Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Asian Development Bank (ADB) untuk berhenti mendanai proyek-proyek solusi palsu yang memperburuk krisis iklim. ADB pun diminta untuk memperkuat kebijakan perlindungan (safeguard).
Seruan tersebut disampaikan koalisi masyarakat sipil — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Solidaritas Perempuan, dan Aksi! for Gender, Social and Ecological Justice — menanggapi hasil pertemuan tahunan ADB yang berlangsung di Tblisi, Georgia, 2-5 Mei 2024.
Dalam pertemuan tersebut ADB mendeklarasikan diri sebagai Bank Iklim untuk Asia dan Pasifik. Dasarnya, menurut bank tersebut, adalah keberhasilan proyek adaptasi dan mitigasi iklim di berbagai negara.
Namun demikian, kelompok masyarakat sipil menilai klaim tersebut bertentangan dengan realitas dampak yang ditimbulkan, terutama oleh masyarakat adat dan lokal, serta kelompok perempuan.
“Hal ini terlihat dari terus masuknya utang untuk proyek-proyek solusi iklim palsu, yang memprioritaskan investasi pada proyek-proyek energi dan transportasi yang tidak ramah lingkungan dan sosial, sehingga mengakibatkan ketidakadilan iklim dan ketidaksetaraan gender,” kata Abdul Ghofar, Juru Kampanye Polusi dan Perkotaan Walhi, dalam siaran pers, Selasa (14/5).
Dia mencontohkan beberapa proyek yang didanai ADB namun merusak lingkungan, melanggar HAM, bahkan memperburuk emisi gas rumah kaca, seperti proyek panas bumi dan Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism/ETM).
Proyek-proyek seperti PLTP Muara Laboh di Sumatera Barat, PLTP Ulumbu Poco Leok di Nusa Tenggara Timur, menurut Ghofar, telah menunjukkan dampak buruk terhadap masyarakat sekitar. Mulai dari pembebasan lahan secara paksa, kerusakan alam, ancaman kesehatan, dan meningkatnya bencana ekologis.
Bagi perempuan, lanjutnya, kehadiran proyek panas bumi memberikan dampak yang berbeda-beda karena peran gender mereka.
“Hancurnya penghidupan mereka dapat menambah beban perempuan, gangguan kesehatan reproduksi, bahkan pendekatan militeristik oleh negara yang berujung pada trauma jangka panjang dan gangguan mental. untuk wanita dan anak-anak,” jelasnya.
Revisi ESF
Dalam pendanaan ADB untuk ETM, menurut kelompok tersebut, alih-alih menghapuskan bahan bakar fosil sedini mungkin, ETM yang didukung ADB masih mengizinkan pengoperasian pembangkit listrik tenaga batubara hingga tahun 2035.
“Baik panas bumi maupun ETM dianggap sebagai proyek solusi iklim yang salah karena tidak mengatasi akar penyebab krisis iklim namun justru berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, dan pelanggaran hak-hak perempuan,” kata Ghofar.
Walhi, Solidaritas Perempuan, dan Aksi! juga mendesak ADB untuk merevisi Rancangan Kerangka Kerja Lingkungan dan Sosial (Environmental and Social Framework /ESF), yang dinilai bertentangan dengan komitmen ADB untuk mendorong perlindungan lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan hak-hak perempuan.
Rancangan ESF tersebut dinilai lebih menguntungkan perusahaan swasta dan hanya akan memperburuk kerusakan lingkungan dan memperkuat ketidaksetaraan gender.
Selain itu, ESF juga tidak mengakomodasi tuntutan organisasi masyarakat sipil, yang menyerukan peraturan dan regulasi yang lebih kuat dan mampu melindungi lingkungan dan masyarakat dari dampak proyek ADB.
“Upaya perlindungan (safeguard) harus dikembangkan berdasarkan pengalaman kerusakan lingkungan dan penindasan terhadap masyarakat akibat proyek ADB,” tegas koalisi masyarakat sipil.
- Peluang investasi transisi energi 333 GW potensi proyek energi terbarukan layak finansial
- WALHI Sumut mengenalkan panduan alat bantu konflik manusia satwa berbasis HAM
- Di Indonesia belum ada kota yang bisa dijadikan contoh tata kelola sampah yang baik
- Belasan orang bersaksi dalam sidang gugatan kabut asap di PN Palembang
- Yayasan KEHATI dan FDKI dorong revisi UU kehutanan yang holistik dan partisipatif