Darurat sampah terjadi di banyak kota di Indonesia sepanjang 2023 lalu. Jika tidak ditangani, krisis sampah akan berbuah bencana.

Sampah di TPA. Indonesia darurat sampah. (Foto: AZWI)
Sampah di TPA. Indonesia darurat sampah. (Foto: AZWI)

Tak terasa tahun 2023 sudah berakhir dan kita memasuki tahun 2024. Tahun baru ini ada harapan atau tujuan baru yang ingin dicapai terutama pada isu lingkungan khususnya darurat sampah.

Penuhnya kapasitas tempat pembuangan akhir sampah di sejumlah daerah di Indonesia menjadi penanda bahwa pengelolaan sampah dalam titik kritis. Maka 2024 dikhawatirkan darurat sampah semakin panjang.

Hal itu diperparah dengan kian banyaknya timbulan sampah tanpa pengelolaan yang optimal sehingga menyebabkan sejumlah persoalan lingkungan, kebersihan, dan kesehatan.

Data yang dihimpun oleh Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mencatat terdapat 38 TPA terbakar di sejumlah wilayah di Indonesia. Mayoritas diakibatkan oleh ledakan gas metana yang menumpuk di TPA.

“Sejatinya kasus kebakaran TPA tidak hanya terjadi tahun, namun terus berulang di setiap tahunnya,” demikian dikutip dari keterangan Aliansi Zero Waste Indonesia, diakses Senin, 1 Januari 2024.

Salah satu permasalahan utama yang dihadapi Indonesia adalah lonjakan produksi sampah yang tidak terkendali. Pertumbuhan penduduk yang pesat dan perubahan gaya hidup masyarakat telah menyebabkan peningkatan signifikan volume sampah pengelolaan yang tepat.

Darurat sampah plastik

Dilansir dari The Conversation, selama empat dekade terakhir produksi plastik global meningkat empat kali lipat. Dengan 380 juta ton per tahun, kita memproduksi plastik 190 kali lebih banyak daripada yang kita lakukan pada 1950.

Jika permintaan plastik terus tumbuh secara konsisten sebesar 4% per tahun, emisi dari produksi plastik akan mencapai 15% dari emisi global pada 2050 mendatang.

Dalam sebuah laporan, “Plastic & Climate: The Hidden Costs of a Plastic Planet,” yang dirilis oleh The Center International Environmental Law (CIEL) menyebutkan bahwa jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari siklus produksi hingga pembuangan plastik terus meningkat. Hingga mencapai 2.8 Juta Metric Ton CO2.

Angka itu setara dengan emisi karbon yang dihasilkan oleh 500 buah Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara, di tahun 2050.

Plastik bukan hanya berbahaya bagi lingkungan namun juga manusia. Pembicaraan terkait paparan bahan kimia berbahaya di plastik saat ini belum banyak diperhatikan.

Padahal, Nexus3 Foundation menjelaskan sejak siklus awal, mulai saat ekstraksi, produksi, penggunaan, pembuangan, bahkan hingga proses daur ulang, plastik memiliki puluhan ribu bahan kimia, dan baru sekitar 3.000 diketahui jenis dan bahaya apa saja yang dapat ditimbulkan.

Paparan bahan kimia dari plastik mudah saja masuk ke dalam tubuh manusia, melalui kemasan makanan & minuman, produk rumah tangga sehari-hari, dan yang paling rentan adalah para pekerja industri plastik dan kemasan, serta pekerja sampah seperti pemulung, dan petugas TPS.

“Bahkan tak sedikit dari mereka yang meninggal karena resiko pekerjaan yang tinggi dan kurangnya kesejahteraan serta  pemenuhan hak-hak dasar pekerja,” lanjut Aliansi Zero Waste Indonesia.

Aksi murid SDIT YAA BUNAYYA, Gresik, Jawa Timur, menolak kemasan plastik sekali pakai. (Foto: AZWI)
Aksi murid SDIT YAA BUNAYYA, Gresik, Jawa Timur, menolak kemasan plastik sekali pakai. (Foto: AZWI)

Darurat sampah pangan

Di sisi sampah organik, sampah makanan adalah penyumbang terbesar di Indonesia. Berdasarkan riset terbaru yang dikeluarkan anggota Aliansi Zero Waste Indonesia; Yayasan Gita Pertiwi, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali dan Komunitas Nol Sampah Surabaya berjudul “Riset Plastik Dalam Rantai Pangan” di tiga kota besar Indonesia: Surakarta, Surabaya, dan Denpasar juga menunjukkan bahwa angka sampah sisa makanan lebih tinggi dibandingkan jenis sampah lainnya.

Melonjaknya angka sampah pangan disebabkan oleh pola konsumsi dan model pengelolaan sampah kumpul angkut masih mendominasi di Indonesia. Padahal pencemaran sampah makanan dapat mengakibatkan peningkatan berbagai macam penyakit infeksi saluran pencernaan dan pernapasan, serta dapat melecut pemanasan global yang memperparah perubahan iklim.

Data dari UNEP, Food Waste Index (2021) juga menegaskan Indonesia adalah negara dengan penghasil sampah makanan terbesar di ASEAN, dan menduduki urutan kedua di dunia, dengan total  23-48 Juta Ton sampah makanan setiap tahunnya.

Dalam menghadapi era baru ini, masyarakat, produsen dan pemerintah tentunya memiliki harapan dan tujuan baru untuk meningkatkan kesadaran lingkungan, mengurangi dampak negatif sampah terhadap ekosistem, dan memajukan inisiatif berkelanjutan.

Namun banyak dari penyelesaian tersebut juga menggunakan teknologi yang tidak ramah lingkungan seperti aktivitas pembakaran sampah menjadi energi (waste to energy) hingga solusi-solusi biodegradable plastik yang mengancam lebih cepat pencemaran mikroplastik.

Dengan demikian, tahun 2024 menjadi momentum penting untuk merancang dan melaksanakan kebijakan serta tindakan konkret guna mencapai perubahan positif dalam penanganan darurat sampah, mengubah paradigma produksi sampai konsumsi, dan mendukung upaya zero waste sebagai satu-satunya solusi dalam menjaga keberlanjutan bumi ini.

Untuk mencapai resolusi tersebut, tentunya memerlukan action plan yang jelas. Bagaimana caranya? Dengan menyadarkan berbagai peran dari seluruh pihak termasuk masyarakat, produsen dan pemerintah.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.