Indonesia belum menyepakati ajakan meneken komitmen peningkatan energi terbarukan karena banyak hambatan transisi energi.

Indonesia belum menyepakati ajakan Uni Eropa untuk meneken komitmen peningkatan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat. Sebab, target transisi energi Indonesia yang telah disesuaikan dengan Perjanjian Paris saat ini masih menemukan banyak hambatan.

Daftar 118 negara yang telah menyepakati komitmen peningkatan kapasitas energi terbarukan tiga kali lipat (tripling renewable), per Sabtu (2/12/2023), beredar di tengah penyelenggaraan Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-28 (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab. Indonesia tidak masuk dalam daftar tersebut.

Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Harris Yahya, salah satu utusan Indonesia bidang energi di COP28, Minggu (3/12/2023), mengatakan, tawaran itu muncul sekitar sebulan lalu lewat surat yang disampaikan UE melalui Kementerian Luar Negeri.

Apakah kita mampu ke arah sana? Yang ada sekarang saja, enggak usah triple, double pun untuk renewable energy belum tentu bisa berjalan.

Harris Yahya, Direktur Panas Bumi ESDM

Selain meningkatkan kapasitas energi terbarukan, mereka juga mengajak untuk menggandakan target efisiensi energi atau doubling energy efficiency. Sampai saat ini, Indonesia belum memutuskan untuk bergabung.

”Di situ ada target triple dan double sampai 2030 untuk renewable energy. Apakah kita mampu ke arah sana? Yang ada sekarang saja, enggak usah triple, double pun untuk renewable energy belum tentu bisa berjalan,” ujarnya saat ditemui di lokasi penyelenggaraan COP28, di Dubai Expo.

Ia menuturkan, Indonesia saat ini masih berkomitmen dengan Perjanjian Paris, melalui revisi dokumen kontribusi nasional (enhanced nationally determined contribution/ENDC) di 2022, untuk menurunkan emisi karbon penyebab perubahan iklim sampai 2030.

Dokumen itu antara lain mengatur 37 persen penurunan emisi gas rumah kaca diperoleh dari kegiatan efisiensi energi dan lebih dari 50 persen dengan penerapan energi terbarukan. ”Kita sudah sejalan dengan semangatnya. Namun, kita juga harus melihat bahwa saat ini kita sedang bertransisi,” katanya.

Upaya transisi energi antara lain dilakukan dengan mengurangi sumber bahan bakar fosil dengan pengurangan bertahap penggunaan batubara atau coal phase down. Kemudian, pembangunan pembangkit listrik dari sumber terbarukan seperti surya, angin, air, panas bumi, dan lainnya.

Selain itu, pengembangan potensi pemanfaatan hidrogen, nuklir, penangkapan dan penyimpangan karbon (carbon capture and storage/CCS), dan teknologi baru lainnya. Tidak ketinggalan, pemanfaatan kendaraan listrik untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi.

Baca juga: Jalan panjang produksi hidrogen di Indonesia

Dari sisi efisiensi energi, kata Harris, Indonesia sudah menerapkan beberapa kebijakan baru untuk diterapkan dari hulu ke hilir, dengan insentif dan disinsentifnya. Contohnya, Peraturan Pemerintah No.33/2023 tentang Konservasi Energi mengatur industri agar mengoperasikan peralatan secara lebih efisien sehingga menghemat biaya produksi.

Di hilir, ada aturan standar minimum kapasitas energi yang membatasi peredaran barang-barang yang tingkat efisiensinya rendah. Peraturan itu sejauh ini mengatur barang elektronik, seperti pendingin ruangan, kulkas, penanak nasi, kipas, lampu, hingga mesin cuci. Dalam waktu dekat, pemerintah akan menerapkan regulasi sama pada produk motor listrik.

Sementara itu, dari sekian banyak target yang dibuat, Indonesia masih kesulitan memenuhinya. Sebagai contoh, Kementerian ESDM mencatat, sumber daya energi terbarukan Indonesia lebih dari 3.600 gigawatt (GW). Namun, realisasi kapasitas terpasang pembangkit listrik energi terbarukan hingga semester I-2023 baru 12,7 GW dengan kenaikan rata-rata sekitar 5 persen per tahun dalam lima tahun terakhir (Kompas.id, 8/9/2023).

Kemudian, ada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) 2021-2030, yang membuat 51 persen pembangkit listrik akan dibangun memanfaatkan sumber energi terbarukan. Namun, hingga akhir 2022, realisasi energi terbarukan dalam bauran energi primer baru 12,3 persen atau, jauh dari target 23 persen pada 2025.

Harris mengakui bahwa pendanaan, adaptasi teknologi, dan sumber daya manusia menjadi tantangan terbesar transisi energi di Tanah Air.

Masalah pendanaan juga ditegaskan Presiden Joko Widodo dalam pembukaan World Climate Action Summit (WCAS) di COP28, Jumat (1/12/2023). Ia menyebut, Indonesia mencatat membutuhkan investasi lebih dari 1 triliun dollar AS, setara dengan Rp 15.439 triliun, untuk nol emisi karbon (net zero emission) 2060.

”Target Perjanjian Paris dan net zero emission hanya bisa dicapai jika kita bisa menuntaskan masalah pendanaan transisi energi ini. Dari situlah masalah dunia bisa diselesaikan,” ujarnya.

Dalam konferensi pers hari ke-3 COP28, Sabtu (2/12/2023), Adnan Amin selaku CEO COP28 menyebut sudah ada lebih dari 110 negara yang menandatangani komitmen untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan sebanyak tiga kali dan efisiensi energi secara berganda. Jumlahnya diharapkan akan terus bertambah.

”Kami memiliki keyakinan yang kuat bahwa ini akan menjadi salah satu hasil dalam konferensi ini,” kata Adnan.

Menurut dia, komitmen ini berawal dari diskusi forum-forum politik dan energi, yang kemudian juga dibahas oleh negara-negara G20. Komitmen ini nantinya akan mengubah basis transisi energi yang sudah dijalankan di seluruh dunia.

”Kami ingin menjadikan hal ini sebagai janji universal. Namun, kami juga akan membangun transparansi dan akuntabilitas dalam komitmen ini,” ujarnya.

Target dari komitmen ini, katanya, adalah mempercepat dekarbonisasi di sektor-sektor industri. Tidak hanya berfokus pada industri minyak dan gas bumi atau batubara, mereka juga menargetkan percepatan pengurangan emisi gas rumah kaca di industri aluminium, semen, baja, dan transportasi berat.

Sejauh ini, katanya, 50 negara yang mewakili perusahaan-perusahaan minyak dan gas bumi telah berkomitmen terhadap nol emisi metana (elemen pembentuk gas rumah kaca lainnya) tahun 2030, mengakhiri pembakaran rutin pada 2030, dan total operasi net zero tahun 2050.

Temuan baru para ahli ilmu sosial dan alam dalam laporan bersama Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), yang diluncurkan Minggu (3/12/2023), menyebutkan, adanya kemungkinan bahwa dunia akan melampaui target pemanasan global sebesar 1,5 derajat celsius yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris. Mereka menyimpulkan, pentingnya penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara cepat dan terkelola.

Ploy Achakulwisut, peneliti di Institut Lingkungan Stockholm, dan Tim Aksi Iklim Sekretaris Jenderal PBB mengimbau, pemerintah dan sektor swasta harus berhenti mengaktifkan proyek-proyek bahan bakar fosil baru dan mempercepat penghentian dini proyek-proyek yang sudah ada. Ini seiring dengan akan semakin menurunnya peluang investasi terhadap proyek-proyek tidak ramah lingkungan.

”Negara-negara berpendapatan tinggi harus memimpin transisi ini dan memberikan dukungan kepada negara-negara yang kapasitasnya lebih rendah. Semua negara perlu berupaya untuk melakukan transisi bakar fosil secara adil,” pesannya dalam keterangan pers.


Liputan ini diproduksi sebagai bagian dari Climate Change Media Partnership 2023, sebuah beasiswa jurnalisme yang diselenggarakan oleh Earth Journalism Network Internews dan Stanley Center for Peace and Security. Liputan in pertama kali terbit di Kompas pada tanggal 4 Desember 2023.

About the writer

Erika Kurnia is a dynamic journalist based in Jakarta, with more than five years of experience in online and daily newspaper media. She is experienced in writing about health, economic and metropolitan...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.