Perdagangan karbon dikritik karena bentuk kolonialisasi pikiran dari para pencemar. Sebuah solusi palsu untuk mengatasi pemanasan global.

Lokasi HPS Tahun 2018 di Desa Jejangkit Muara, Kecamatan Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan perdagangan karbon
Lokasi HPS Tahun 2018 di Desa Jejangkit Muara, Kecamatan Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. (Walhi Kalimantan Selatan)

Suhu bumi semakin menghangat karena pemanasan global. Offset atau penyeimbangan menjadi skema dalam perdagangan karbon yang dipercaya sebagai salah satu solusi mengatasi pemanasan global. Namun konsep offset ini sebenarnya bentuk kolonialisasi pikiran yang coba dibangun oleh para pencemar, baik negara-negara industri maju, korporasi ataupun lembaga kapital keuangan global.

“Offset atau penyeimbangan muncul dari ide bahwa, pelepasan emisi atau penghancuran di satu landscape kehidupan dapat diseimbangkan dengan perbaikan di tempat lain, guna memastikan proses pelepasan emisi dan penghancuran tersebut tetap beroperasi,” terang pernyataan resmi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia, dikutip dari laman resmi, Senin, 29 Januari 2024.

WALHI Indonesia menjelaskan, offset menjadi roh dari praktik perdagangan karbon, biodiversity offset dan solusi berbasis alam lainnya. Skema offset merupakan izin yang diberikan untuk tetap mencemari, merusak, dan melepas emisi dengan menjaga stok karbon di tempat lain. Penyeimbangan karbon ini akan terus memperpanjang usia industri berbahan bakar fosil secara khusus dan industri ekstraktif lainnya secara umum.

Menurut WALHI, perdagangan karbon tumbuh dari asumsi dasar yang salah, bahwa krisis iklim berasal dari karbon yang sama. Asumsi ini mengklaim bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) dari sumber yang berbeda seperti pembongkaran lahan/hutan skala besar untuk monokultur sawit, logging, dan kebun kayu, pabrik semen, pertambangan batu bara dan nikel, pembangkitan listrik, transportasi.

Bahkan, pembukaan lahan atau pembakaran lahan secara tradisional oleh masyarakat adat dan komunitas lokal, memiliki dampak yang sama terhadap iklim, sehingga kerusakan yang disebabkan oleh emisi dari satu sumber dapat dikompensasi dengan mengurangi emisi dari sumber yang lain.

Asumsi yang salah ini juga yang dijadikan alasan kenapa proyek-proyek konservasi harus diserahkan kepada perusahaan-perusahaan, dan mengabaikan peran serta kemampuan masyarakat adat dan komunitas lokal yang selama ini menjaga hutan.

“Bahkan parahnya lagi, perdagangan sengaja mengubah relasi antara masyarakat adat dan komunitas lokal dan ekosistem hutannya hanya sebatas relasi ekonomi. Padahal relasi antara masyarakat adat dan komunitas lokal lebih dari itu,” kata WALHI.

Konsesi-konsesi karbon yang diperuntukkan untuk menghasilkan dan menjual kredit karbon di pasar karbon terbukti telah menggusur rakyat dari ruang hidupnya serta wilayah kelolanya. Bukan hanya itu, WALHI menyatakan percakapan perdagangan karbon yang dipromosikan negara serta pihak-pihak yang mendukung perdagangan karbon, membingungkan masyarakat adat dan komunitas lokal di kampung-kampung.

Narasi perlindungan yang dibangun serta janji kompensasi yang diberikan atas tindakan menjaga hutan, mengalihkan fakta-fakta penghancuran, kekerasan, perampasan di seluruh wilayah yang dieksploitasi, merupakan tanggung jawab pengurus negara serta korporasi-korporasi pemegang izin industri ekstraktif.

Situasi ini juga merupakan kolonialisasi lanjutan atas pengetahuan serta pengalaman hidup masyarakat adat dan komunitas lokal. Di mana alam sebagai ibu bersama bagi masyarakat adat dan komunitas lokal, sedemikian rupa di komodifikasi serta diprivatisasi menjadi unit untuk dijual di pasar keuangan.

WALHI mencatat proyek perdagangan karbon mengancam banyak hutan adat dan tanah rakyat di Indonesia. Konsesi-konsesi karbon telah memperuncing ketimpangan akses dan kontrol atas sumber-sumber penghidupan rakyat.

“Sulit untuk membayangkan, jika proyek-proyek perdagangan karbon atas nama aksi mengatasi perubahan iklim semakin banyak, berapa juta rakyat Indonesia harus tergusur dari wilayah kelolanya dan dari wilayah adatnya,” tulis WALHI.

Pada sisi yang lain, Instrumen yang memiliki kekuatan memaksa korporasi menurunkan emisi seperti pajak karbon terus mengalami penundaan. Negara memilih menjadi pelanggar konstitusi dengan menunda penerapan pajak karbon hingga 2025.

Padahal kebijakan pajak karbon harusnya berlaku mulai 1 April 2022 sesuai dengan mandat UU Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Penundaan penerapan tersebut menjadi legitimasi bagi korporasi-korporasi pencemar untuk mencari celah melalui berbagai solusi palsu seperti memperjual belikan karbon dan ragam praktek greenwashing lain yang mengalihkan fokus pada kewajiban untuk dekarbonisasi.

Sementara hingga kini, rakyat harus menempuh jalan yang berliku untuk mendapatkan rekognisi atas wilayah kelolanya serta peran, pengetahuan dan pengalamannya dalam mempertahankan dan memulihkan hutan tersisa.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.