Pekebun swadaya kelapa sawit masih mengalami berbagai masalah mendasar, termasuk pemenuhan sertifikasi ISPO dan pengembangan strategi.

Keterlibatan para pekebun dalam tata kelola rantai nilai kelapa sawit berkelanjutan amatlah penting. Oleh karena itu, menurut Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil (PPH) Perkebunan Kementerian Pertanian Prayudi Syamsuri, inklusivitas mereka perlu diperkuat agar permasalahan mendasar yang kerap mereka hadapi bisa diselesaikan.

Permasalahan mendasar tersebut, menurut Prayudi adalah pemenuhan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), termasuk pengembangan strategi bagi para pekebun yang belum memenuhi mandat sertifikasi ISPO.

“Kita sedang berusaha memacu ke arah sana, mengembangkan strategi untuk para pekebun. Namun satu hal penting, sebaiknya kita fokus pada STDB (Surat Tanda Daftar Budidaya) dulu. Salah satu hambatan ISPO adalah pendataan pekebunnya,” kata Prayudi saat membuka loka karya nasional bertema “Penguatan Inklusivitas Para Pekebun dalam Tata Kelola Rantai Nilai Kelapa Sawit Berkelanjutan” di Hotel Aston Priority Simatupang, Jakarta, Selasa (19/12/2023).

“Jadi geber dulu di STDB-nya. Kita akan sederhanakan instrumennya agar memudahkan semua pihak dalam konteks implementasi di tapak.”

Lebih lanjut dia menjelaskan, Instruksi Presiden (Inpres) No. 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) Tahun 2019-2024 merupakan peta jalan perbaikan yang terdiri dari berbagai komponen menuju tata kelola perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Salah satunya dengan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun.

“RAN-KSB ini merupakan upaya strategis yang telah diambil oleh pemerintah untuk memperbaiki dan memperkuat rantai nilai kelapa sawit. Kita juga sudah siapkan satu program Gerakan Percepatan (Gercep) STDB,” kata Prayudi dalam rilis yang diterima Ekuatorial.

Strategi dari Gercep penerbitan STDB ini, sambungnya, adalah membangun sinergi dengan para pihak termasuk CSO mitra pembangunan, penyederhanaan form STDB, penyederhanaan verifikasi, dan sistem aplikasi pemetaan.

Masih banyak permasalahan

Dalam kesempatan yang sama, Palm Oil Team Manager Rainforest Alliance Indonesia Tri Padukan Purba mengakui upaya peningkatan inklusivitas pekebun kelapa sawit, termasuk peningkatan perekonomian melalui keberadaan sawit rakyat, memang terus dilakukan. Akan tetapi, masih kerap terjadi permasalahan dalam rantai nilai kelapa sawit.

Sejatinya, kata Tri, sertifikasi ISPO yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 44 Tahun 2020 memang diharapkan dapat meningkatkan keberterimaan serta daya saing produk kelapa sawit Indonesia, termasuk upaya penurunan emisi gas rumah kaca.

Selain itu, keberadaan sertifikasi ISPO juga diharapkan dapat meningkatkan peran dan posisi tawar bagi pekebun dalam rantai nilai kelapa sawit itu sendiri. Dengan demikian, melalui penerapan sertifikasi ISPO, para pekebun dapat menunjukkan bahwa pengelolaan kelapa sawit telah dilakukan secara berkelanjutan.

Walau demikian, urai Tri, realisasi dari kewajiban sertifikasi yang telah diundangkan sejak Maret 2020 dan akan menjadi wajib mulai tahun 2025 itu masih berjalan lambat dan cenderung memberatkan.

“Para pekebun sawit, khususnya pekebun swadaya, masih menjadi aktor terlemah dalam rantai nilai kelapa sawit,” kata dia.

Hal ini, lanjutnya, dapat dilihat dengan masih terhambatnya upaya pemenuhan legalitas dan usaha, permasalahan soal keberadaan sawit dalam kawasan hutan, keterbatasan akses pembiayaan, kurangnya insentif yang diberikan, harga jual tandan buah segar (TBS) yang relatif rendah, ketersediaan sarana produksi (saprodi), saluran distribusi TBS, hingga segera berlaku penuhnya EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) pada 2025.

Menjelang berakhirnya RAN-KSB pada 2024 dan mulai diwajibkannya sertifikasi ISPO bagi para pekebun pada tahun 2025, ujar Tri, sangat penting merumuskan solusi bersama secara terkofus di dalam agenda-agenda aksi kelapa sawit berkelanjutan berikutnya, termasuk pemenuhan sertifikasi.

Pengembangan rencana aksi khususnya bagi para pekebun tidak hanya berfokus dalam upaya pencapaian sertifikasi ISPO saja, melainkan turut menawarkan solusi bagi pekebun yang belum sepenuhnya atau tidak dapat memenuhi mandat sertifikasi.

“Kita ingin mengidentifikasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi pekebun sawit swadaya di dalam rantai nilai kelapa sawit, termasuk pemenuhan sertifikasi ISPO,” kata Tri.

“Hal ini penting agar para pekebun yang belum atau tidak dapat memenuhi sertifikasi ISPO tetap dapat menjamin kelestarian lingkungan, meningkatkan kapasitas dalam pengelolaan kebun kelapa sawit, meningkatkan ekonomi, termasuk pemenuhan regulasi menuju terwujudnya pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan.”


Baca juga:

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.