menanam sawit di kawasan hutan adalah Sinar Mas, Wilmar, Musim Mas, Goodhope, Citra Borneo Indah, Genting, Bumitama, Sime Darby, Perkebunan Nusantara, dan Rajawali/Eagle High.
“Perkebunan sawit ilegal menjamur di berbagai wilayah –termasuk di kawasan hutan yang menjadi area lindung dan konservasi– karena buruknya tata kelola oleh pemerintah, tidak adanya transparansi, dan lemahnya penegakan hukum,” kata Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
“Bukannya memperbaiki hal tersebut, pemerintah justru melakukan pemutihan sawit ilegal di kawasan hutan. Kebijakan yang menurutnya jelas tidak berpihak kepada lingkungan serta masyarakat adat dan masyarakat tempatan yang terdampak, melainkan ditengarai menguntungkan oligarki sawit di lingkaran kekuasaan,” sambung Fitra.
Memperparah kebakaran hutan
Pada konteks ekologi, menurut tim peneliti, agenda pemutihan sawit ilegal yang berada di area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) akan semakin memperparah terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) beserta dampak ekologis yang menyertainya.
Pantau Gambut mengidentifikasi bahwa dari total 3,3 juta ha luas perkebunan sawit yang hendak diputihkan pemerintah, sebesar 407.267,537 ha berada di area KHG. Sementara 72% perkebunan sawit di KHG yang akan diputihkan itu berada dalam kategori rentan terbakar tingkat sedang (medium risk) dan 27% berkategori rentan terbakar tingkat tinggi (high risk).
Lebih jauh, 91,64% pemegang izin konsesi yang wajib menanggulangi dan memulihkan kerusakan ekosistem gambut akibat karhutla di kawasannya, tidak melakukan restorasi yang diwajibkan itu.
Wahyu Perdana, Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, menyatakan bahwa dari 32 perusahaan sawit yang beroperasi di area KHG, hanya 5 perusahaan yang benar-benar berada di ekosistem gambut dengan fungsi budidaya, sedangkan 27 lainnya juga beroperasi di ekosistem gambut dengan fungsi lindung.
“Hal ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 21 PP No. 71 Tahun 2014 jo. PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Kondisi ini meningkatkan risiko Karhutla, khususnya pada ekosistem gambut,” kata Wahyu.
Masalah lainnya, Pantau Gambut menemukan 11 korporasi dalam skema pemutihan yang area usahanya pernah mengalami kebakaran (burn area) saat terjadi karhutla 2015-2020. Best Agro Plantation adalah yang terluas dengan burn area mencapai 3.605,876 ha, disusul Soechi (2.085,382 ha), dan Citra Borneo (1.704,521 ha).
Pemain besar
TuK Indonesia mengidentifikasi 25 kelompok perusahaan besar yang menguasai lahan perkebunan seluas 3,9 juta hektare di Indonesia. Beberapa penguasa lahan besar adalah Sinar Mas (14%), Salim (8%), Jardine Matheson (7%), Wilmar (6%), dan Surya Dumai Grup (5%).
Grup-grup tersebut, disokong oleh pembiayaan besar dari lembaga jasa keuangan. Sinar Mas mendapat corporate loan dari Banco de Sabadell dan ABN AMRO sebesar AS$17,5 juta (Rp247,9 miliar). Selain itu, Bank Central Asia (BCA) dan Bank Sinar Mas turut membiayai Sinar Mas. Grup lainnya, Wilmar, dibiayai oleh OCBC melalui skema revolving credit facility sebesar AS$24,6 juta (Rp348,5 miliar) pada 2018.
Bahkan lembaga jasa keuangan penyedia dana pensiun di Malaysia, Employees Provident Fund, membiayai Genting Grup, yang turut diuntungkan dalam agenda pemutihan, hingga sebesar AAS$110,1 juta (Rp1,7 triliun).
TuK Indonesia juga mengidentifikasi beberapa perusahaan sawit yang masuk dalam daftar pemutihan adalah mereka yang berulangkali terlibat dalam kejahatan lingkungan berupa kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah. Perusahaan-perusahaan tersebut meliputi: PT Bangun Cipta Mìtra Perkasa (Best Agro); PT Globalindo Agung Lestari (Genting Group); PT Karya Luhur Sejati (Best Agro); PT Rezeki Alam Semesta Raya (Soechi Group); dan PT Bangun Cipta Mìtra Perkasa (Best Agro).
Sialnya, menurut TuK Indonesia, realisasi penerimaan pajak dari sektor sawit yang legal justru jauh di bawah potensi penerimaannya. Mereka memberi contoh realisasi pajak Kalimantan Tengah yang mencapai Rp2,3 triliun, jauh dari potensi sebesar Rp6,4 triliun.
Klaim pemerintah bahwa pemutihan akan meningkatkan penerimaan daerah, menurut TuK Indonesia, menjadi tidak relevan dan hanya memfasilitasi keberlanjutan kejahatan lingkungan.
“Pemutihan ini, jelas, adalah bentuk kejahatan oleh negara. Ini seharusnya menjadi perhatian serius oleh lembaga jasa keuangan, dan penting untuk mengevaluasi pembiayaan terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan penanaman sawit di dalam kawasan hutan yang bahkan terlibat dalam kejahatan lingkungan (karhutla),” kata Abdul Haris, Pengkampanye TuK Indonesia.
“Adanya temuan bahwa perusahaan-perusahaan yang menanam sawit dalam kawasan hutan pun merupakan grup perusahaan anggota RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) mendukung statement kami sebelumnya bahwa memang, sertifikasi RSPO tidak kredibel.”