KLHK menyatakan berhasil melampaui target nasional dalam menurunkan angka deforestasi menjadi 104 ribu hektare pada 2021-2022.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan telah berhasil menurunkan angka deforestasi menjadi 104 ribu hektare (ha) pada periode 2021-2022. Angka tersebut melampaui target nasional yang ditetapkan sebesar 450 ribu hektare.
Pencapaian tersebut disampaikan oleh Wakil Menteri KLHK Alue Dohong saat berbicara pada Forum PBB untuk Hutan (United Nations Forum on Forest/UNFF) ke-19 yang berlangsung di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat, 6-10 Mei 2024.
“Indonesia telah melampaui target nasional dalam menurunkan angka deforestasi di bawah 0,45 juta hektar, di mana saat ini aktivitas deforestasi tercatat pada angka 0,104 juta hektare pada tahun 2022. Selain itu, Indonesia juga telah berkomitmen untuk mencapai target alokasi perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare,” kata Alue, yang memimpin delegasi Indonesia ke UNFF 19.
Keberhasilan tersebut, menurut Alue, disokong oleh sistem pemantauan yang kuat guna mendukung upaya reboisasi dan manajemen hutan berdasarkan data yang valid.
Plt Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Agus Justianto menambahkan bahwa tingkat deforestasi periode 2021-2022 tersebut turun 8,4% dibandingkan pada periode 2020-2021 yang mencapai 113,5 ha. Angka deforestasi tersebut, menurutnya, adalah yang terendah dalam sejarah kehutanan Indonesia.
Indonesia, menurut Agus, telah memiliki Sistem Monitoring Hutan Nasional (Simontana) untuk mengetahui kondisi hutan saat ini.
Debat definisi deforestasi
Angka yang disampaikan KLHK adalah deforestasi netto, yakni luas deforestasi bruto dikurangi luas reforestasi (penanaman hutan kembali). Deforestasi bruto adalah deforestasi yang terjadi di dalam maupun di luar kawasan hutan tanpa dikurangi luas reforestasi.
Sementara definisi hutan, menurut KLHK, adalah suatu areal lahan lebih dari 6,25 hektare dengan ditumbuhi pohon dengan ketinggian lebih dari 5 meter pada usia dewasa, dan tutupan kanopi lebih dari 30%.
Merujuk definisi tersebut, kawasan hutan belum bisa disebut telah mengalami deforestasi bila tutupan kanopinya belum berkurang dari 30%. Jika hutan itu rusak tapi tutupan kanopinya masih sama dengan atau lebih dari 30% maka hutan tersebut dinyatakan mengalami degradasi.
Definisi ini telah lama menjadi perdebatan antara pemerintah dan kalangan pemerhati masalah hutan. Keputusan pemerintah membedakan antara deforestasi netto dan bruto juga kerap dipertanyakan.
Forest Watch Indonesia (FWI), misalnya, tidak mempertimbangkan upaya reforestasi dalam penghitungan deforestasi versi mereka. Menurut perhitungan FWI, deforestasi di Indonesia pada periode 2017-2021 mencapai 9,6 juta ha.
“Angkanya sangat jauh dengan KLHK. Tapi secara metodologi bisa dipertanggungjawabkan,” kata Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif FWI, dalam wawancara dengan Betahita.
Dia menambahkan bahwa deforestasi dan reforestasi memiliki makna yang berbeda. “Jadi enggak masuk akal jika reforestasi dijadikan faktor pengurang angka deforestasi,” tegas Mufti.
- WALHI menemukan ketimpangan akses dan distribusi air di Kota Makassar
- Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi menuntut komitmen pemerintah menurunkan emisi karbon
- Hargailah masyarakat lokal terkait pemensiunan dini PLTU batubara Cirebon Unit 1
- Orang muda menyerukan pulihkan Sumatera Barat
- PTUN Jabar perlu hati-hati dan teliti memeriksa perkara pembatalan tender proyek PSEL Kota Bekasi