Memahami pentingnya informasi penerima manfaat korporasi dengan Perpres NO 13 Tahun 2018. Penelitian Greenpeace menunjukkan data pemilik manfaat korporasi harus dibuka ke publik.

Greenpeace indonesia Fog on primary forest near the river Digul in southern Papua. © Ulet Ifansasti / Greenpeace
Ilustrasi. Hutan Papua. (Foto: Greenpeace Indonesia)

Sudah lima tahun pemerintah memiliki peraturan presiden tentang penerima manfaat atau beneficial owner, yakni Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Korporasi Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Greenpeace Indonesia menyatakan aturan ini penting untuk mendorong keterbukaan informasi oleh korporasi di Indonesia.

Namun setelah lima tahun berlalu, Greanpeace Indonesia mencatat keberadaan Perpres Penerima Manfaat tersebut ternyata tak cukup kuat memastikan transparansi oleh industri.

Hasil studi Greenpeace menemukan, korporasi masih dapat ‘menyembunyikan’ pemilik manfaat akhir mereka kendati menjalankan kewajiban pelaporan tentang penerima manfaat.

“Mengetahui penerima manfaat korporasi penting bukan hanya demi keterbukaan informasi, tapi sekaligus untuk meminta pertanggungjawaban manakala terjadi pelanggaran atau kerusakan lingkungan,” demikian pernyataan resmi Greenpeace Indonesia, diakses Kamis, 1 Februari 2024.

“Beberapa perusahaan di bawah tiga grup usaha yang menjadi contoh kasus dalam laporan ini memiliki sejarah kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak-hak masyarakat,” sambung Greenpeace Indonesia.

Keterbukaan informasi tentang penerima manfaat korporasi tersebut makin krusial jika menyangkut politically exposed person (PEP), sebab bisa jadi bersinggungan dengan konflik kepentingan. Dalam kasus kriminalisasi Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, misalnya, seorang menteri mulanya membantah ‘bermain tambang emas’ di Papua.

Namun dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa menteri tersebut adalah penerima manfaat dari perusahaan tambang di Papua.

“Luasnya cakupan definisi penerima manfaat korporasi membuat korporasi leluasa untuk tidak melaporkan seluruh pemilik manfaat atau hanya melaporkan yang memenuhi salah satu kriteria yang paling mudah. Praktik pinjam nama atau nominee agreement juga ditengarai sering digunakan untuk mengelabui norma pelaporan pemilik manfaat,” lanjut Greenpeace Indonesia.

Di sisi lain, belum ada kewajiban bagi pemerintah untuk melakukan uji akurasi dari sumber informasi yang relevan. Ini juga menjadi kelemahan mekanisme pelaporan penerima manfaat yang ada sekarang.

Maka dari itu, pemerintah perlu memperkuat kebijakan deklarasi penerima manfaat yang berlaku saat ini. Misalnya dengan membuat aturan pelaksana yang secara teknis dapat memverifikasi nama-nama yang diajukan sebagai penerima manfaat, hingga menjalin kerja sama antar-kementerian/lembaga dan masyarakat agar bisa menutup celah-celah yang selama ini digunakan korporasi ‘nakal’.

Selengkapnya, dalam laporan ini bisa diakses di laman resmi Greenpeace Indonesia.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.